Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan tak diundang..
Pagi itu, udara masih menyisakan embun. Matahari belum tinggi, dan suara ayam jantan bersahutan di kejauhan. Nayla baru saja selesai membereskan ruang tamu kontrakannya ketika suara ketukan terdengar di pintu depan.
Tok tok tok.
Ia membuka pintu dan mendapati Aldi berdiri rapi dengan map cokelat di tangan.
“Pagi, Nayla,” sapa Aldi, senyumnya hangat seperti biasa. “Aku datang untuk melengkapi dokumen dan memastikan semuanya siap untuk sidang perdana nanti.”
Nayla mengangguk. “Masuk, Mas. Maaf rumahnya masih berantakan.”
“Tidak apa-apa,” jawab Aldi sambil masuk, meletakkan map di atas meja. “Kita bahas sebentar ya. Ada beberapa berkas yang harus kamu tanda tangani. Lalu aku juga butuh fotokopi KTP dan surat nikah aslimu.”
Obrolan mereka berjalan lancar. Aldi bersikap sangat profesional. Ia tidak mencampurkan simpati pribadinya dengan urusan hukum, walau dari raut wajahnya, Nayla tahu Aldi menyimpan empati yang dalam.
Namun, belum setengah jam mereka berbincang, suara mobil berhenti di depan kontrakan membuat Nayla menoleh waspada. Ia berdiri pelan, membuka gorden jendela, dan hatinya langsung tercekat.
Itu Raka.
Dan Tania turun dari mobil bersamanya.
Ketukan di pintu datang lagi—lebih keras kali ini. Aldi bangkit berdiri, memandang Nayla sejenak.
“Kamu ingin aku pergi dulu?” tanyanya.
Nayla menggeleng. “Tetap di sini.”
Ia membuka pintu. Raka berdiri di ambang, tatapannya langsung menelisik ke dalam, melihat Aldi.
“Nayla,” ucapnya singkat. “Maaf mengganggu. Aku tahu ini mungkin tidak nyaman, tapi... bisakah Tania bicara sebentar denganmu?”
Nayla menatap Raka tajam. “Dia ingin bicara?”
Tania, yang berdiri di belakang Raka, melipat tangan di dada.
Aldi segera berdiri mendekat, merasakan ketegangan di udara. “Maaf, saya Aldi. Pengacara Nayla,” ucapnya sopan, mengulurkan tangan.
Namun Raka tak menggubris. Wajahnya menegang, matanya menatap tajam ke arah Aldi. Api cemburu langsung menyala di dadanya.
“Pengacara?” gumam Tania dingin. “Atau pacar?”
Aldi mengangkat alis. “Saya datang ke sini sebagai profesional. Fokus saya hanya membantu Nayla dalam proses perceraiannya.”
Tania mendengus. “Perceraian yang kamu bantu sambil duduk manis di rumahnya?”
“Cukup, Tania,” potong Nayla. Suaranya rendah tapi menggetarkan udara. “Kalau kamu memang mau bicara baik-baik, aku terima. Tapi kalau kamu datang ke sini cuma mau menyakiti aku lagi, silahkan keluar.”
Tania tertawa sinis. “Aku cuma nggak habis pikir. Kamu belum resmi cerai, tapi udah gandeng cowok baru. Emangnya kamu sebaik itu, Nayla?”
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Tania. Semua terdiam.
“Aku bukan seperti kamu, Tan!” Nayla gemetar. “Aku nggak tidur dengan suami orang! Aku nggak pernah main belakang! Aku hanya mencoba bertahan, dan ketika aku lelah dengan ulah kalian, aku memilih pergi dengan harga diriku.”
Tania terpaku, matanya membelalak.
Aldi bergerak cepat, menahan bahu Nayla. “Tenang. Jangan terseret emosi. Dia bukan orang yang layak kamu tangisi.”
Namun Nayla sudah kehilangan kendali. Matanya basah, suaranya pecah. “Kalian berdua menghancurkan rumahku. Tapi aku yang kalian hina. Kalian ambil segalanya, lalu menuduh aku perempuan murahan?”
Raka melangkah maju. “Nayla, cukup. Aku... aku nggak pernah berniat menyakitimu seperti ini.”
Nayla memelototinya. “Tapi kamu tetap melakukannya. Kamu diam waktu aku dihancurkan. Kamu diam waktu ibuku menangis malam-malam karena takut aku gila. Dan sekarang kamu suruh perempuan itu datang minta maaf?”
Raka mengatup rahangnya, matanya mulai basah. Tapi Aldi maju selangkah, berdiri di samping Nayla, tegak dan tenang.
“Saya minta maaf kalau kedatangan saya menambah kerumitan,” ucap Aldi kepada Raka. “Tapi izinkan saya menjaga klien saya dari hal-hal yang bisa menyakitinya lebih jauh. Termasuk dari kalian.”
Tatapan Raka dan Aldi bertabrakan, panas dan tak goyah. Ketegangan itu menggantung seperti benang tipis yang siap putus kapan saja.
Tania menggeser tubuhnya ke samping Raka, menarik lengannya. “Ayo, kita pulang. Aku nggak mau lihat wajah perempuan ini lagi.”
Raka masih terpaku beberapa saat sebelum akhirnya memalingkan wajah. Ia berbalik dan melangkah pergi, Tania menyusul di belakangnya.
Pintu tertutup kembali.
Nayla berdiri diam, dadanya naik turun cepat. Aldi menatapnya prihatin.
“Kamu kuat, Nayla,” bisiknya.
Nayla hanya tersenyum kecut, lalu menyeka air matanya yang jatuh pelan. “Aku bukan kuat, Mas. Aku cuma... sudah terlalu sering sakit. Sampai rasanya kebal.”
Aldi menggenggam map di tangannya, menunduk sebentar, lalu meletakkannya di meja. “Kalau kamu butuh waktu, aku bisa kembali nanti.”
Nayla menggeleng. “Nggak. Kita lanjut saja. Aku harus menyelesaikan semua ini, sebelum aku benar-benar runtuh.”
Dan pagi itu, dengan segala luka yang belum sembuh, Nayla menuliskan satu langkah besar dalam hidupnya—dengan keberanian yang tak bisa ditawar.