NovelToon NovelToon
Buah Hati Sang Pewaris

Buah Hati Sang Pewaris

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Demi biaya operasi ibunya,kiran menjual sel telurnya.Matthew salah paham dan menidurinya,padahal ia yakin mandul hendak mengalihkan hartanya pada yoris ponakan nya tapi tak di sangka

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebuah rahasia

Dari kejauhan, langkah sepatu kulit terdengar tegas.

“Ada apa ini?” suara berat dan dalam membuat semua suster menoleh.

Ayah Insila berdiri di sana—berjas rapi, wajahnya dingin seperti batu.

Salah satu suster menunduk gugup, menjelaskan dengan terbata, “Tadi… ada sedikit keributan, Pak. Putri Anda dan dua pasien muda berselisih paham. Salah satu pasien—Nona Kiran—baru saja kami bantu karena hampir terjatuh.”

Tatapan pria paruh baya itu langsung menusuk tajam ke arah Insila.

“Ikut ke ruangan papa. Sekarang.”

Nada suaranya tidak bisa dibantah.

Insila menelan ludah, wajahnya menegang, tapi ia tetap mengikuti ayahnya masuk ke ruang kepala penanggung jawab rumah sakit.

Di luar, Kiran masih dibantu suster berjalan menuju pintu keluar. Di saat yang sama, Matthew baru masuk, membawa senyum yang menenangkan.

“Sudah selesai, sayang?” tanyanya lembut.

Kiran hanya mengangguk kecil, berusaha menahan emosi yang masih tersisa.

“Sudah. Ayo pulang,” ujarnya dengan senyum lemah.

Matthew menggenggam tangannya erat, “Oke. Setelah ini, kamu istirahat, jangan pikirkan apa pun lagi.”

Kiran mengangguk pelan, lalu mereka berjalan beriringan menuju mobil.

Sementara itu, di ruangan kepala penanggung jawab, udara menegang.

Ayah Insila berdiri di depan jendela besar, tangan di saku, menatap keluar.

“Apa yang kau lakukan di sini, hah? Bikin malu keluarga?” suaranya tajam, menusuk.

Insila menggertakkan gigi, mencoba tampak tenang, padahal wajahnya pucat.

“Papa, aku cuma membela diri. Dia yang duluan mendorong aku,” katanya cepat.

“Dia juga menuduhku hal-hal kotor, menyebutku anak haram! Apa aku harus diam, Papa?”

Pria itu berbalik dengan wajah tegang. “Apa?! Siapa berani berkata begitu padamu?”

“Ya Tuhan, Papa, dia kasar sekali. Aku hanya membalas, masa aku disalahkan?” ujarnya dengan nada dibuat-buat sedih.

Matanya berkaca-kaca, tapi sorotnya berkilat penuh tipu daya.

Ayahnya mengembuskan napas panjang. “Kau ini… selalu membuat masalah. Rumah sakit ini di bawah tanggung jawab Papa. Sekali lagi kau buat keributan, Papa sendiri yang akan memindahkanmu ke luar negeri. Mengerti?”

“Sudahlah Papa, dia cuma anak jalang yang pura-pura kaya. Aku tidak sudi disamakan dengannya,” sahut Insila cepat, menepis nada ancaman itu.

“Oh iya, Papa, aku ke sini cuma mau minta uang jajan. Aku mau ke mal sore ini,” tambahnya seenaknya.

“Tidak ada uang jajan!” bentak sang ayah dengan suara berat.

“Belanja bulananmu baru minggu lalu, dan tagihan kartu kreditmu belum lunas. Jangan ganggu Papa, banyak urusan yang harus diselesaikan.”

Ia mengibaskan tangan, menyuruhnya pergi.

Wajah Insila menegang. “Papa selalu begitu! Selalu sibuk! Tidak pernah mau dengar aku!”

“Keluar, Insila.”

“Papa!”

“Keluar!”

Gadis itu mengepalkan tangan, menahan amarah, lalu membanting pintu sekeras mungkin sebelum melangkah pergi.

Suara pintu bergetar menembus dinding.

Ayahnya menghela napas panjang, menekan pelipis. “Anak keras kepala…” gumamnya pelan.

Beberapa detik kemudian, terdengar suara klik halus dari pintu.

Pria itu menoleh.

Seorang wanita muda masuk ke ruangan itu dan mengunci pintu di belakangnya. Dengan langkah anggun, ia mendekati pria paruh baya yang duduk di kursi kebesarannya. Senyum menggoda bermain di bibirnya saat ia melingkarkan tangannya di leher pria itu dari belakang. Wanita itu adalah Diyyah, teman Insila.

"Aku rindu," bisiknya lembut di telinga pria itu, membuat bulu kuduknya meremang.

Pria paruh baya itu terkekeh pelan, menikmati sentuhan Diyyah. "Aku juga rindu, sayang," jawabnya sambil mengecup pipi mulus Diyyah. "Kenapa kamu bisa ke sini bersama Insila?" tanyanya kemudian, rasa ingin tahu terpancar dari matanya.

Diyyah menjawab dengan nada menggoda, "Loh, memangnya kenapa? Apa aku salah jalan dengan anakmu, sayang?" Ia menoel dagu pria itu dengan manja, membuat pria itu semakin gemas.

Tanpa menunggu jawaban, Diyyah mendudukkan dirinya di pangkuan pria itu dan mulai menciumnya dengan mesra. Ciuman itu semakin dalam dan bergairah, melupakan sejenak status mereka yang rumit.

Setelah beberapa saat, mereka melepaskan ciuman itu, terengah-engah. Diyyah menatap pria itu dengan tatapan khawatir. "Apa dia akan menerimaku jika tahu?" tanyanya dengan suara lirih, takut akan penolakan.

Pria paruh baya itu tersenyum lembut dan menyentuh hidung Diyyah dengan sayang. "Tentu saja. Kalau dia tidak menerimamu, kamu tetap jadi ibu sambungnya," jawabnya dengan nada bercanda, membuat Diyyah terkikik geli. Mereka kembali berciuman, melupakan segala masalah yang ada.

Di sisi lain, Matthew dan Kiran telah tiba di rumah. "Jadi, kapan kamu akan pergi membeli perlengkapan bayi, sayang?" tanya Matthew dengan nada penuh kasih.

Kiran menjawab dengan lesu, "Nanti saja. Aku sangat lelah saat ini."

"Apa kamu akan ke kantor lagi?" tanya Kiran, mencoba mengalihkan perhatiannya dari rasa tidak nyaman yang menghantuinya.

Matthew tersenyum lembut dan mengusap pipi Kiran dengan sayang. "Iya, maaf. Aku hanya sebentar. Jika terjadi sesuatu, cepat hubungi aku, mengerti?" kata Matthew, memastikan Kiran akan baik-baik saja. Ia mengecup kening Kiran dengan lembut dan masuk kembali ke mobil, meninggalkan Kiran dengan perasaan campur aduk.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!