Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
“Untuk apa lagi kalian ke sini?!” suara Chandra meninggi, matanya merah menahan emosi saat melihat kedatangan dua orang pengacara Audy ke kantornya.
"Sudah kubilang, aku tidak akan bercerai! Dan aku juga tidak akan membiarkan Audy menjual sahamnya atau menarik investasinya dari perusahaan ini!”
Di hadapannya, Gilang hanya tersenyum tipis. Ia menyandarkan tubuh ke kursi tanpa gentar sedikit pun.
“Kalau begitu, anda lebih suka jika kami menggugat anda di pengadilan?” tanyanya tenang, namun mengancam.
Wajah Chandra memerah. “Kalian pikir aku takut?”
“Asal anda tahu, Pak Chandra,” Gilang melanjutkan, “anda tidak akan menang. Semua bukti perselingkuhan anda, kekerasan dalam rumah tangga, terlalu kuat untuk bisa diabaikan.”
Sinta menambahkan dengan suara datar, “Selain itu, ada dugaan penggelapan dana perusahaan yang anda lakukan untuk kepentingan pribadi. Kami punya buktinya. Jadi kalau anda tidak ingin nama baik anda semakin hancur, lebih baik anda tanda tangan sekarang.”
Chandra terdiam. Tangannya mengepal di ujung kursi, rahangnya mengeras. “Saham itu… saham Audy… ke siapa dia akan menjualnya?” suaranya serak, menahan panik.
Gilang dan Sinta saling berpandangan sebentar, lalu Gilang menjawab singkat, “Kami sendiri tidak tahu soal itu"
Keheningan menekan ruangan itu. Chandra tahu dirinya terpojok. Dia sudah tidak punya ruang untuk berkelit. Akhirnya, dengan tangan bergetar dan wajah penuh amarah yang ditahan, dia meraih pena dan menandatangani surat gugatan cerai.
Dia juga dipaksa menandatangani perjanjian lain—bahwa dia dilarang mendekati Audy, tidak bisa menuntut harta gono-gini, sesuai kesepakatan mereka dalam perjanjian pranikah.
Tak hanya itu, Gilang dan Sinta juga berhasil menarik seluruh investasi yang dulu Audy tanamkan menggunakan uang peninggalan ibunya yang jumlahnya tidak kecil. Perusahaan Chandra, yang sejak awal memang masih tergolong kecil, langsung goyah. Angka di neraca keuangan tampak seperti bom waktu yang siap meledak.
“Terima kasih atas kerja samanya, Pak Chandra. Saya jamin, proses perceraian anda dan Bu Audy akan berjalan lancar.” Gilang menutup map dokumen dengan mantap, lalu berdiri. “Kami permisi.”
Begitu pintu tertutup, amarah Chandra meledak. Dia meraih asbak kaca di mejanya dan menghantamkannya ke lantai. Kaca itu pecah berkeping-keping, serpihannya memantul ke segala arah.
Ruang kerja yang tadinya rapi kini berantakan. Kertas-kertas berserakan, meja penuh tumpahan kopi, dan berita tentang kepastian penarikan investasi Audy sudah mulai menyebar ke karyawan. Desas-desus mengalir cepat. Banyak yang khawatir akan ada PHK besar-besaran. Rekan bisnis mulai menjauh, kontrak kerjasama tertunda karena kurangnya modal.
Chandra meremas rambutnya, wajahnya kusut. “Sial… sial… aku bener-bener nggak bisa menghubungi Audy.”
Dia teringat insiden beberapa hari lalu, saat dia digelandang polisi karena memukul Dion di depan rumah Audy. Semua semakin memperburuk posisinya.
Dan saat dia masih tenggelam dalam kekalutan, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari Jenny.
“Mas, jemput aku di klinik sekarang. Aku nggak kuat jalan.”
Chandra mengumpat pelan. “Tch… ini lagi satu. Ngerepotin amat sih. Dia bisa naik taksi sendiri, kenapa harus aku yang jemput?”
Namun meski menggerutu, kakinya tetap melangkah cepat keluar. Dia tahu Jenny baru selesai melakukan aborsi. Mau tidak mau, dia tetap menjemput.
Di balik pintu ruangannya yang berantakan, Chandra membawa pulang satu lagi beban yang siap menambah kusut hidupnya.
...***...
Sementara itu ditempat lain, bertempat di ruang rapat kantor pengacara, Audy, didampingi kedua pengacaranya sedang berhadapan dengan seorang pria, sekaligus teman lamanya. Adam.
Hening beberpa saat, hanya terdengar denting sendok kecil saat Audy mengaduk teh hitamnya dengan tenang, seakan-akan apa yang sedang mereka bahas hanyalah obrolan ringan sore hari. Padahal di atas meja, dokumen-dokumen tebal dengan segel resmi sudah siap ditandatangani—dokumen yang bisa mengubah arah masa depan sebuah perusahaan sekaligus menghancurkan ego mantan suaminya.
“Dulu kamu dikhianati oleh Chandra,” ucap Audy pelan sambil menaruh cangkir tehnya diatas meja, matanya menatap lurus ke arah Adam. “Dia mendepakmu dari posisi direktur dengan memfitnahmu. Aku rasa sekarang sudah waktunya kamu untuk membalas dia, Dam.”
Adam, pria bertubuh besar dan kekar seperti seorang pegulat profesional, dan sikap tenangnya yang khas, hanya menyilangkan tangan. Dia sudah lama hidup di Singapura, jauh dari drama yang ditinggalkannya di Jakarta. Namun mendengar nama Chandra, ada bara kecil yang masih menyala di dadanya.
“Aku heran, Dy,” suara Adam dalam, skeptis. “Gimana caranya kamu bisa tahu aku pulang ke Indonesia, sampai-sampai langsung menyuruhku datang kesini. Aku pikir kamu kangen sama aku, kayak aku kangen sama kamu”
Audy tersenyum samar, tidak memberi jawaban gamblang. Dia menyesap tehnya lagi, seolah tahu persis cara membuat Adam penasaran.
Bagi Adam, Chandra bukan sekadar mantan sahabat. Dia adalah pengkhianat. Lelaki yang dulu bahu-membahu dengannya membangun mimpi besar dalam dunia teknologi, tapi kemudian menusuknya dari belakang. Mencuri program yang dia kembangkan dengan susah payah, reputasinya dihancurkan, dan dia ditendang keluar begitu saja sebagai pendiri perusahaan dan hanya menyisakan 3% saham yang tidak berarti.
“Gimana, Dam?” Audy mencondongkan tubuhnya sedikit. “Kalau kamu punya 48% sahamku ditambah dengan 3% milikmu, kamu otomatis jadi pemegang saham terbesar. Kamu bakalan punya kuasa penuh, bahkan di atas Chandra.”
Adam menghela napas panjang. “Aku tahu kamu nggak mungkin nawarin ini secara cuma-cuma. Apa tujuanmu sebenarnya, Dy?”
Audy meletakkan cangkirnya perlahan, nadanya datar tapi menyimpan luka. “Aku ingin Chandra menderita. Lebih menderita dari aku. Dia berselingkuh, bukan hanya dengan satu wanita, tapi banyak. Dia juga sering menyiksa aku setiap kali marah atau mabuk. Aku tidak mau melihat dia berdiri dengan kepala tegak, seolah dia adalah pemenangnya."
Sejenak Adam terdiam. Kata-kata Audy memantul di kepalanya, membuatnya mengingat luka lamanya sendiri. Audy melanjutkan, suaranya tajam menusuk, “Dan aku tahu kamu juga punya alasan yang sama. Bukankah perusahaan Chandra bisa sebesar ini karena program AI yang dulu kamu kembangkan? Tanpa kamu, dia bukan siapa-siapa.”
Adam menyeringai tipis. Senyum yang penuh amarah lama bercampur dengan kepuasan kecil. “Kamu benar, Dy.” Dia mengetuk dokumen di hadapannya dengan jari telunjuknya. “Oke, aku setuju. Aku beli sahammu. Dalam beberapa hari ke depan, pembayaran akan masuk ke rekeningmu.”
Audy mengangguk ringan. “Oke, kamu bakalan dapat detailnya dari Gilang”
Gilang dan Sinta, yang sedari tadi memperhatikan dengan sikap profesional, segera menyerahkan dokumen. Pulpen berganti tangan, tanda tangan dibubuhkan. Dalam hitungan menit, kepemilikan saham berpindah.
“Selamat Bu Audy, selamat Pak Adam,” ucap Gilang dengan senyum formal.
Audy hanya tersenyum kecil, lalu bersandar di kursinya. “Sekarang tinggal urusan perceraian dengan Chandra.” Suaranya lirih, tapi penuh tekad.
Adam menatapnya lekat-lekat. “Jadi kamu serius, Dy? Kamu beneran mau cerai dari Chandra?”
“Serius.” Tatapan Audy tegas. “Aku bukan orang bodoh yang mau bertahan lebih lama dengan pria seperti dia.”
Adam mengangguk pelan, lalu meletakkan pulpen di atas meja. “Kalau begitu… kalau suatu hari kamu kesepian, kamu bisa hubungi aku. Kamu tahu kan, aku sudah menyukaimu sejak kita masih mahasiswa. Tapi waktu itu kamu memilih Chandra.”
Audy tertawa pendek, menepis kalimat itu dengan santai. “Aku lagi nggak mau mikirin itu, Dam. Aku cuma mau bahagia dengan hidupku sendiri, menikmati kebebasan yang selama ini direnggut Chandra atas nama pernikahan.”
Adam tertawa lepas, suara rendahnya memenuhi ruangan. “Aku paham, Dy. Aku ngerti. Tapi siapa pun yang kamu pilih nanti, kuharap dia yang terakhir. Dan semoga dia benar-benar bisa bahagiain kamu.”
Audy tersenyum tipis. “Thanks. Kamu juga, Dam. Atau… kamu mau kenalan sama temenku? Kebetulan dia masih single.” Dia melirik nakal.
Adam mengangkat kedua tangannya cepat-cepat. “No, no. Untuk sementara ini, kamu tetap tahta tertinggi di hatiku. Setelah orang tuaku"
Audy hanya menggeleng sambil menahan tawa.
Gilang dan Sinta saling bertatapan, nyaris tidak bisa menahan senyum. Dalam hati mereka membayangkan satu hal: bagaimana reaksi Dion kalau tahu ada pria lain yang terang-terangan merayu Audy seperti itu? Cemburu? Atau marah? Entahlah, yang pasti Dion tidak akan menyukainya.
...****************...