NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rahasia Vincent

Kei menurunkan kaca mobil perlahan.

“Itu… Jule?” gumamnya heran. Alisnya mengerut. “Tumben banget dia jalan kaki… dan penampilannya berantakan begitu.”

Rora mencondongkan tubuh sedikit. “Kak, ada apa?”

“Oh… nggak apa-apa. Maaf ya.” Kei kembali mengangkat kaca dan menginjak pedal gas. Namun wajahnya masih menyimpan tanya, seolah ada rasa tak enak yang belum sempat ia artikan.

Mobil melaju lagi, cepat tapi stabil. Hingga mereka tiba di rumah sakit. Kei memarkir mobil dan langsung berjalan menuju ruang ICU. Tapi begitu sampai…

Kosong.

Kei spontan berhenti. “Lho…?”

Ia merogoh saku, mengeluarkan ponsel, dan langsung menekan nomor Alfin.

Tuut… tuut…

“Halo, Fin. Aku sampai nih. Kalian di mana?” tanya Kei cepat, waspada.

“Oh, gadis itu udah di pindah rawat inap. Kami di kamar VIP, ruang Mawar 2,” jawab Alfin.

“Baik, aku ke sana.”

Kei menutup telepon dan segera berjalan, kedua gadis mengikuti seperti bayangan yang tak ingin tertinggal sedetik pun.

Ceklek.

Pintu terbuka. Ruangan VIP itu sunyi, hanya suara mesin infus yang pelan.

Fandi duduk di sofa, tubuhnya tegap tapi sorot matanya… kosong. Alfin duduk tak jauh darinya. Epi terbaring di ranjang, wajah pucatnya lebih bersih tanpa banyak selang—tinggal satu infus menempel.

Rora dan Rami langsung mendekat, menahan napas saat melihat kondisi temannya.

“Syukurlah… setidaknya dia masih bernapas,” bisik Rami, suaranya bergetar, mata berkaca-kaca.

“Iya… kita selalu bareng. Tapi kali ini… aku benar-benar nggak tau harus ngomong apa…” suara Rora pecah.

Kei mendekati Fandi, meletakkan kantong makanan di meja.

“Tadi aku lihat Jule,” katanya pelan. “Aneh. Dia jalan kaki, Fin. Nggak bawa mobil. Penampilannya… kacau.”

“Oh ya? Ya sudahlah,” sahut Alfin datar. “Aku nggak peduli sama wanita gila itu.”

“Aku juga nggak peduli sebenarnya,” lanjut Kei. “Cuma… ya aneh aja. Nggak biasanya dia begitu. Kau tahu sendiri kelakuannya.”

“Biarkan mati pun aku nggak peduli,” gumam Alfin enteng.

Kei langsung mencolek lengan Alfin. “Mulutmu itu, Fin… Benci boleh, tapi jangan gitu juga lah.”

“Aku memang nggak suka,” jawab Alfin, tetap santai namun tajam.

“Ohiya, Fan,” lanjut Kei. “Gimana kondisi gadis itu? Tadi aku ditanya tapi aku nggak tau harus jawab apa.”

Alfin menghela napas. “Awalnya krisis. Koma. Tapi cuma beberapa jam. Sekarang stabil. Jadi jangan panik… cukup dia aja yang panik.” Tatapannya melirik Fandi yang tak bergerak sedikit pun, seolah dunia berhenti hanya untuk satu orang di ranjang itu.

Kei mengangkat alis. “Aku heran sama kau, Fan. Kayak kekasihmu sendiri yang dirawat. Jangan bilang kau suka sama Epi?”

Fandi mendongak sedikit, wajah datar. “Diam, Kei.”

Kei mengangkat kedua tangan tanda menyerah. “Baiklah, baiklah.”

Ia menoleh ke dua gadis yang masih berdiri membatu.

“Hei! Sudah, jangan berdiri terus. Sini makan. Dia baik-baik saja,” ujar Kei.

Rora menoleh pelan. “Iya, Kak…”

Mereka berjalan mendekat, tapi kaku. Terlihat jelas ketidak nyamanan mereka. Kei sadar itu.

“Kalian santai aja. Kami bukan kriminal, tahu,” katanya sambil duduk.

Rora dan Rami hanya saling berpandangan kecil.

Alfin menyodorkan tiga kotak makanan. Mereka makan pelan, sunyi, hanya suara plastik makanan yang terbuka.

“Fin,” kata Kei sambil mulai bercerita. “Mereka bukan asli sini. Dari Sulawesi. Lima tahun di sini. Waktu mau kerja di Jakarta… malah di-PHP.”

“Jahat sekali. Siapa?” tanya Alfin.

Rora menjawab, “Kami direkrut untuk kerja di bandara. Mereka hari itu juga dan besok harus berangkat. Kami urus berkas, telat satu hari… pas sampai sini mereka bilang sudah ada karyawan baru.”

“Kurang ajar juga itu,” gumam Alfin.

“Yah begitulah dunia,” ujar Kei, mengangkat bahu.

Mereka makan dalam diam lagi.

Sementara itu—di sisi lain kota.

Usai pemakaman, Vincent dan Mahawira duduk di sebuah restoran sepi. Lampu remang membentuk bayangan panjang di wajah mereka. Ketegangan menggantung di udara.

“Aku masih ragu… apa benar pelakunya anak si Atha?” tanya Mahawira. Ada kegelisahan dalam suaranya.

Vincent menatap meja, jarinya mengetuk pelan. “Kurasa iya. Kau tau sendiri berapa banyak pasukan Suryo. Tapi kalau pelakunya orang selevel anak Atha… itu masuk akal. Gerak anak itu cepat. Brutal.”

Mahawira menelan ludah. “Lalu apa rencanamu?”

Vincent mengangkat wajah. Matanya merah, bukan marah—tapi luka yang lama terpendam. “Kita lihat nanti. Yang jelas… sekarang Suryo bisa merasakan… apa rasanya kehilangan orang yang kita sayang.”

Mahawira memerhatikan wajah Vincent yang perlahan retak.

“Apa maksudmu?” tanya Mahawira, bingung.

Vincent bersandar, suara rendahnya bergetar. “Ini cuma kau yang tahu, Wira. Jaga rahasia ini.”

Mahawira mengangguk. “Tentu. Aku juga nggak suka dia.”

Vincent menarik napas panjang—lalu kalimat itu keluar.

“Kau tau anakku, Denis? Yang meninggal itu?” suaranya pecah. “Itu ulah anak Suryo. Angga sialan itu.”

Mahawira tersentak, tubuhnya mendadak tegang. “Apa?!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!