Uwais menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, Stela, setelah memergokinya pergi bersama sahabat karib Stela, Ravi, tanpa mau mendengarkan penjelasan. Setelah perpisahan itu, Uwais menyesal dan ingin kembali kepada Stela.
Stela memberitahu Uwais bahwa agar mereka bisa menikah kembali, Stela harus menikah dulu dengan pria lain.
Uwais lantas meminta sahabat karibnya, Mehmet, untuk menikahi Stela dan menjadi Muhallil.
Uwais yakin Stela akan segera kembali karena Mehmet dikenal tidak menyukai wanita, meskipun Mehmet mempunyai kekasih bernama Tasya.
Apakah Stela akan kembali ke pelukan Uwais atau memilih mempertahankan pernikahannya dengan Mehmet?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Wajah Uwais menegang, kejutan di matanya langsung berubah menjadi kemarahan membara.
"Apa?! Apa yang baru saja kamu katakan, Stela?"
"Aku tidak akan menceraikan Mehmet. Aku mencintainya," ulang Stela dengan suara yang lebih lantang, mempertahankan tatapannya tanpa gentar.
Ia telah mengucapkan kebenaran yang selama ini tertahan, dan ia merasakannya dengan sepenuh hati.
Mendengar pengakuan itu, rahang Uwais mengeras. Matanya berkilat marah.
Ia merasa dikhianati dan dipermainkan. Seluruh rencana yang ia susun, pengorbanan yang ia pikir telah ia buat, hancur berkeping-keping.
PLAKKK!
Suara tamparan keras yang dilayangkan Uwais menggelegar di ruangan yang kedap suara itu.
Kepala Stela terhempas ke samping, meninggalkan rasa perih dan panas di pipinya.
Ia terhuyung sedikit, tetapi segera menstabilkan diri, air mata tidak jatuh dari matanya, hanya ada rasa terkejut dan amarah yang muncul.
Uwais menarik napas, tangannya gemetar, siap melancarkan makian.
Namun, sebelum Uwais sempat membuka mulutnya, pintu ruangan terbuka dengan suara keras, hampir terlepas dari engselnya.
Mehmet berdiri di ambang pintu, napasnya memburu. Ia baru saja kembali dari pertemuan yang gagal total dengan Tasya dan mendengar teriakan terakhir Stela serta suara tamparan itu.
Melihat Stela yang memegangi pipinya yang memerah, dan Uwais berdiri di hadapannya dengan tangan terkepal, darah Mehmet mendidih seketika.
Bugh!
Mehmet melepaskan tas kerjanya dan berlari ke depan. Tinju kerasnya mendarat telak di rahang Uwais. Uwais tidak siap dan langsung tersungkur ke lantai.
Bugh!
Tanpa memberi Uwais waktu untuk bangkit, Mehmet mencengkeram kerah bajunya dan kembali menghantamkan tinjunya, kali ini ke perut Uwais.
"Berani kamu menampar istriku!!" bentak Mehmet, suaranya menggelegar penuh amarah, jauh lebih menakutkan daripada bentakan yang ia berikan pada Lita kemarin.
Mehmet tidak memberi amarahnya jeda. Ia menarik Uwais berdiri, menghempaskannya ke dinding, dan bersiap memberikan pukulan lagi.
"Kamu pikir kamu siapa?! Kamu tidak punya hak menyentuhnya! Dia milikku sekarang! Dia istriku!" gertak Mehmet, wajahnya memerah padam.
Stela, meskipun terkejut dan kesakitan, segera pulih. Ia berlari ke arah Mehmet dan memegang lengan suaminya erat-erat.
"Met! Hentikan! Sudah, Met!" pinta Stela, suaranya sedikit panik.
Mehmet melihat sekilas ke wajah Stela, melihat bekas merah di pipi istrinya, dan kemarahannya semakin sulit dikendalikan. Namun, ia tidak ingin menyakiti Stela dalam proses ini. Perlahan, ia melepaskan cengkeramannya dari Uwais.
Uwais terbatuk-batuk di lantai, memegangi rahang dan perutnya.
Ia mendongakkan kepalanya dengan menatap Mehmet dengan kebencian dan rasa malu yang mendalam.
Mehmet mundur selangkah, melindungi Stela di belakangnya.
"Keluar," desis Mehmet.
"Keluar dari kantorku, dan jangan pernah tunjukkan wajahmu di depan istriku lagi. Jika tidak, aku pastikan kamu menyesal seumur hidupmu."
Mehmet mengabaikan Uwais yang masih terbatuk dan meringis di lantai. Prioritasnya kini adalah Stela.
"Sayang, kamu baik-baik saja?" tanya Mehmet dengan suara penuh penyesalan, tangannya memegang lembut pipi Stela yang memerah bekas tamparan.
Stela mengangguk, meskipun air matanya sudah tak tertahankan lagi.
"Aku tidak apa-apa, Met. Tapi kamu..."
"Aku tidak apa-apa. Sekarang kamu yang utama," potong Mehmet.
Ia beralih menatap Uwais dengan tatapan terakhir yang penuh ancaman.
"Diaz! Panggil keamanan! Usir orang ini dari perusahaan dan pastikan dia tidak pernah bisa masuk lagi!" teriak Mehmet keras melalui interkom di mejanya.
Ia tidak perlu lagi meminta Uwais keluar; dia telah mendelegasikannya.
Setelah memastikan keamanan sedang menuju ruangan, Mehmet segera menarik Stela ke sisi sofa, menjauhkannya dari Uwais.
Ia bergegas menuju lemari kecil di sudut ruangan, tempat ia menyimpan perlengkapan darurat.
Mehmet mengeluarkan kotak P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) berwarna putih.
Sambil meletakkan kotak itu di meja, ia menekan tombol interkom lagi.
"Diaz," suara Mehmet kini kembali teatur, meskipun masih ada nada dingin yang tersisa.
"Tolong segera belikan obat penghilang rasa sakit yang kuat, yang cepat meredakan nyeri, dan bawakan kompres dingin. Cepat!"
"Baik, Tuan Mehmet. Segera!" jawab Diaz dengan suara gemetar dari seberang interkom.
Mehmet membuka kotak P3K. Ia mengeluarkan kapas dan cairan antiseptik, lalu dengan sangat hati-hati, ia membersihkan sedikit sudut bibir Stela yang terasa perih karena hantaman tamparan Uwais.
"Maafkan aku, Sayang. Aku terlambat," bisik Mehmet, tatapannya penuh rasa bersalah.
"Jangan menyalahkan dirimu, Met. Ini bukan salahmu," balas Stela sambil menahan nyeri di pipinya.
Saat Mehmet sedang mengobati Stela, pintu ruangan terbuka dan dua petugas keamanan masuk.
Mereka melihat Uwais yang masih terhuyung di lantai dengan wajah babak belur, dan langsung mengerti situasinya.
Petugas keamanan tanpa banyak bicara langsung membopong Uwais yang tampak kesakitan dan menahan rasa malu yang amat besar.
Uwais menatap Stela dan Mehmet untuk terakhir kalinya, matanya dipenuhi dendam.
"Ini belum berakhir, Stela! Ingat itu!" ancam Uwais sebelum dibawa keluar dari ruangan, meninggalkan pintu tertutup rapat di belakangnya.
Mehmet mengencangkan rahangnya mendengar ancaman itu, tapi ia memilih untuk fokus pada Stela.
Ia tidak akan membiarkan ancaman kosong itu merusak dirinya dan Stela lagi.
Tepat setelah Uwais diseret keluar oleh petugas keamanan, pintu ruangan kembali diketuk.
Diaz, sekretaris Mehmet, masuk dengan wajah panik, membawa kantong kertas kecil berisi obat dan nampan dengan semangkuk bakso yang masih mengepul panas serta kompres dingin.
"Maaf, Tuan, saya tidak tahu bagaimana pria itu bisa masuk. Dia menerobos—" ucap Diaz gugup.
"Lupakan. Urusan itu biar Toni yang urus," potong Mehmet, matanya fokus pada Stela. Ia mengambil kantong obat dan kompres dingin dari Diaz.
"Terima kasih, kamu boleh kembali bekerja."
Setelah Diaz bergegas pergi, Mehmet menyodorkan pil penghilang rasa sakit dan segelas air putih pada Stela. Stela menelan obat itu, berharap nyeri di pipinya segera hilang.
"Ini kompres dinginnya, Sayang. Tahan sebentar," ujar Mehmet lembut, menempelkan kompres dingin ke pipi Stela yang memerah dan bengkak.
Stela memejamkan mata, merasakan lega dari sensasi dingin itu.
Aroma bakso yang dibawa Diaz menguar, mengingatkannya pada permintaan yang sempat tertunda.
"Bakso, akhirnya," gumam Stela dengan senyum tipis, meskipun matanya masih terasa perih.
"Ya, bakso mercon untuk Nyonya Mehmet yang berani dan kuat," kata Mehmet, mengusap lembut rambut Stela.
"Tapi kamu harus makan setelah beristirahat. Lukamu butuh waktu."
Tanpa menunggu persetujuan Stela, Mehmet segera membopong tubuh istrinya dari sofa.
"Met! Aku bisa jalan!" protes Stela pelan, terkejut dengan tindakan suaminya yang tiba-tiba.
"Aku tahu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan membiarkanmu merasakan sakit sedikit pun lagi hari ini," jawab Mehmet tegas.
Ia membawa Stela menuju pintu kayu mahoni yang tersamar sempurna di dinding, yang mengarah ke ruangan rahasia.
Dengan bahu Stela bersandar nyaman di dadanya, Mehmet membuka pintu ruangan rahasia itu dengan satu tangan.
Ia memasuki ruangan yang tenang dan gelap, lalu menurunkan Stela dengan hati-hati di atas ranjang king size yang tertata rapi. Mehmet menyelimuti Stela dengan selimut tebal.
"Istirahatlah. Aku akan letakkan bakso di meja, nanti kalau kamu sudah merasa lebih baik, kamu bisa makan," bisik Mehmet, mengecup kening Stela lama.
"Kamu mau ke mana?" tanya Stela, suaranya sedikit serak. Ia meraih tangan Mehmet, takut ditinggalkan setelah semua drama ini.
"Aku akan kembali ke meja kerjaku. Tapi jangan khawatir, aku hanya di balik dinding ini. Aku akan membuka interkom agar aku bisa mendengar kalau kamu memanggilku," jawab Mehmet, meyakinkan.
"Tidur, Sayang. Lupakan apa yang terjadi hari ini. Kamu aman di sini."
Stela mengangguk, merasa damai dan terlindungi dalam kehangatan ruang rahasia itu.
Rasa aman yang diberikan Mehmet meredakan seluruh ketegangan di tubuhnya.
Ia memejamkan mata, membiarkan obat penghilang rasa sakit mulai bekerja.
Mehmet memastikan lampu redup sudah menyala dan kompres dingin tetap berada di tempatnya, lalu ia keluar dari ruangan rahasia, menutup pintu itu rapat-rapat, dan kembali ke ruang kerjanya untuk menghadapi sisa pekerjaan dan ancaman dari Uwais.