Bagi mata yang memandang hidup Runa begitu sempurna tapi bagi yang menjalani tak seindah yang terlihat.
Runa memilih kerja serabutan dan mempertahankan prinsipnya dari pada harus pulang dan menuruti permintaan orang tua.
"Nggak apa-apa kerja kayak gini, yang penting halal meskipun dikit. Siapa tau nanti tiba-tiba ada CEO yang nganterin ibunya berobat terus nikahin aku." Aruna Elvaretta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Net Profit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Celaka
Sudah dua hari Runa menginap di rumah sakit, keadaan mama Retno sudah semakin membaik setelah menerima 3 kantung tranfusi darah. Siang nanti mama Retno akan menjalani operasi pemasangan AV shunt guna memperlancar proses cuci darah yang sudah dilakukan secara rutin dua kali dalam seminggu. Menurut penjelasan dokter pemasangan AV Shunt ini sangat penting untuk pasien HD. Dengan adanya AV shunt proses cuci darah bisa berlangsung lebih cepat, selain itu juga meminimalisir rasa sakit pasien saat ditusuk jarum untuk akses darah yang ukurannya lebih besar dari jarum suntik biasa tentunya.
"Mas! bengong aja!" Runa menyikut Qian yang tampak melamun di depan instalasi bedah sentral. Mereka baru saja mengantar mama Retno masuk ke ruang operasi. Papa Teguh sudah kembali ke kantor karena banyak pekerjaan yang harus di handle siang tadi sementara Mayra sedang les. Semula Mayra memaksa untuk ikut menemani namun sang mama menolak dan meminta si bungsu fokus saja dengan pendidikannya, toh operasinya juga hanya operasi kecil dengan minim resiko. Mama Retno tak enak hati karena jika Mayra di rumah sakit dia akan terus-terusan menempel pada Runa. Kasihan gadis itu, merawatnya saja pasti sudah sangat melelahkan, masih harus direpotkan dengan sikap manja Mayra.
"Tante Retno pasti nggak apa-apa, mas. Hanya operasi kecil, kita do'ain semoga operasinya lancar." Runa mengusap tangan Qian.
"Tetep aja aku takut." jawab Qian, "mama jarang banget sakit, sekalinya sakit langsung parah, langsung operasi juga." lanjutnya.
"Ya yang sabar mas, namanya ujian. Bukan cuma buat mas Qian, tapi juga buat Mayra, om Teguh sama tante Retno juga. Selama ini kan hidup keluarga mas Qian udah sempurna banget makanya allah ngasih ujian ini supaya hidup keluarga mas Qian lebih sempurna." jelas Runa.
"Tapi kenapa mesti mama? kenapa nggak aku aja?"
"Namanya juga ujian mas, masa mau milih. Setiap orang punya ujiannya masing-masing. Miskin ujian, nikah ujian, punya anak ujian, bahkan punya harta yang berlimpah juga ujian." ucap Runa sambil menahan senyum. Bbisa-bisanya ia jadi mendadak ceramah seperti ini. So banget nasehatin orang lain padahal dirinya saja menolak mentah-mentah nasihat orang tuanya. Runa tau pasti semua yang orang tuanya inginkan adalah demi kebaikannya, namun sayang otaknya masih menolak sadar.
Melihat Qian yang begitu cemas membuat Runa tiba-tiba teringat pada mama dan papanya. Terutama pada sang mama dan keluarga besar mamanya yang memaksakan kehendak. Runa menghela nafas panjang, tak terbayangkan jika yang ada di ruang operasi saat ini adalah mamanya. Tak terasa matanya berkaca hingga butiran air itu meluncur tak terkontrol.
Qian menyeka kedua pipi Runa, "katanya jangan khawatir, tapi kamu nya malah nangis. Gimana sih!" ledek Qian.
Runa buru-buru tersenyum, "maaf mas. Cuma kelilipan aku tuh." elaknya.
"Operasinya kan enam puluh menitan, gimana kalo kita cari makan dulu? jangan bilang nggak laper, pokoknya aku maksa!" lanjutnya yang kini sudah beranjak berdiri.
Sebenarnya Qian tak lapar, jujur ia tak naf su makan saat ini. Tapi mengingat Runa yang dari kemarin selalu sibuk mengurus mamanya maka ia setuju saja. Keduanya berjalan beriringan menuju kantin yang jaraknya bukan lumayan jauh lagi tapi memang sangat jauh untuk ukuran pejalan kaki. Di dalam rumah sakit juga terdapat kantin tapi Runa lebih suka makan di kantin yang dekat pintu masuk rawat inap dengan alasan lebih murah.
"Kamu duluan aja, aku ambil uang dulu." ucap Qian begitu mereka melewati ATM,"pesenin aku makan juga, menu nya samain aja sama kamu." lanjutnya.
Runa mengacungkan jempolnya, "siap."
Runa melangkah di tepi jalan dengan santai, ia tak habis pikir tiba-tiba sebuah motor melaju cepat ke arahnya. Beruntung seorang pria dengan sigap menariknya ke pinggir meski akhirnya tangan Runa tetap terluka karena terbentur trotoar jalan.
"Non Runa nggak apa-apa? maaf saya kurang cepat." ucap seorang pria dengan wajah yang tertutup topi dan masker yang kini dengan penuh hati-hati memeriksa lengannya.
Runa bengong, kejadiannya terlalu cepat. Otaknya belum bisa menyusun kronologi. Yang ia ingat hanya sedang berjalan santai dan tiba-tiba tersungkur begitu saja, dan kini tangan kirinya berdarah.
"Non Runa, kita ke IGD sekarang." pria bermasker itu hampir menggendong Runa yang masih bengong, beruntung ada Qian datang dan langsung menjauhkan tangan pria itu dari tubuh Runa.
"Biar saya saja." Qian langsung membopong Runa keluar dari kerumunan orang-orang disana.
Runa menelungkupkan wajahnya di pelukan Qian, bukan karena sakit tapi malu tiba-tiba dikerumuni banyak orang. Setelah tiba di IGD dan dibaringkan dalam bed Runa langsung duduk, ia merasa tak apa-apa.
"Tiduran dulu biar diperiksa dulu sama dokter." ucap Qian.
"Betul non jangan dulu banyak gerak." imbuh pria bermasker yang juga ikut ke IGD.
Qian menatap sekilas pria yang kini berdiri di seberang ranjang Runa, "Makasih sudah nolongin Aruna, saya bisa urus sisanya." ucap Qian.
"Tidak masalah, sudah tugas saya." jawab si pria.
Runa mengamati pria yang tingginya hampir sama dengan Qian, baginya suaranya tak asing. "mas Qian maaf bisa tinggalin aku dulu nggak? mas Qian bisa kembali ke IBS nanti aku nyusul." ucap Runa.
"Tapi kamu harus diperiksa dulu, Runa." tolak Qian.
"Nggak apa-apa, mas. Ini juga nggak parah paling diplester doang. Takutnya dokter nyariin wali pasien nanti sementara di luar nggak ada siapa-siapa." jelas Runa.
Qian begitu salut dengan pemikiran Runa, saat dirinya terluka saja masih tetap memikirkan orang lain. Bukan tak mau menemani Runa di IGD tapi pilihan terbaiknya saat ini harus kembali ke IBS. "kalo ada apa-apa telpon aku yah." ucapnya sebelum pergi.
Qian berlalu meninggalkan IGD, sebelum benar-benar keluar ia berbalik dan melihat ke arah Runa dari kejauhan. Pria bertopi tadi melepas masker dan topinya. Ia tak tau siapa dibalik pakaian serba hitam itu karena menghadap Runa tapi yang bisa Qian tangkap Runa langsung tersenyum bahkan tertawa bersama pria itu.
Qian sudah berada di IBS dan duduk di kursi tunggu. Meski raganya terduduk di sana tapi pikirannya masih tertinggal di IGD. Bayangan Runa tertawa bersama pria lain lumayan mengusik ketenangannya. Siapa sih kenapa kelihatannya begitu akrab?
Qian menyandarkan kepalanya sambil menghela nafas panjang, "ngapain juga aku mikirin Runa?"
"Tapi kira-kira dia siapanya Runa yah?"
"Apa aku balik ke IGD aja yah takut Runa kenapa-napa?"
"Tapi mama gimana?" Qian terus berperang dengan pikirannya sendiri, pada akhirnya ia hanya bisa menerka-nerka sambil menatap langit-langit ruang tunggu IBS.
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
pusing dah kami run sama qian🤣
lah Qian aja ngira ngebabu di rumah orang tua nya sendiri