Kania, gadis yang hidupnya berubah seketika di hari pernikahannya.
Ayah dan ibu tirinya secara tiba-tiba membatalkan pernikahan yang telah lama direncanakan, menggantikan posisi Kania dengan adik tiri yang licik. Namun, penderitaan belum berhenti di situ. Herman, ayah kandungnya, terhasut oleh Leni—adik Elizabet, ibu tirinya—dan dengan tega mengusir Kania dari rumah.
Terlunta di jalanan, dihujani cobaan yang tak berkesudahan, Kania bertemu dengan seorang pria tua kaya raya yang dingin dan penuh luka karena pengkhianatan wanita di masa lalu.
Meski disakiti dan diperlakukan kejam, Kania tak menyerah. Dengan segala upaya, ia berjuang untuk mendapatkan hati pria itu—meski harus menanggung luka dan sakit hati berkali-kali.
Akankah Kania berhasil menembus dinding hati pria dingin itu? Atau akankah penderitaannya bertambah dalam?
Ikuti kisah penuh emosi, duka, dan romansa yang menguras air mata—hanya di Novel Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31. LELANG DIMULAI.
Hari ini adalah hari yang penting sekaligus menegangkan. Tepat tiga puluh hari sejak perjanjian antara nyonya Marlin dan Kania dibuat, waktu yang terasa begitu cepat berlalu. Dan bersamaan dengan itu, pelelangan proyek MARLIN Grup resmi dimulai.
Persiapan yang selama ini Kania jalani seakan diuji pada hari ini. Bukan hanya soal keberanian dan kemampuan, tetapi juga tentang seberapa jauh ia mampu bertahan pada janji yang pernah ia ucapakan di hadapan Nyonya Marlin.
Kania duduk termenung ketika pagi masih gelap. Sepertinya dia tidak tidur semalaman memikirkan itu semua, menarik napas panjang yang terasa begitu menyesakkan dada.
Dalam lubuk hatinya, Kania sadar pilihan hidupnya kini hanya dua.
Pertama, berjuang sekuat tenaga menaklukkan hati Tuan Bram, pria dingin yang sekaligus menjadi kunci kekuatannya di MARLIN Grup.
Atau menaruh seluruh tenaga dan pikirannya mengembangkan proyek TERATAI Grup, lalu menjadikannya senjata untuk membalaskan dendam yang selama ini terpendam.
Matahari bergerak naik, sinarnya menembus sela tirai dan menerangi kamar. Kania berdiri dari duduknya dan segera mandi untuk menyegarkan tubuh sebelum memulai rutinitasnya.
Seperti biasa, ia mengerjakan tugasnya dengan teliti, menyiapkan segala kebutuhan tuan Bram. Mulai dari tas kerja yang sudah diisi dokumen penting, pakaian yang akan dikenakan, hingga perlengkapan mandi yang ditata rapi di tempatnya.
Semua ia kerjakan dengan kehati-hatian dan penuh ketelitian. Baginya, satu kesalahan kecil saja bisa memicu amarah tuan Bram, bahkan memancing kata-kata makian yang begitu menyakitkan.
Setelah memastikan semua tugasnya beres, Kania mengenakan pakaian kerjanya lalu berdandan secantik mungkin. Sebelum keluar dari kamar, ia sempat menoleh ke arah pembaringan. Di sana, tuan Bram masih tertidur lelap. Wajah dingin pria itu tampak sedikit tenang, mungkin karena kelelahan setelah semalam mengerjakan tugas kantor hingga larut.
Dengan hati-hati, Kania melangkah menuju pintu. Ia berusaha agar setiap gerakannya tidak menimbulkan suara, takut membangunkan tuan Bram. Sebelum keluar, Kania memastikan semua persiapan sudah ia bawa untuk menghadapi pelelangan yang sebentar lagi akan di selenggarakan.
Kania beranjak menuju kamar nyonya Marlin. Ia ingin memohon restu sekaligus berpamitan sebelum pergi menghadiri pelelangan.
Dua ketukan halus mendarat di daun pintu. Tak lama kemudian, terdengar suara lembut dari dalam, mempersilakannya masuk.
Kania membuka pintu perlahan. Seperti biasa, Nyonya Marlin duduk di kursi roda, pandangannya terarah keluar jendela, menikmati sejuknya udara pagi, dimanjakan pemandangan rusa-rusa yang sedang berlarian di halaman.
Begitu mendengar pintu terbuka, perempuan tua itu segera memutar kursi rodanya. Senyum hangat muncul di wajahnya saat melihat Kania berdiri di ambang pintu.
Kania menutup pintu dengan hati-hati lalu melangkah mendekat. Kania menunduk sebentar sebelum mengucap.
“Selamat pagi… i..bu.”
Kata itu masih terasa canggung di lidahnya, meski nyonya Marlin selalu mengingatkan agar ia membiasakan diri memanggilnya ibu.
Nyonya Marlin tersenyum hangat, wajahnya berbinar meski tubuhnya tetap lemah di atas kursi roda.
“Pagi juga, sayang. Bagaimana kabarmu pagi ini? nyonya Marlin mengulurkan tangan agar Kania mendekat.
“Baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana?” tanya Kania dengan suara lembut.
Nyonya Marlin tersenyum tipis, lalu menghela napas kecil.
“Seperti yang kamu lihat, Ibu masih tetap setia duduk di kursi roda.”
Pandangannya beralih ke mulut pintu sepertinya dia sedang mencari seseorang
“Suami tuamu mana? Kenapa dia tidak datang bersamamu?”
Kania hampir saja tertawa mendengar perkataan Nyonya Marlin. Dengan senyum yang berusaha ia tahan, Kania menjawab bahwa tuan Bram masih tertidur, mungkin karena kelelahan setelah semalaman duduk di depan laptop.
Suasana kamar sempat hening beberapa saat. Nyonya Marlin hanya menatap Kania dengan penuh rasa ingin tahu, seolah ingin menemukan jawaban dari wajah menantunya itu. Pandangan matanya lembut, tapi juga menyimpan rasa penasaran.
“Kenapa kamu datang ke kamar ibu sepagi ini, sayang?”
Kania sempat terdiam. Tangannya meremas ujung bajunya sendiri, seolah mencari keberanian. Dengan sedikit ragu ia akhirnya membuka suara.
“Sebenarnya... saya ingin memohon doa restu, Bu. Hari ini perusahaan akan mengadakan pelelangan proyek. Saya berharap semoga keberuntungan berpihak pada kami, dan kami bisa memenangkan proyek itu.”
Nyonya Marlin tersenyum, mengulur tangan untuk kedua kalinya pada Kania untuk mendekat. Di usapnya rambut Kania seperti membelai rambut putrinya sendiri.
Nyonya Marlin menarik napas pelan sebelum menjawab. Kali ini, ia tidak bisa berbuat banyak untuk membantu Kania memenangkan proyek itu. Seleksinya terlalu ketat, bukan hanya penilaian dari perusahaan MARLIN Grup saja, tetapi juga melibatkan beberapa dosen ahli yang sengaja didatangkan sebagai juri penilai.
Nyonya Marlin menggenggam tangan Kania.
“Ibu memang tidak bisa membantumu kali ini. Tapi ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga apa yang kamu harapkan bisa tercapai.”
Doa nyonya Marlin seakan menjadi magnet tersendiri bagi Kania. Semangatnya semakin berkobar, mendorongnya untuk lebih giat berjuang memenangkan pelelangan proyek itu.
Setelah berpamitan dengan Nyonya Marlin, Kania langsung berangkat menuju perusahaan TERATAI Grup, diantar oleh Pak Tono. Sesampainya di sana, ia memilih turun hanya sampai di pintu gerbang. Kania khawatir jika mobil mewah milik tuan Bram terlihat oleh Mawar, gadis itu akan langsung menghujaninya dengan pertanyaan yang sulit dijawab.
Mulai hari itu dimana Kania diberi kepercayaan mengurus TERATAI grup, sekertaris Bams sudah merombak habis-habisan, mulai dari gedung sampai pengecatan, tentunya atas perintah tuan Bram. Setelah semuanya beres seluruh pegawai pemasaran dipindahkan ke perusahaan MARLIN grup. Bukan sampai di situ saja Kania juga mulai memperbaharui sistem kepemimpinan dan sistem kerja karyawan.
Bagi karyawan yang malas, mereka akan mendapat teguran tanpa potong gaji tapi bonus bulanan hangus, peraturan ini ia terapkan agar tidak ada lagi karyawan yang bersantai-santai, sementara yang lain bekerja keras.
Melihat kedatangan Kania, satpam penjaga segera memberi hormat. Kania membalas dengan senyum hangat, lalu melangkah masuk.
Di halaman, sudah terlihat beberapa mobil terparkir rapi.
Kania melangkah masuk ke ruangan. Para karyawan sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing, mempersiapkan segala sesuatu sebelum acara pelelangan proyek dimulai.
Meskipun begitu, di dalam hati mereka tersimpan secercah harapan untuk memenangkan proyek itu. Mereka sadar persaingan sangat ketat, sebagian besar perusahaan yang ikut sudah lama berdiri dan memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak.
Kania mengumpulkan semua karyawan, berdoa bersama sebelum mereka berangkat ke sebuah gedung yang sudah di tentukan pengurus lelang.
Ketegangan terlihat jelas di wajah setiap karyawan. Dalam hati, mereka bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar sanggup memenangkan proyek itu, ataukah semua usaha mereka akan berakhir sia-sia?
Proyek ini bukan sekadar peluang biasa. Jika berhasil, proyek ini akan membuka jalan bagi perusahaan kecil TERATAI Grup untuk dikenal luas, bahkan menjadi perusahaan besar yang sejajar dengan para pesaing lama yang sudah membentangkan sayapnya di dunia bisnis.
Tekanan dan harapan itu membuat suasana di ruangan terasa tegang, sekaligus menumbuhkan semangat untuk bekerja lebih keras dari sebelumnya.
Mobil-mobil beriringan menuju gedung yang telah ditentukan, kemudian memarkirkan kendaraan mereka di area yang telah disediakan panitia lelang.
Kania dan Mawar berjalan di depan, sementara teman-teman mereka mengikuti dari belakang.
Memasuki gedung, suara ejekan dari peserta lain terdengar menyakitkan telinga dan hati, meremehkan TERATAI Grup apa bisa bersaing dengan mereka.
.
.
apa perlu Kania pergi jauh dulu baru menyadari perasaan nya, kan selalu seperti itu penyesalan selalu datang terlambat aseekk..
tapi aku juga penasaran sama kanaya yng mirip Kania apakah mereka kakak adek?
akhirnya ada second lead aku harap si Bram liat interaksi Dirga sama Kania
jangan sampe nanti Tuan Bram menyesal klo Kania pergi.