Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiba di rumah
Haira memeluk tubuh ringkih nenek Sella. Wanita yang menyelamatkan dirinya dan membawanya jauh menghilang dari Mirza. Sampai kapanpun tak akan pernah lupa dengan jasa wanita itu dan akan terus mengingatnya.
"Mana Ikrima, Nek?" tanya Haira. Matanya menyusuri setiap ruangan depan. Teringat dengan gadis yang pertama kali menolongnya dari kejaran preman hingga ia dipertemukan dengan orang baik seperti nenek Sella.
"Dia kuliah. Sebentar lagi juga pulang."
Mirza kembali melihat jam yang melingkar di tangannya lalu menatap Haira yang masih berbincang dengan nenek Sella.
Kemal duduk anteng di pangkuan Daddynya, karena saat ini otaknya sudah berkelana naik pesawat bersama dengan Hasan dan Fajar.
"Nek, hari ini aku mau pulang ke Turki, nenek jaga diri baik-baik. Salam untuk Ikrima."
Wanita yang berambut putih itu tersenyum, terus mengusap punggung tangan Haira dengan lembut.
"Kamu juga jaga diri baik-baik, jangan pernah menyerah dengan kehidupan. Nenek yakin akan ada kebahagiaan."
Teringat tujuh tahun yang lalu saat Haira sempat ingin mengakhiri hidupnya. Namun, nenek Sella bersikeras mencegahnya. Meminta untuk bersabar menjalani ujian hidupnya.
Haira mengangguk. Kembali memeluk nenek Sella tanda perpisahan.
"Aku punya hadiah untuk nenek dan Ikrima." Haira mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Ia meletakkan di atas meja.
"Apa itu?" tanya nenek Sella tanpa menyentuh.
"Buka saja kalau nanti Ikrima pulang. Sekarang aku pergi dulu."
Haira dan Mirza keluar dari rumah nenek Sella. Mereka kembali menyisir gang sempit hingga tiba di mobil.
Di dalam pesawat
Tak seperti saat berangkat yang penuh kekosongan, hati Mirza saat ini hanya dipenuhi kebahagiaan. Kehadiran Haira dan Kemal mampu mengalihkan dunia nya. Memberikan warna baru baginya.
"Ra…"
Haira menoleh ke arah Aslan yang memanggilnya.
"Hati-hati, nanti kena muntah."
Haira mengerutkan alis, melirik Erkan yang nampak tenang, sedangkan Mirza mencoba memejamkan matanya. Menahan rasa mual yang mulai menyerang.
"Siapa yang muntah?"
Aslan menyungutkan kepalanya ke arah Mirza.
"Jangan dengarkan Aslan, Sayang. Aku gak akan muntah," ucap Mirza tanpa membuka mata.
Haira mengusap wajah Mirza yang dipenuhi dengan keringat lalu memijat pelipis pria itu.
"Kalau mau muntah jangan ditahan. Gak papa. Nanti perut kamu sakit."
Tangan Mirza mengulur. Menggenggam erat tangan Haira. Mencari kekuatan untuk tidak menumpahkan isi perutnya.
Haira menyandarkan kepalanya di pundak Mirza. Menyanyikan lagu yang sering ia dengar dari rumah tetangganya dengan suara lirih.
Hari kian bergulir
Semakin dekat dirimu di hatiku
Meskipun tak terucapkan
Ku merasakan dalamnya cintamu
Jangan berhenti mencintaiku
Meski mentari berhenti bersinar
Jangan berubah sedikitpun
Di dalam cintamu ku temukan bahagia
Jalan mungkin berliku
Takkan lelah bila disampingmu
Semakin ku mengenalmu
Jelas terlihat pintu masa depan
Jangan berhenti mencintaiku
Meski mentari berhenti bersinar
Jangan berubah sedikitpun
Di dalam cintamu ku temukan bahagia
Semoga tiada berhenti
Bersemi selamanya
Jangan berhenti mencintaiku
Meski mentari berhenti bersinar
Jangan berubah sedikitpun
Di dalam cintamu ku
Jangan berhenti mencintaiku
Meski mentari berhenti bersinar
Jangan berubah sedikitpun
Di dalam cintamu ku temukan bahagia
Lagu milik seorang diva itu tak hanya membuat Mirza tenang dan nyaman, namun ia juga meresapi setiap kata yang ada di dalamnya.
"Suara kamu merdu. Kenapa tidak menjadi penyanyi saja," cap Mirza menggoda Haira.
Rasa mual yang tadi menyeruak kini tiba-tiba lenyap, seakan sosok sang istri bisa memusnahkan segala kegundahannya.
"Aku tidak suka menjadi penyanyi."
Suara Haira terdengar berat seperti memendam sesuatu.
"Kenapa?" tanya Mirza.
"Nggak kenapa-napa," jawab Haira sambil memeluk tubuh Mirza dari samping.
Beberapa jam kemudian, Mirza yang terlelap dengan tangan merangkul Haira itu membuka mata setelah merasa terusik.
"Sudah sampai," ucap kak Nita dari arah belakang.
Mirza menatap ke arah luar jendela, jika biasanya ia langsung muntah saat pesawat landing, kali ini justru perutnya terasa damai tanpa beban.
"Sayang, sudah sampai." Mirza mengusap pipi Haira dengan lembut. Mencubit kecil hidung wanita itu.
Senyum mengembang di sudut bibir Haira. Seperti yang pernah diimpikan, ia dibangunkan oleh orang yang mencintainya.
"Tumben kamu gak jatlag?" ucap Aslan membantu membawa koper milik Kemal.
"Sudah ada obat anti mabuk," imbuh Fuad yang tak kalah kocak. Cekikikan melihat adik iparnya yang tak mau melepaskan tangan Haira.
"Puas kalian godain aku." Mirza mengambil alih Kemal yang ada di gendongan Deniz.
"Kalian mau pulang ke mana?" tanya Nita membantu Mirza membuka pintu mobil.
"Aku langsung ke Tarsus, mungkin beberapa hari ini akan tinggal disana." Mirza yang mengucap seperti yang dikatakan Haira padanya.
"Baiklah, hati-hati, cepat pulang."
Mereka berpisah di bandara karena berbeda kota tujuan.
Matahari terbenam. Suasana semakin gelap, namun hati Haira saat ini bersinar, setelah sekian lama akhirnya ia bisa menginjakkan kaki di tempat kelahirannya.
Mobil menyusuri setiap ruas jalan yang lumayan ramai. Aktivitas di tempat itu tak kalah padat seperti kota besar.
"Kamu sudah hafal jalan menuju rumah nenek?" tanya Haira setelah mobil yang membawa mereka itu mulai memasuki rumah Haira.
"Tuan Mirza sering ke rumah nenek Anda, Nona." Sopir yang sibuk dengan setir itu menjawab.
"Apa nenek sudah tahu kalau kamu suamiku?"
Mirza menggeleng.
"Aku tidak berani bilang pada nenek sebelum menemukan kamu. Tapi sekarang aku akan mengatakan pada nenek."
Mobil berhenti di depan rumah yang lumayan mewah.
Haira mengernyitkan dahi. Mengedarkan matanya di sekeliling rumah itu.
Ini rumah siapa? Haira hanya bertanya dalam hati.
Ia turun mengikuti Mirza. Kemal pun ikut turun setelah terbangun dari tidurnya.
"Daddy, apa ini rumah kita?" tanya Kemal menunjuk rumah yang ada di depannya.
"Tidak, Nak. Ini rumah nenek nya Kemal," jawab Mirza.
Tok tok tok
Haira mengetuk pintu. Jantungnya berdegup dengan cepat, membayangkan reaksi neneknya dan Nada, pasti mereka menangis bahagia saat bertemu dengannya.
Ceklek
Pintu terbuka lebar
Entah lupa atau terkejut, nenek Zubaida terpaku menatap Haira dari atas ke bawah. Lalu matanya beralih menatap Kemal dan Mirza bergantian.
"Nenek," sapa Haira dengan bibir bergetar. Matanya berkaca melihat sang nenek yang tampak linglung.
"Kamu Haira?" tanya nya.
Haira mengangguk. Air matanya luruh saat nenek Zubaida berhamburan memeluknya.
Tangis Haira dan nenek Zubaida pecah. Saling mengurai rindu yang menggebu. Sempat beranggapan tak akan pernah bertemu lagi, namun doa mereka benar-benar dikabulkan dan kini bisa bertemu lagi.
"Siapa, Nek?" sapa suara yang tak asing di telinga Haira.
"Nada, ini kakak," ucap Haira sedikit meninggikan suaranya.
Seorang gadis cantik keluar dari kamar menghampiri Haira, namun ekspresi gadis itu tampak datar saat melihat Mirza dan juga Kemal yang ada di samping sang kakak.
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣