NovelToon NovelToon
Dari Dunia Lain Untuk Anda

Dari Dunia Lain Untuk Anda

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin
Popularitas:413
Nilai: 5
Nama Author: Eric Leonadus

Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.

Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.

Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Ketiga

"Srok... srok... srok..."

Suara itu terdengar tepat berada di depan pintu rumah dimana kami menginap. Aku terbangun. Bella, Yulia dan Joan masih tertidur pulas. Berhubung yang terdekat denganku adalah Joan, maka, kucoba untuk membangunkannya.

"Jo... Jo... Joan, bangun,"

Ia menggeliat, tampaknya ia mendengarku tapi hanya aku kecewa, bukannya bangun tapi, malah merubah posisi tidurnya.

"Jo... Joan, bangun," sapaku untuk kedua kali, bunyi itu semakin jelas terdengar.

"Srok.... srok... srok..."

"Joan, bangun !" kataku setengah berteriak membuat wanita itu melompat bangun, "Ada apa, Cel ?!" tanyanya nyaris berseru. Ia tampak kesal sekali, namun, aku memberi isyarat agar menurunkan nada bicaranya, "Sstt, tenanglah, apa kau tidak mendengar sesuatu ?"

Joan menghela nafas, mencoba fokus...

"Srok... srok.... srok....."

"Suara apa itu ?" tanya Joan.

"Entahlah, makanya temani aku untuk mencari tahu. Suara itu berasal dari luar," kataku.

"Kenapa kamu selalu mendengar suara-suara aneh, sich ?" desah Joan kesal.

"Kalau kau tidak mau menemaniku, biar aku sendiri yang melihatnya," ancamku.

"Baiklah... baiklah, ayo," sahut Joan.

Kamipun turun dari pembaringan dan perlahan-lahan menuju ke ruang depan.

Ruangan itu hanya diterangi oleh beberapa cahaya lampu minyak. Terbatas. Suara itu kembali terdengar, kami ragu-ragu sejenak, bulu kuduk merinding namun, kalah oleh rasa penasaran kami.

"Kelihatannya, seperti orang mengais-ngais tanah," bisik Joan sambil meraih sebuah lampu minyak, "Untungnya, hampir semua rumah penduduk desa ini, terbuat dari anyaman bambu. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, sebaiknya kita mengintip saja dari celah-celah dinding bambu ini," sambungnya sambil mendekatkan matanya ke dinding, akupun ikut mengintip....

Tampak oleh kami, sesosok tubuh duduk membelakangi, kurus, pakaiannya yang berwarna biru itu compang-camping dan Kumal.

"Lho, bukankah pakaian yang dikenakannya itu adalah seragam khas Universitas L ?" tanya Joan.

"Benar," sahutku, "Perawakan tubuhnya mirip dengan.... Bianca," sambungku seraya hendak membuka pintu, tapi, Joan mencegah.

"Jangan gegabah, Cel... tidak mungkin Bianca datang kemari, apalagi selarut ini. Kau tahu sendiri, Bianca itu penakut,"

"Itu Bianca, Jo..." selaku, "Kita harus menolongnya,"

"Coba kau pikir, Cel... " tukas Joan,

"Teman-teman kita sudah menghilang nyaris seminggu, kalau itu Bianca, okelah.... tapi, kalau bukan ?" Joan meyakinkan.

"Memangnya, siapa ? Jin, setan, dedemit ?!" kataku sambil membuka pintu dan menghampiri sosok itu.

Aku tersentak, sosok itu memang Bianca. Ia sedang mengais-ngais tanah. Badannya penuh debu dan bau, rambutnya kusut, ia tampak seperti orang linglung dan tak menyadari kehadiranku. Dia terus mengais-ngais tanah, sepertinya sedang mencari sesuatu.

"Bi... Bianca, kemana saja kau selama ini," sapaku. Dia tidak menjawab, tangannya terus mengais dan mengais seakan tidak peduli tangannya menghitam, " Hentikan, Bi... kenapa kau ini ?!" seruku.

Tidak ada jawaban, ia benar-benar tidak mengenaliku rupanya, "Jo... Jo, kemarilah, dia benar-benar Bianca," seruku, "Tampaknya dia mengalami amnesia,"

Joan segera keluar dan menghampiri kami, membantu Bianca berdiri dan memapahnya masuk.

Keributan kecil itu membangunkan Bella, Yulia dan yang lain. Mereka terkejut, heran bercampur senang sebab, kami sudah mencarinya kemana-mana, namun, tidak menemukannya setelah nyaris 1 Minggu menghilang.

Mereka mengajukan berbagai macam pertanyaan secara beruntun, tapi, Bianca bagai kehilangan rohnya. Aku jadi frustasi sendiri.

"Kalian, diamlah ! Apa kalian tidak bisa melihat kondisi Bianca ?!" bentakanku itu cukup untuk mendiamkan cowok-cowok cerewet itu, khususnya, Akhmad yang bicara sembarangan.

"Cel...," sapa Yulia, "Mungkin sebaiknya kau basuh dia dulu, dia begitu kusut sekali dan maaf, tubuhnya kotor dan bau sekali,"

"Kau benar, Yulia... bantu aku memasak air, ya ?" pintaku. Yulia mengangguk lalu bergegas ke dapur.

***

"Jo, tubuh Bianca, banyak sekali bekas sayatan," kataku pada Joan.

Bianca sudah tertidur. Joan, Yulia dan Bella saling pandang.

"Aku tak habis pikir, apa yang membuatnya jadi seperti orang tolol dan hilang ingatan... padahal kita tahu sendiri bagaimana Bianca sewaktu di sekolah. Cerdas dan penuh dengan ide-ide kreatif," sahut Yulia.

Kami beriringan masuk ke dalam kamar dimana ia berbaring. Bianca tertidur pulas, rongga dada dan perutnya bergerak naik-turun, begitu teratur berbeda dengan saat pertama kali aku menemukannya. Nafasnya memburu.

"Dengan kondisinya yang seperti ini, kita tidak bisa mengetahui apa yang terjadi padanya juga teman-teman..." ujar Bella.

"Aku kok jadi teringat dengan ucapan Pak Udin tentang lelepah dan Bajang. Apakah memang makhluk itu ada di tempat ini ?" tanya Yulia.

"Jangan bodoh, Yul... itu cuma mitos saja," sanggah Joan.

"Lalu, bagaimana dengan sesajen yang nyaris ada hampir di setiap sudut rumah dan luka-luka bekas sayatan di tubuh Bianca ?" tanyaku, "Patut kalian ketahui, semenjak pertama kali menginjakkan kaki di desa ini, aku merasa aneh," sambungku.

"Aneh, bagaimana ? Toh, kamu pertama kali berada di tempat ini, kau pingsan selama 2 hari," ujar Joan.

Aku menatap Joan dalam-dalam, seakan tak ingin beralih dari Si Lucy Lawless versi universitas L. Banyak kejadian aneh yang menimpaku saat memulihkan diri dan tak ingin menceritakannya pada mereka karena takut membuat mereka cemas, khawatir ataupun ketakutan. Termasuk, Joan. Tapi, tampaknya, aku harus menjelaskan semuanya pada mereka.

Aku memberi isyarat pada mereka untuk mengikutiku ke ruang tamu. Setelah memastikan tidak ada orang lain lagi yang mendengar, mengintip atau melihat kami berbincang-bincang, aku mulai bercerita tentang apa sebenarnya yang telah kualami.

Aku bercerita tentang pertemuanku dengan sosok mengerikan yang tengah memakan daging manusia dan juga pertemuanku dengan Pedro. Sekalipun hanya mimpi namun seperti nyata. Joan dan yang hanya memposisikan diri sebagai pendengar yang baik, tanpa respon atau komentar apapun, bagiku tanggapan mereka biasa-biasa saja. Akan tetapi, inilah yang membuat mereka serius untuk mendengarkan.

***

Pada hari keempat, setelah aku sadar dari pingsanku Bi Mindar pernah mengatakan padaku kalau Bianca, Ikbal, Parto dan Pedro meninggal. Tapi, pada kenyataannya, Bianca mendadak muncul kembali dalam keadaan linglung. Dia tak mengenali siapapun termasuk dirinya sendiri, bahkan sekujur tubuhnya penuh dengan bekas luka sayatan. Ini belum bisa diketahui penyebabnya.

Banyak misteri yang menyelimuti menghilang dan kembalinya Bianca. Aku berharap, Bianca bisa pulih seperti sedia kala, agar kami tahu peristiwa yang menimpanya.

Namun, yang membuatku merasa tidak betah berada di tempat ini adalah ....

kemanapun aku pergi, bagian tengkuk dan bahuku serasa berat dan kebas. Itu terjadi saat aku berada di lokasi tempat kami mengalami kecelakaan, juga, tempat-tempat yang terdapat sesajen.

Hingga pada suatu malam, saat aku sedang berbaring. Ada sepasang tangan membelai-belai rambutku. Belaian itu begitu dingin, sampai sekarang pun masih terasa. Hawa dingin merayapi ubun-ubun hingga ujung jari- jemari kakiku, padahal itu sudah lewat beberapa hari yang lalu.

Saat aku membuka mata, tampak seorang wanita tua bertubuh bongkok, berkebaya merah dengan jarik mengikat pinggangnya.

Sebuah tusuk konde berwarna kuning keemasan dengan ukuran burung merpati menancap di rambutnya yang kelabu dan digelung. Ia tampak anggun, tapi, aku merasa tidak nyaman adalah tidak ada bola mata di dalam kelopak matanya yang putih. Ia menatapku, entah marah, entah senang atau apa dan kedua tapak tangannya memegang pipi kanan-kiriku, dan....

Sebuah cahaya putih menyilaukan, membuatku harus menutup mataku untuk beberapa detik dan saat membuka mataku, aku sudah berada di tempat asing.

Di hadapanku, lebih kurang 10 meter dari tempat aku berdiri, tampak sebuah bangunan persegi panjang dengan dinding batu kali. Nenek tua itu mendadak sudah berdiri di hadapanku dengan kedua tangan di punggungnya. Dia berjalan tertatih-tatih, sesekali memandang ke arahku, seakan menyuruhku untuk mengikutinya. Maka, bagai digerakkan oleh sebuah kekuatan tak kasat mata, kaki- kaki ini melangkah perlahan. Langkah kakiku terhenti di sebuah pintu setinggi dua meter terpampang di hadapanku. Bercat hitam legam dan ada hawa aneh mengalir dari permukaannya.

Pintu terpentang lebar. Di dalam ruangan tersebut aku melihat, ada lebih kurang 20 orang, pria dan wanita mengenakan baju tipis berwarna putih tengah menyembah sebuah patung raksasa berwarna hitam legam bentuknya aneh dan mengerikan.

Patung itu tampak hidup saat cahaya-cahaya obor dan api menyinarinya. Bertanduk empat, sepasang mata merahnya membelalak lebar dan mulutnya terbuka, memperlihatkan deretan gigi yang runcing dan pada ujung gigi tersebut berwarna merah darah. Bertangan sepuluh, yang masing-masing membawa berbagai macam benda, 2 diantaranya diletakkan pada dada, sementara yang lain memegang kepala manusia, jantung, pedang, trisula, tombak, gada, piring dan cangkir.

Namun, aku bergidik saat orang-orang di dalam ruangan tersebut memalingkan wajah, memandangiku dengan tatapan hampa dan kosong.

Cairan kental berwarna merah membasahi mulut dan pakaian mereka. Masing-masing membawa segumpal daging dan anggota tubuh manusia dimana terdapat bekas gigitan dan cabikan. Bau amis, anyir dan busuk menggelitik hidungku, membuat perutku serasa diaduk-aduk. Lututku serasa lemas tak bertenaga, kepalaku pening dan pandanganku kabur. Akupun roboh tak sadarkan diri, begitu membuka mataku, aku sudah berada di kamar tidur, nenek tua itu hanya memandangiku dengan kedua tangan tersembunyi di balik punggungnya.

"Nduk, mumpung isih ana wektu ... Kowe lan kanca- kancamu, kudu enggal lunga saka papan Iki. Mbebayani,"

( Nduk, selagi masih ada waktu, kau dan teman-temanmu harus segera pergi dari tempat ini. Berbahaya).

Itulah kata-katanya, sebelum nenek itu menghilang dari pandanganku.

Beberapa hari kemudian Hudi datang dan menyampaikan hal yang sama seperti yang diperlihatkan oleh nenek tersebut.

_____

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!