Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Aku terus menatap foto ibu Heni juga kalung yang saat ini aku simpan di kotak yang sama. Ada rasa rindu, tapi tidak bisa diungkapkan. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.
"Ibu, aku benar-benar sendiri," lirihku.
Tidak ada tangis, tapi aku merasa sesak dalam diriku. Semua terasa semu dan tidak ada yang nyata. Bahkan untuk percaya pada orang di sisiku saja rasanya begitu sulit. Lelah, tapi aku tidak bisa berhenti di saat aku sudah terlanjur masuk ke dalamnya.
Lamunanku terpecah begitu mendengar suara pintu terbuka. Aku buru-buru turun dan menyambut Mada yang baru saja pulang. Aku mencoba tersenyum, walau sebenarnya masih kecewa dengan sikap Mada.
"Bagaimana harimu?" tanya Mada sembari memeluk diriku.
"Masih sama. Bagaimana denganmu?"
"Lelahku hilang karena senyuman darimu."
Sayangnya kalimat itu tidak menyentuh hatiku. Benar saja, tidak lama Leona masuk dan terlihat cemberut melihat kedekatanku dengan Mada.
"Kak Mada. Aku capek."
"Istirahatlah," kata Mada.
"Baiklah. Jangan lupa besok ya Kak," ucap Leona.
Mada mengangguk.
"Eni tolong siapkan makan malam," kataku.
"Baik, Nona."
Tidak ingin larut dalam pikiranku mengenai Leona. Mau bertanya juga rasanya malas pada Mada. Jadi, aku memilih diam dan kembali ke kamar sembari menunggu Eni menyiapkan makan malam.
Di kamar Mada langsung memeluk diriku. Aku diam, tidak tahu apa harus membalas atau hanya pasrah. Sampai Mada menatap diriku dalam, membuatku yang tengah kacau ini langsung menangis.
"Ada apa? Apa ada masalah?"
Aku menggeleng. Aku hanya ingin menangis, setidaknya rasa sesak di dalam dadaku sedikit berkurang setelah ini.
"Apa ada yang menyakitimu?"
Buru-buru aku menghapus air mataku. Aku tersenyum pada Mada, mencium pipinya perlahan. Dia suamiku, aku sudah memilih percaya padanya. Jadi, rasa kecewa dan pahit akan aku rasakan tanpa protes.
"Mandilah. Setelah itu kita makan malam," kataku.
"Heera. Maaf."
"Tidak perlu meminta maaf. Aku akan siapkan baju ganti untukmu."
Sembari menunggu Mada turun untuk makan malam. Aku lebih dulu masuk ke dapur untuk membantu Eni. Aku menyiapkan piring juga gelas ke meja. Setelah itu aku juga membantu Eni membawa makanan yang sudah matang ke meja.
Tidak lama Mada turun. Dia terlihat lebih segar setelah membersihkan diri. Kami sudah siap untuk makan malam, sementara Eni memilih makan di dapur. Padahal sudah beberapa kali aku memintanya untuk makan bersama saja.
Baru saja aku duduk. Leona datang, dengan pakaian tidur khas dirinya. Tanpa sadar aku menoleh pada Mada. Terlihat suamiku ini biasa saja, apa mungkin karena dia sudah terbiasa melihat hal ini dari Leona. Entahlah, aku ingin menghapus praduga negatif ini dari pikiranku.
"Kenapa tidak ada makanan barat," kata Leona sembari mengambil nasi.
Aku diam, Mada juga sudah mulai makan tanpa mengatakan apapun.
"Heera. Aku dengar kau bertemu dengan Oma Melati. Apa yang kalian bicarakan?"
Aku menoleh pada Mada, kebetulan dia juga menoleh padaku. Mungkin dia bertanya kenapa aku tidak bercerita tentang hal ini padanya. Namun, bukan ini yang aku ingin tahu, tapi kenapa bisa Leona tahu aku bertemu dengan Oma Melati.
"Aku bertemu dengan Oma ku sendiri. Kenapa kamu ingin tahu. Oh ya, kenapa kau tahu aku bertemu Oma Melati?"
Leona terlihat tidak nyaman atas pertanyaanku.
"I...itu.. Itu Elvi yang bilang padaku."
"Elvi? Aku tidak mengira kalian dekat."
"Iya," kata Leona dengan senyum canggung.
Setelah makan malam aku langsung ke kamar. Aku duduk untuk membaca buku, tentunya dengan harapan bisa sedikit mengalihkan perhatianku pada dunia yang rumit ini.
"Kenapa kau tidak bilang padaku jika bertemu Oma Melati?" tanya Mada begitu dia masuk.
"Aku berniat mengatakannya, hanya saja kau sibuk dengan anak magang baru di kantormu."
Mada tahu maksudku adalah Leona. Entah kenapa bisa Leona memilih magang di kantor Mada. Padahal dia bisa masuk ke perusahaan orang tuanya. Caranya mendekati Mada benar-benar di luar nalar bagiku.
"Ceritakan padaku apa saja yang kau bicarakan dengan Oma Melati."
"Kenapa tidak kau tanyakan hal ini pada Leona. Dia tahu aku bertemu siapa, kemungkinan besar. Dia tahu aku bicara apa saja dengan orang yang aku temui."
"Jangan alihkan obrolan, Heera."
"Aku tidak mengalihkan. Aku ini istrimu, aku tahu niat wanita lain yang mendekat padamu. Mada, saat ini mungkin Leona hanya menguntitku. Mungkin di lain waktu dia akan menyakitiku," kataku.
"Ayolah. Jangan terus berprasangka buruk padanya. Dia wanita polos yang baru saja pulang dari luar."
"Oh ya, terserah padamu. Tapi setahuku, dia dan Elvi saling bermusuhan karena berebut menginginkanmu. Jadi, tidak mungkin Elvi mengatakan hal pribadi pada Leona. Mada, jika kau ragu padaku aku akan memilih berjalan sendiri."
Mada diam. Aku memilih kembali membuka buku di tanganku. Di saat itu Mada mengambil ponselnya. Aku tidak peduli dan memilih untuk tetap di tempat. Sampai makan malam ini turun, baru aku akan istirahat.
[ Pa. ]
Aku mengirim pesan itu pada Pak Arga. Entah kenapa, aku ingin menyapanya malam ini.
[ Ada apa? Apa ada masalah? ]
Hampir saja aku menangis mendapat pertanyaan itu dari Pak Arga.
[ Maafkan Papa, tapi jika Papa tidak mengirimimu pesan lebih dulu. Jangan kirim pesan atau telfon. Besok Papa akan jelaskan semuanya. ]
Pesan kedua itu tidak aku balas. Mungkin aku sudah mengganggu istirahatnya atau aku mengganggu pekerjaannya.
Tok. Tok. Tok.
Pintu kamar diketuk beberapa kali. Aku berniat membukanya sampai Mada lebih dulu berdiri. Namun, pintu sudah lebih dulu terbuka. Wajah Leona terlihat, tanpa permisi dia masuk begitu saja. Bagiku, wanita bernama Leona ini tidak memiliki adab dan sopan santun.
"Ada apa?" tanya Mada.
"Kak. Besok Papa dan Mama mau ke sini. Kak Mada ada waktu menemaniku untuk menjemput mereka kan?" nada manja dan penuh kelembutan.
Mada menoleh padaku.
"Maaf, besok aku ada janji."
Aku benar-benar tidak ingin terlibat apapun dengan Leona. Sudah cukup dia menjadi duri dalam rumah tanggaku.
"Baiklah."
"Kak Mada."
"Apa lagi?"
"Boleh tidak aku tidur dengan Heera. Entah kenapa setelah menonton film horor tadi aku jadi takut sendiri."
"Tidak. Jika kau takut, kau bisa tidur dengan Eni atau jika perlu kau meminta temanmu datang untuk menemanimu."
"Heera!"
Suara Mada yang cukup keras membuat aku menutup buku dengan kasar. Aku menatap balik pada pria berstatus suamiku itu.
"Jika kau kasihan. Kau saja yang menemaninya."
Setelah itu aku mematikan lampu dan memilih untuk tidur. Akhirnya mau tidak mau Mada mengusir Leona dari kamar. Aku kira, Mada akan menemaninya tapi dia memilih berbaring di sampingku.
"Jangan terlalu keras padanya."
Aku sama sekali tidak peduli dengan apa yang Mada katakan. Aku benar-benar muak dan kesal pada Leona. Jika saja aku punya keberanian lebih, mungkin aku sudah mengusirnya dari sini. Sayangnya aku masih tidak memiliki keberanian itu.