NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rantai yang tersisa

Pagi itu, Dreadholt berbeda dari biasanya. Halaman depan yang biasanya sunyi kini ramai oleh para pelayan yang sibuk menata kain-kain panjang berwarna merah marun dan emas di sepanjang dinding batu.

Lampu-lampu gantung diturunkan, diganti dengan kristal yang baru dipoles agar lebih berkilau. Aroma bunga mawar dan lili memenuhi udara, dibawa masuk ke dalam aula utama untuk menghiasi ruangan yang besok akan dipenuhi para bangsawan dari berbagai wilayah.

Rosella berdiri di sudut aula, tangannya sibuk merangkai pita-pita kain di sebuah vas tinggi, namun pikirannya justru melayang entah ke mana. Jemari yang biasanya cekatan terasa kaku. Matanya tidak benar-benar fokus pada apa yang ada di depannya. Sesekali ia terhenti, hanya menatap kosong seolah lupa apa yang harus dikerjakan.

Lyrra yang sedang menata lilin di meja panjang memperhatikan itu. Namun justru Feya, dengan kebiasaannya yang selalu cerewet, lebih dulu membuka suara.

“Rosella,” panggilnya sambil melirik tajam. “Ada apa denganmu? Dari tadi kau diam terus. Bukan diam yang biasa, tapi … seperti sedang memikirkan hal lain.”

Rosella sedikit terkejut mendengar teguran itu. Ia mencoba menutupinya dengan senyum tipis yang dipaksakan. “Aku tidak apa-apa.”

Namun Feya langsung menggeleng cepat, bahkan sampai mengibaskan jari telunjuknya ke depan wajah Rosella.

“Tidak, tidak! Aku tahu bagaimana sikapmu. Kau memang sering diam, tapi diammu itu biasanya tenang, membuat orang lain segan untuk menyela. Sedangkan sekarang? Wajahmu muram, tatapanmu kosong. Itu jelas berbeda.”

Ucapan Feya membuat Lyrra ikut mengangkat wajahnya. Ia tidak berkata apa-apa, tapi sorot matanya jelas menyimpan rasa curiga.

Rosella berusaha kembali menunduk, melanjutkan pekerjaannya, namun gerakannya justru semakin terlihat canggung. Feya yang memang tak pernah puas sebelum mendapatkan jawaban, mendekat beberapa langkah. Tatapannya tajam, lalu ia menyipitkan mata ketika melihat sesuatu yang berusaha ditutupi Rosella.

“Lagi pula .…” Feya mendengus kecil, “Ada apa dengan telingamu? Sejak tadi kau sengaja menutupinya dengan kain itu. Kenapa sampai dibalut seperti itu?”

Sebelum Rosella sempat menjawab, Feya sudah mengulurkan tangan, hendak menarik kain kasa tipis yang menutupi telinga sahabatnya. Namun Rosella spontan mundur selangkah, gerakannya panik dan gugup.

“Ha–hanya luka kecil,” ucapnya tergesa, suaranya bergetar tipis. “Aku tidak sengaja menggaruknya hingga berdarah. Itu saja.”

Feya berhenti, alisnya terangkat tinggi. Tatapan curiganya semakin dalam, seakan menuntut jawaban lebih jujur. “Menggaruk? Luka sekecil itu sampai kau tutupi begitu rapat? Kau pikir aku percaya begitu saja?”

Rosella menunduk, menggenggam pita di tangannya lebih erat, seakan benda itu bisa menyelamatkannya dari tatapan sahabatnya sendiri. Ia ingin mengulang lagi kebohongan barusan, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Lyrra yang sejak tadi hanya diam akhirnya angkat bicara, meski suaranya sangat pelan. “Sudahlah, Feya. Jika Rosella bilang itu hanya luka kecil, mungkin memang begitu adanya.” Tapi dari nada bicaranya, jelas ia tidak sepenuhnya yakin dengan ucapannya sendiri.

Feya menghela napas, tapi tatapannya masih menusuk. Ia ingin memaksa, namun melihat Rosella yang tampak pucat dan gugup, ia akhirnya memilih mundur. “Baiklah,” gumamnya sambil berbalik. “Tapi jangan pikir aku bodoh. Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan.”

Rosella tidak membalas. Ia hanya kembali menunduk, pura-pura sibuk mengikat pita di vas. Namun di balik semua itu, hatinya berdetak kencang. Nafasnya terasa sesak, seakan udara di aula itu tiba-tiba menghilang.

Pikirannya kembali pada malam itu. Malam yang tidak ingin ia ingat, tapi terus menghantuinya. Bagaimana tangan dingin Duke Orion mengunci geraknya, bagaimana sorot mata biru itu menusuk hingga ke sumsum tulangnya, dan bagaimana rasa sakit bercampur hinaan ketika giginya menancap di telinganya. Luka itu kini tertutup kain tipis, tapi rasa perih dan panasnya masih ada, seakan gigitan itu meninggalkan tanda yang lebih dalam daripada sekadar luka di kulit.

Bukankah itu bukan sikap seorang Duke terhadap pelayan?

Bukankah seorang penguasa seharusnya menjaga kehormatan dirinya sendiri?

Rosella meremas pita yang ada di tangannya hingga kusut. Tubuhnya sedikit bergetar, namun ia memaksa dirinya tetap berdiri.

Jika Feya atau Lyrra tahu kebenarannya, jika mereka tahu bagaimana ia diperlakukan malam itu, apakah mereka masih akan melihatnya dengan cara yang sama? Atau justru memandangnya dengan iba yang hanya akan menambah rasa hancur di dalam dirinya?

Ia menggigit bibirnya, menahan perasaan yang bercampur aduk. Sementara di sekitarnya, para pelayan lain terus bekerja, menggantungkan kain, menyalakan lilin, dan menyusun bunga—semua demi pesta ulang tahun grand duchess esok hari. Hanya Rosella yang terperangkap dalam pikirannya sendiri, bayangan yang tidak bisa ia usir, dan luka yang terlalu dalam untuk sekadar disembunyikan dengan selembar kain kasa.

Aula besar Dreadholt dipenuhi dengan kesibukan sejak pagi. Suara langkah para pelayan bercampur dengan gesekan kain, aroma bunga segar, dan denting besi dari hiasan yang dipasang. Tirai panjang berwarna emas tua bergelantung di pilar, sementara pita-pita perak melintang anggun di dinding batu.

Evelyn berdiri di tengahnya, tangannya masih memegang gulungan pita yang baru saja ia kencangkan. Meski tubuhnya terasa lelah, matanya terus memperhatikan setiap detail, memastikan tak ada yang keliru.

Grand Duchess melangkah masuk, gaunnya menjuntai panjang dengan kilau lembut dari kain biru keperakan. Langkahnya perlahan, penuh wibawa, namun wajahnya tampak lembut kala memandang hasil kerja yang memenuhi ruangan. Ia berhenti di dekat Evelyn, menatap sekeliling dengan mata yang sarat kenangan. Senyum tipis terbentuk, tapi senyum itu lebih mirip helaan rindu yang sudah terlalu lama ditahan.

“Evelyn,” ucap Grand Duchess dengan suara lembut tapi jelas. “Aku benar-benar berterima kasih padamu. Kediaman ini terlihat berbeda … lebih hidup, lebih hangat. Kau telah bekerja keras, dan hasilnya terasa sampai ke dalam hatiku.”

Evelyn buru-buru menunduk, merasa terhormat tapi juga canggung menerima pujian sebesar itu. “Grand Duchess terlalu memuji. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik. Semua pelayan juga banyak membantu.”

Grand Duchess menggeleng perlahan, matanya beralih pada rangkaian bunga di sudut aula. Tatapan itu melunak, seakan ia kembali melihat bayangan seseorang. “Tidak, Evelyn. Apa yang kulihat hari ini bukan sekadar kerja keras. Ada sesuatu di sini, sesuatu yang sudah lama hilang. Kau tahu, dulu … sebelum waktunya terhenti, dialah yang mengatur semua ini. Duchess Valerynne. Ia menata setiap bunga, memilih setiap kain, bahkan menyalakan lilin-lilin itu dengan tangannya sendiri. Tidak ada yang ia biarkan sembarangan.”

Nada suaranya melemah, menimbulkan keheningan yang berat. “Sejak ia tiada, kediaman ini tidak pernah lagi sama. Setiap pesta hanya sekadar formalitas—dingin, hampa, tanpa jiwa. Aku hampir lupa seperti apa rasanya melihat Dreadholt bernapas dengan keindahan. Tapi hari ini, berkatmu, aku kembali merasakan secuil dari itu.”

Evelyn menahan napas, hatinya terhimpit rasa sedih mendengar nama itu diucapkan dengan penuh kerinduan. Ia tahu, sosok yang dimaksud bukan sembarang wanita. Mendiang Duchess Valerynne adalah ibu dari Duke Orion, sekaligus salah satu wanita yang jejaknya tak pernah benar-benar hilang dari kediaman ini.

Dengan hati-hati, Evelyn mendekat, lalu berkata dengan suara lembut, “Grand Duchess, tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan Duchess Valerynne. Tetapi jika apa yang saya lakukan hari ini mampu membawa kembali sedikit kehangatan yang pernah beliau tinggalkan, maka saya bersyukur. Biarlah pesta ini bukan hanya menjadi sebuah perayaan, melainkan juga penghormatan untuk kenangan tentang beliau.”

Grand Duchess menundukkan wajahnya sedikit, menahan air mata yang hampir jatuh. Matanya memandang Evelyn dengan sorot haru yang jarang terlihat dari seorang wanita seteguh dirinya. “Kau mungkin tidak menyadarinya, Evelyn. Tapi kau sudah membuatku mengingat lagi sesuatu yang nyaris hilang. Bukan hanya ruangan yang bercahaya, melainkan kenangan yang terjaga.”

Evelyn menghela napas, lalu menjawab dengan tulus, “Selama saya berada di sini, anda tidak akan sendirian dalam menjaga kenangan itu. Saya akan melakukan apa pun agar nama Duchess Valerynne tidak pernah pudar dari Dreadholt.”

Hening menyelimuti aula sesaat. Riuh para pelayan di kejauhan terdengar jauh, seakan waktu berhenti untuk memberi ruang bagi dua sosok yang berdiri di tengah kenangan dan rasa kehilangan. Grand Duchess akhirnya meraih tangan Evelyn, menggenggamnya dengan erat. Genggaman itu bukan hanya ungkapan terima kasih, melainkan sebuah pengakuan.

“Terima kasih, Evelyn,” katanya lirih. “Kau telah memberiku sesuatu yang lebih berharga daripada pesta apa pun. Kau telah menghidupkan kembali ingatan tentang menantuku … seorang wanita yang pernah membuat Dreadholt penuh cahaya.”

Evelyn menunduk, merasakan hangat sekaligus beratnya genggaman itu.

Suaranya bergetar ketika ia berkata, “Saya hanya berharap bisa menjaga secuil cahaya yang pernah beliau tinggalkan, agar tidak pernah padam.”

Grand Duchess memejamkan mata sejenak. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasakan Dreadholt bukan hanya berdiri sebagai benteng batu yang dingin, melainkan sebagai rumah yang kembali bernapas oleh kenangan dan harapan.

Lorong panjang itu dipenuhi cahaya pucat dari jendela-jendela tinggi, menyorot ke arah aula yang dipadati pelayan sibuk mendekorasi untuk ulang tahun Grand Duchess. Orion berdiri di sana, tubuhnya tegak bagai patung marmer, tak bergeming sedikit pun meski lalu–lalang tak kunjung berhenti. Di belakangnya, Varron berdiri setia, nyaris tanpa gerakan, hanya sesekali matanya menyapu keadaan sekitar untuk memastikan tak ada yang berani mengganggu.

Tatapan Orion melintas dari satu sudut ke sudut lain—pelayan yang menata bunga, yang merapikan taplak panjang, yang menggantung kain sutra di lengkung dinding.

Semua bergerak dengan keteraturan, namun tetap saja ada ketegangan yang terasa jelas di udara. Bukan hanya karena pesta besar akan digelar, tapi juga karena keberadaan sang Duke yang seolah mengawasi setiap helaan napas mereka.

Dari jarak itu, matanya berhenti pada satu pemandangan berbeda. Grand Duchess duduk dengan anggun di kursi khasnya, sementara Evelyn duduk agak condong ke arahnya, berbincang dengan tenang. Ada kelembutan yang sulit diabaikan—seolah kehadiran Evelyn memang dirancang untuk mengisi kesunyian wanita tua itu. Gerakan tangannya yang ringan, senyum kecil yang tak dibuat-buat, bahkan cara kepalanya sedikit menunduk memberi kesan hormat namun akrab. Orion tidak terkejut, sejak awal ia sudah menduga gadis itulah yang ditugaskan mengurus segala persiapan ulang tahun neneknya. Dugaan yang ternyata benar, dan pemandangan itu hanya meneguhkan pikirannya.

“Tuanku,” suara Varron terdengar pelan namun jelas, seakan memilih waktu yang tepat untuk memecah diam. “Apakah Anda menginginkan kursi? Sejak tadi Anda tidak beranjak sedikit pun dari tempat ini.”

Orion tidak menoleh. Matanya masih tertuju pada suasana di depan sana, dingin dan tak terbaca. Jawabannya keluar datar, tanpa intonasi berlebih, “Tidak perlu.”

Varron menundukkan kepala dalam-dalam. “Baik.” Hanya satu kata, tapi penuh kepatuhan, lalu ia kembali diam, menyesuaikan diri dengan kebisuan tuannya.

Waktu berjalan, namun mata Orion mulai beralih. Dari sekian wajah yang sibuk bekerja, tatapannya terhenti pada sosok yang akhir-akhir ini tak jarang membuatnya lebih sering mengamati daripada biasanya. Rosella.

Ia berada di antara para pelayan lainnya, namun berbeda di matanya. Gerakannya tidak secekatan biasanya. Jemarinya yang dulu lincah kini tampak lambat, seolah pikirannya tidak sepenuhnya hadir pada pekerjaan yang ia kerjakan.

Orion menatap lebih lama. Ia tahu pasti apa yang sedang mengisi kepala gadis itu, meski Rosella berusaha keras menyembunyikannya. Senyum tipis, samar, terbit di bibir sang Duke—bukan senyum hangat, melainkan sebuah pengakuan bisu bahwa ia mengerti jauh lebih banyak daripada yang orang lain kira.

Beberapa menit berlalu. Pelayan-pelayan lain yang tadi bersama Rosella satu per satu berpamitan, melanjutkan tugas ke sudut lain aula. Namun gadis itu tetap di tempatnya, tekun menyelesaikan satu pekerjaan yang tertinggal.

Kesendirian itu membuatnya semakin menonjol di mata Orion. Tanpa aba-aba, lelaki itu melangkahkan kakinya. Sepatunya menimbulkan gema rendah di lantai batu, suara yang membuat beberapa pelayan menunduk lebih dalam, pura-pura sibuk agar tak berhadapan dengan tatapan dingin pemimpin mereka.

Varron sempat mengangkat kepala, hendak bicara. Namun baru bibirnya terbuka, Orion sudah terlebih dahulu berjalan lurus, langkahnya mantap menuju arah Rosella.

Varron hanya bisa menarik napas pendek, lalu menutup mulutnya kembali saat menyadari tuannya jelas-jelas sedang menemui seseorang—seorang pelayan yang seharusnya tidak istimewa bagi siapa pun—Varron tahu diri. Ia menunduk dalam-dalam, mundur beberapa langkah, lalu berbalik meninggalkan lorong itu. Seolah ia tidak pernah melihat apa pun, seolah peristiwa ini tak pernah terjadi. Ia tahu betul kapan harus menghilang dari pandangan, dan ini adalah salah satunya.

Orion terus melangkah, tatapannya tak teralihkan, seakan dunia di sekelilingnya memudar dan hanya menyisakan satu sosok yang masih sibuk meski sendirian. Rosella.

~oo0oo~

Langkah Orion berhenti tepat di belakang Rosella. Gadis itu sejak tadi sibuk dengan kain dekorasi seolah tak menyadari kehadirannya, tapi gerak tangannya sedikit terhenti. Udara di sekitarnya berubah, lebih berat, membuatnya sadar betul siapa yang kini berdiri begitu dekat.

“Lambat sekali,” cibir Orion terdengar rendah, dingin, menekan.

Rosella menoleh pelan, sorot ambernya bertemu dengan mata biru itu. Tidak ada senyum ramah, hanya sikap tenang yang dipaksakan. “Kalau Tuan Duke merasa terganggu,” ucapnya datar, tapi mengandung duri. “Mungkin sebaiknya kau menyesal telah menjadikanku budak yang dipaksa melayani. Karena apa pun yang kau inginkan, hasilnya tidak akan pernah secepat yang kau harapkan dari seseorang yang dirantai.”

Orion maju selangkah, menipiskan jarak, hingga bayangannya menaungi tubuh Rosella. Senyum tipis muncul di bibirnya, penuh maksud tersembunyi.

“Kau tidak biasanya seperti ini,” bisiknya. “Apa tanganmu gemetar karena takut? Atau karena masih mengingat apa yang terjadi semalam?”

Rosella menahan diri, tidak menunduk dalam-dalam seperti kebanyakan pelayan lain. Hanya sedikit menurunkan dagu sebagai bentuk sopan, tapi matanya tetap berani menatap. “Takut? Mungkin,” jawabnya lirih, namun tegas. “Tapi jangan salah sangka. Rantai tidak membuatku lupa siapa diriku. Dan luka tidak membuatku lupa siapa yang menaruhnya di tubuhku.”

Senyum Orion melebar tipis, matanya berkilat bagai mencibir. “Berani sekali kau berbicara begitu padaku.”

Rosella menggenggam kain yang dikerjakannya lebih erat. “Lebih berani lagi kalau aku hanya diam,” balasnya. “Diam berarti aku tunduk, dan itu satu-satunya hal yang tidak akan pernah aku berikan kepadamu.”

Keheningan mendadak menggantung. Pelayan lain sudah menyingkir, pura-pura sibuk, namun aura tegang antara keduanya seolah menyebar ke seluruh ruangan. Tatapan Orion tak goyah, seperti memaksa Rosella tunduk.

Akhirnya ia berkata rendah, nyaris seperti ancaman. “Kau pandai sekali melawan dengan kata-kata, tapi aku ingin tahu, sampai kapan kau bisa bertahan.”

Rosella tak menjawab. Ia hanya menatap balik, matanya menyala dalam perlawanan diam. Keduanya terdiam, mata bertemu, dan dalam diam itu ada api yang seakan siap meledak kapan saja.

.

.

.

Bersambung

1
yumin kwan
lah.... salah rose sndr, yang ceroboh.... kok Orion yg disalahin... uda baik Orion ga lampiaskan ke rosella
yumin kwan
penasaran..... apa isi surat yg ditulis rosella
yumin kwan
tetap kutunggu💪
yumin kwan
belum tau alurnya akan ke mana.... siapa lagi tuh tokoh barunya??
yumin kwan
Duke... itu cemburu namanya.... jealous....
masak gitu aja ga ngerti 😁
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Dimas Rizky Aditya: di tunggu
total 2 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Dimas Rizky Aditya: author nya lagi galau jadi agak lama the next nya berlanjut ya
total 2 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!