Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 16.
Malam hari setelah akad, Nadira kembali ke apartemen yang kini menjadi tempat tinggalnya. Ia melepas selop pelan, hendak masuk ke ruang tamu yang biasanya tenang dan dingin. Namun... langkahnya terhenti.
Lampu ruangan tidak lagi menyala terang seperti biasa. Cahaya temaram berwarna keemasan menari di dinding, berasal dari puluhan lilin aromaterapi yang tertata rapi. Di meja makan, setangkai mawar merah segar tergeletak di atas serbet putih. Aroma vanila lembut menyebar memenuhi udara.
Nadira mematung. “Ini… apa-apaan?” gumamnya lirih.
Tak lama Ardan muncul dari dalam kamar, tanpa jas dan hanya mengenakan kemeja hitam yang digulung sampai siku. Wajahnya tetap dingin, namun matanya menatap tajam seolah menunggu reaksi wanita di hadapannya.
“Kau terlalu lama bengong. Masuklah,” ujarnya tenang.
Nadira mengerjap, masih belum percaya. “Kamu… menyiapkan semua ini?”
Ardan melangkah perlahan, tangan kirinya memasukkan sesuatu ke saku celana. “Kau pikir aku akan membiarkanmu menjalani malam pertama setelah akad nikah… hanya dengan diam di kamar, menatap dinding kosong?”
Pipi Nadira langsung merona. “Ardan! Jangan bicara seenaknya…”
Ardan terkekeh tipis, mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. “Apa aku salah? Bukankah dulu kau yang bilang, malam setelah akad adalah momen yang tak boleh dilewatkan? Dan yang tejadi kemarin, itu hanya selingan bukan malam pertama kita.”
Kenangan tujuh tahun lalu kembali menyeruak di benak Nadira. Malam pertama mereka dulu penuh tawa, meski sederhana. Tapi kini, semua terasa berbeda. Lebih dewasa, lebih penuh luka namun juga lebih intens.
Ardan menarik kursi untuk Nadira, seolah seorang tuan rumah sejati. “Duduklah, aku tidak ingin mendengar alasan lelah. Kau harus makan...”
Nadira perlahan duduk, ia masih gugup. Di hadapannya, sepiring pasta dengan saus putih dan irisan salmon tersaji rapi. Ardan menuangkan wine non-alkohol ke gelas kristal, lalu mendorongnya ke arah wanita itu.
“Ini… sungguh tidak seperti kamu,” bisik Nadira pelan.
Ardan mengangkat alis. “Jangan terlalu cepat menilai, aku bisa melakukan lebih dari ini jika aku mau.”
Mata mereka saling bertemu, menimbulkan keheningan yang berbeda. Nadira merasa seolah sedang melihat sisi lain dari pria yang selama ini dingin padanya. Sisi yang mungkin, diam-diam masih menyimpan perasaan padanya.
Setelah makan malam singkat itu, Ardan menyalakan musik lembut dari speaker. Ia berdiri, lalu mengulurkan tangan. “Berdiri.”
Nadira menatap bingung. “Untuk apa?”
“Menari,” jawabnya singkat.
Nadira hampir tertawa. “Kamu bercanda? Kita bukan pasangan pengantin baru yang lagi bulan madu, Ardan.”
Pria itu menatapnya dalam-dalam. “Justru karena kita bukan pasangan pengantin baru… aku ingin mengulang sesuatu, mulai dari awal.”
Hening.
Nadira menelan ludah, lalu perlahan menaruh tangannya di genggaman Ardan. Tangan pria itu terasa hangat dan aman.
Musik mengalun lembut, langkah mereka lambat namun teratur. Nadira merasa tubuhnya melayang ringan dalam dekapan pria yang baru selesai ijab kabul dengannya... yang sebenarnya, masih suaminya sejak tujuh tahun lalu.
“Aku tidak menjanjikan apa pun, Dira." Suara Ardan terdengar berat, dekat dengan telinganya. “Tapi malam ini, aku ingin kau tahu… aku tidak pernah benar-benar melupakanmu.”
Air mata Nadira hampir tumpah, ia memejamkan mata. Merasakan debaran yang tak pernah padam, meski bertahun-tahun berlalu.
Langkah kaki mereka yang bergulir di atas karpet berhenti perlahan. Musik masih mengalun lembut, namun Nadira menyadari tubuhnya kini sudah benar-benar dalam dekapan Ardan. Nafas pria itu hangat di pelipisnya, menimbulkan sensasi yang membuat seluruh tubuhnya gemetar.
“Ardan…” bisiknya, hampir tak terdengar.
Pria itu menunduk, menatap wajah istrinya lekat-lekat. Jemarinya mengusap pelan dagu Nadira, mengangkat wajahnya agar mata mereka bertemu. Tatapan dingin yang biasanya menusuk kini berganti dengan sorot membara.
“Kau tahu Dira… aku tidak pernah pandai mengungkapkan perasaan. Tapi malam ini, aku tidak ingin berpura-pura.”
Sebelum Nadira sempat menjawab, bibir Ardan sudah menyapu lembut bibirnya. Hanya sebentar, namun cukup untuk membuat dunia di sekeliling mereka lenyap. Nadira refleks memejamkan mata, tubuhnya lemas seolah menyerah pada rasa yang sudah lama ia pendam.
Ciuman itu semakin dalam, penuh desakan ego seolah Ardan ingin menegaskan bahwa dialah satu-satunya yang berhak atas Nadira. Tangan pria itu menelusup ke pinggangnya, merapatkan tubuh mereka hingga tak ada jarak tersisa.
Dengan gerakan mantap, Ardan meraih pinggang Nadira membawanya pelan menuju kamar. “Kau selalu jadi milikku, Dira. Dari dulu… sampai sekarang.” Suaranya parau, nyaris seperti desahan.
Nadira terengah, hatinya berdebar kacau. “Ardan…“
Ardan mendorong pintu kamar dengan kaki, lalu membaringkan Nadira di atas ranjang. Wajahnya berada hanya sejengkal di atas wajah wanita itu, napasnya memburu.
Jemarinya menyapu helaian rambut Nadira, lalu perlahan menelusuri pipi hingga ke leher. Nadira menggenggam seprai erat-erat, tubuhnya dilanda gelombang panas yang tak mampu ia sembunyikan.
Baru saja Ardan menunduk lagi untuk menciumnya lebih dalam...
TRRTTT… TRRTTT…
Suara ponsel berdering memecah suasana. Nada panggil itu keras menusuk telinga, menghancurkan suasana panas yang sudah terbangun.
Ardan mendengus kasar, menutup mata dengan wajah kesal. “Siapa yang berani meneleponku saat ini…” gumamnya dingin.
Nadira buru-buru bangkit setengah duduk, menatap layar ponsel yang menyala di meja samping tempat tidur. “Ardan… itu Claudia.”
Ardan memalingkan wajah sejenak, sorot matanya jelas-jelas dipenuhi amarah yang tertahan. Namun akhirnya, dengan gerakan cepat ia meraih ponsel dan menekan tombol hijau.
“Kenapa kau menelpon?” suaranya berat, penuh ancaman.
Dari seberang, terdengar suara Claudia yang panik dan sesenggukan. “Ardan… t-tolong… aku… aku kecelakaan. Aku ada di rumah sakit…”
Ardan membeku, napasnya tertahan. Nadira hanya bisa menatap wajah pria itu yang tiba-tiba menegang, lalu perlahan berubah muram.
Claudia melanjutkan dengan suara serak, “Aku sendirian, Ardan. Tidak ada siapa pun… Papa dan Mama sedang keluar negeri. Hanya kamu yang bisa kuminta datang… hikss...”
Ardan menutup mata sebentar, menahan gejolak dalam dada. Lalu ia membukanya kembali, menatap Nadira dengan sorot rumit. Antara rasa bersalah, marah dan bimbang.
“Aku harus pergi,” ujarnya singkat.
Nadira menggigit bibir, berusaha menyembunyikan rasa perih yang tiba-tiba menyergap. “Pergilah, dia butuh kamu.”
Ardan ingin bicara sesuatu, namun menahan diri. Hanya sejenak ia menatap wajah Nadira yang masih merah merona karena keintiman yang hampir terjadi. Lalu dengan langkah berat, ia bangkit dari ranjang dan mengambil jaketnya.
“Jangan tunggu aku,” katanya pelan sebelum keluar kamar.
Pintu apartemen tertutup, sunyi menyelimuti. Nadira terbaring menatap langit-langit, dadanya sesak. Air mata akhirnya lolos juga.
“Ardan… apa aku hanya akan selalu menjadi pilihan kedua?” bisiknya lirih.
Helaan napas panjang lolos dari bibirnya. Tangannya meremas seprai, mencoba menenangkan debaran di dada yang kini berubah menjadi sakit menusuk.
Nadira berjalan pelan ke balkon, membuka pintu kaca, membiarkan angin malam masuk. Kota berkilauan di bawah sana, begitu indah. Berbanding terbalik dengan hatinya yang hancur.
Di atas meja, ponselnya bergetar. Ada sebuah pesan masuk, dari Nyonya Rarasati. Ia berjalan ke arah meja dan membuka ponsel.
[Nadira, kau baik-baik saja?]
Nadira menatap layar lama, sebelum akhirnya jari-jarinya menjawab.
[Aku mencoba kuat, Mah. Tapi sepertinya aku tetap kalah oleh Claudia.]
Tak lama, balasan masuk.
[Jangan menyerah, kau hanya perlu bertahan. Percayalah… aku akan selalu ada di pihakmu. Claudia sangat licik, kamu harus lebih cerdas darinya.]
Nadira menggenggam ponselnya erat-erat.
[Nadira, dua hari lagi Mama ada arisan dengan teman-teman Mama. Dan Mama... sengaja undang Claudia juga. Siap-siap ya, Mama bakal akting jadi mertua kejam. Kamu korban utamanya...]
Bibir Nadira langsung bergetar menahan tawa, lalu pecah juga. Ia bisa membayangkan ekspresi ibu mertuanya yang akan berlagak kejam, seolah-olah menyiksanya. Dan tentunya yang paling lucu, Ardan pasti bakal muncul dengan gaya pahlawan kesiangan, siap menyelamatkan Nadira tapi ujung-ujungnya malah kena prank ibunya sendiri.
Dalam keadaan terdesak pun dia masih bersikap sombong dan mencoba memprovokasi Ardan...😒