Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Malam harinya, selepas salat isya, masjid belum juga sepi.
Beberapa bapak masih duduk bersila di saf depan. Anak-anak yang biasanya langsung pulang justru bergerombol di sudut masjid. Ada yang memeluk Al-Qur’an, ada yang hanya duduk sambil menatap Ustadz Fathur dengan wajah cemas.
Ustadz Fathur berdiri di depan mihrab. Suaranya tenang, tapi jelas.
“Bapak-bapak… ibu-ibu yang masih di sini,” ia menunduk sebentar, mengatur napas. “Saya ingin menyampaikan sesuatu.”
Beberapa warga saling pandang.
“Saya tidak akan tinggal lagi di rumah wakaf di belakang masjid ini.”
Suasana mendadak hening.
“Yah, Ustadz…” salah satu bapak menyahut pelan. “Terus ngaji saya bagaimana?” bukan hanya anak-anak, tapi di kampung itu orang dewasa yang belum bisa mengaji juga ikut belajar. Biasanya mereka belajar habis subuh.
“Iya, Ustadz,” timpal yang lain. “Jangan pindah. Kami di sini baru bisa terarahkan ibadahnya sejak ada Ustadz.”
Anak-anak ikut bersuara, nada mereka jujur dan polos. “Ustadz jangan pergi…”
“Siapa nanti yang ngajarin saya, Tadz?”
Ustadz Fathur tersenyum kecil. Ia mengangkat tangan, menenangkan. “Saya tidak pergi,” ucapnya lembut tapi tegas. “Saya hanya tidak tinggal di rumah itu lagi.”
Warga kembali terdiam, mencoba mencerna.
“Saya tetap ke masjid ini,” lanjutnya. “Tetap mengajar ngaji, tetap menjadi imam kalau waktu saya lagi longgar, tetap bersama bapak-bapak dan anak-anak semua. Hanya tempat tinggal saya saja yang berpindah.”
“Kenapa, Tadz?” tanya seorang bapak ragu.
Ustadz Fathur tidak menjelaskan panjang. Ia hanya menjawab dengan kalimat sederhana, tanpa menyudutkan siapa pun.
“Ada hal yang lebih baik jika saya patuhi demi ketenangan bersama.”
Lalu seseorang bertanya, pelan tapi terasa jelas di tengah keheningan. “Kalau begitu… pernikahan Ustadz dengan Neng Aira bagaimana?”
Beberapa pasang mata langsung tertuju padanya.
Ustadz Fathur menghela napas, lalu tersenyum. “Insya Allah tetap berjalan,” katanya. “Doakan saja. Saya tidak akan mengorbankan tanggung jawab hanya karena keadaan.”
“Walaupun tidak tinggal di sini?” sela yang lain.
“Walaupun tidak,” jawabnya mantap. “Rumah itu hanya tempat. Amanah saya ada pada ilmu dan dakwah.”
Beberapa warga mengangguk. Ada yang menarik napas lega, ada pula yang matanya berkaca-kaca. “Yang penting Ustadz masih ke sini,” ucap seorang ibu lirih.
Ustadz Fathur menunduk hormat. “Selama Allah memberi saya umur dan kekuatan, saya akan datang.”
Malam itu, masjid kembali dipenuhi rasa hangat. Bukan karena bangunannya... melainkan karena keteguhan seorang lelaki yang memilih tetap hadir, meski harus pergi dari tempat yang ia sebut rumah.
***
Malam semakin larut ketika Pak Hadi pulang dari masjid. Sarung masih melingkar di pinggang, peci belum dilepas. Begitu duduk di kursi kayu depan rumah, wajahnya terlihat berpikir.
“Ma,” panggilnya pelan.
Bu Maryam yang sedang melipat mukena menoleh. “Iya, Pa?”
“Ustadz Fathur bilang… beliau tidak tinggal lagi di rumah wakaf.”
Bu Maryam berhenti melipat. “Hah? Pindah?”
“Bukan pindah ngilang,” Pak Hadi menghela napas. “Tetap mengajar, tetap ke masjid. Cuma tempat tinggalnya saja.”
Bu Maryam terdiam sejenak, lalu duduk di samping suaminya.
“Kasihan ya, Pa,” ucapnya lirih. “Padahal beliau itu orang baik. Datang ke kampung ini bukan buat numpang hidup.”
Pak Hadi mengangguk pelan. “Orang yang berjuang biasanya memang diuji dulu… bukan dari orang jauh, tapi dari yang paling dekat.”
Dari dalam rumah, terdengar suara sendal diseret.
Aira muncul sambil membawa segelas air, wajahnya cemberut tapi matanya tajam penuh rasa ingin tahu.
“Papa ngomongin Ustadz Fathur ya?” tanyanya.
“Iya,” jawab Bu Maryam. “Ustadz Fathur nggak tinggal di rumah wakaf lagi.”
Aira langsung duduk di lantai, menyandarkan punggung ke kursi.
“Duh… itu namanya diusir halus tapi rasanya pedas, Pak,” celetuknya.
“Aira,” tegur Bu Maryam.
“Hehe… maaf, Mah. Tapi serius,” lanjut Aira. “Orang baik tuh sering diuji pakai cara yang bikin hati keseleo tapi nggak boleh teriak.”
Pak Hadi terkekeh tipis. “Kamu ngerti aja.”
Aira mengangkat bahu. “Aku kan sering latihan sabar, Pa. Sama kucing aja diuji, apalagi sama manusia.”
Bu Maryam tersenyum meski matanya sendu.
“Tapi Ustadz Fathur itu luar biasa,” lanjut Aira, nadanya berubah lebih lembut. “Kalau jadi beliau, aku mungkin sudah drama satu kampung.”
Pak Hadi menatap putrinya. “Makanya, Nak. Orang berilmu itu bukan cuma ngajarin orang lain, tapi juga mencontohkan cara bersikap.”
Aira mengangguk. “Iya, Pa. Kata Ustadz juga kan… hidup itu bukan soal di mana kita tinggal, tapi bagaimana kita menjaga niat.”
Bu Maryam menatap Aira sedikit kaget. “Itu kata Ustadz Fathur?”
“Iya. Waktu ngajarin ibu-ibu juga,” jawab Aira santai. “Makanya aku mikir… mungkin Allah lagi naikin derajat beliau, tapi pakai jalan muter.”
Pak Hadi tersenyum penuh makna.
“Dan kamu, Aira,” ucapnya pelan, “sebentar lagi akan jadi bagian dari perjalanan itu.”
Aira mendadak terdiam. Ada rasa hangat menjalar di dadanya, tapi juga tanggung jawab yang terasa berat.
“Kalau aku boleh berdoa, Pa,” katanya setengah bercanda, setengah serius, “semoga aku bisa jadi istri yang bukan nambah beban, tapi jadi tempat pulang… walaupun pulangnya bukan ke rumah wakaf.”
Bu Maryam menepuk punggung Aira pelan. “Aamiin.”
Malam itu, di rumah sederhana itu, obrolan ringan berubah menjadi nasihat hidup... bahwa kebaikan memang tak selalu diberi jalan mulus, tapi selalu diberi makna.
***
Ponsel Aira bergetar di atas kasur. Nama Ayu menyala di layar.
Aira menarik napas panjang sebelum mengangkatnya. “Assalamu’alaikum.”
“Ra?” suara Ayu terdengar ceria, lalu berhenti sejenak. “Kok suara lo aneh?”
Aira menggigit bibir. “Yu… gue mau bilang sesuatu.”
“Hah? Kenapa? Jangan bilang lo baper sama kucing lagi.”
Aira mendengus kecil. “Gue… mau nikah.”
Aira memang sudah memikirkan hal itu sejak kemarin. Dia juga ingin sahabatnya tahu kalau dia akan menikah walaupun sahabatnya itu tidak mungkin datang ke acara pernikahannya nanti. Tapi setidaknya dia sudah memberitahu.
Sunyi.
Detik berlalu. Lalu...
“APA?!” teriak Ayu. “Lo yang benar aja, Ra?! Lo kecantol siapa di sana? Jangan bilang ini alasan lo nggak mau nerima Reno!”
Aira menjauhkan ponsel sebentar, lalu kembali menempelkan ke telinga. “Pelan dikit, Yu. Telinga gue bukan toa masjid.”
“Jangan ngelawak!” suara Ayu terdengar tegang. “Jawab!”
“Enggak,” Aira menjawab jujur. “Gue juga nggak tahu kalau dia langsung melamar gue ke bokap gue.”
“HAH?” Ayu makin kaget. “Jadi… lo ditembak, tapi lewat orang tua?”
“Iya.”
“Lo terima?”
Aira terdiam sejenak. Dadanya berdenyut pelan, ada gugup yang tak bisa ia jelaskan. “Orang tua gue yang terima,” jawabnya akhirnya.
Ayu menghela napas panjang di seberang. “Ra… lo nggak asik. Reno tuh tiap hari mikirin lo, tahu. Dia nanya ke gue mulu.”
Nada Aira melembut. “Sorry, Yu. Gue udah bilang sama dia… dari awal kalau kita cuma teman.”
“Tapi nikahnya cepet banget,” suara Ayu menurun, antara kecewa dan bingung. “Lo yakin?”
Aira memandang langit-langit kamar. Terlintas wajah Ustadz Fathur, sikapnya yang tenang, caranya memilih diam daripada membela diri.
“Gue nggak bilang gue paham segalanya, Yu,” ucap Aira jujur. “Tapi ada rasa… kayak Allah yang dorong gue buat maju, bukan gue yang lari.”
Ayu terdiam cukup lama. “Lo berubah, Ra,” katanya pelan.
Aira tersenyum kecil. “Mungkin. Atau gue akhirnya berhenti ribut sama hidup gue sendiri.”
Ayu menghembuskan napas. “Ya udah. Kalau itu pilihan lo… gue doain.”
“Thanks, Yu.”
“Tapi satu hal,” lanjut Ayu cepat. “Kalau dia nyakitin lo...”
Aira memotong sambil tertawa kecil. “Tenang. Bokap gue duluan yang nyamperin.”
Ayu ikut tertawa, meski masih terdengar berat. “Dasar lo,” gumamnya. “Nikah tiba-tiba, bikin orang kaget.”
Setelah tidak ada lg yang dibicarakan, panggilan pun ditutup.
Aira meletakkan ponsel, menekan dadanya pelan.
Ada degup yang asing... bukan takut, bukan juga yakin sepenuhnya.
Tapi langkah pertama menuju hidup yang tak lagi bisa ia undur.
***
"Abi, Umi. Kenapa gak bilang kalau Ustadz Fathur mau menikah?"
Bersambung