"Perjodohan memang terlihat begitu kuno, tapi bagiku itu adalah jalan yang akan mengantarkan sebuah hubungan kepada ikatan pernikahan," ~Alya Syafira.
Perbedaaan usia tidak membuat Alya menolak untuk menerima perjodohan antara dirinya dengan salah satu anak kembar dari sepupu umminya.
Raihan adalah laki-laki tampan dan mapan, sehingga tidak memupuk kemungkinan untuk Alya menerima perjodohannya itu. Terlebih lagi, ia telah mencintai laki-laki itu semenjak tahu akan di jodohkan dengan Raihan.
Namun, siapa sangka Rayan adik dari Raihan, diam-diam juga menaruh rasa kepada Alya yang akan menjadi kakak iparnya dalam waktu dekat ini.
Bagaimana jadinya, jika Raihan kembali dari perguruan tingginya di Spanyol, dan datang untuk memenuhi janjinya menikahi Alya? Dan apa yang terjadi kepada Rayan nantinya, jika melihat wanita yang di cintainya itu menikah dengan abangnya sendiri? Yuk ikuti kisah selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Teka-teki Di Balik Iris Mata
..."Semua orang mempunyai dunianya sendiri dan punya jalan hidup masing-masing yang tidak perlu di ikut campuri. Namun, terkadang apa yang di lihat dari sisi seseorang, akan cukup menarik untuk di ketahui."...
...~~~...
Alya sedikit meringis, dengan menahan sakit akan luka gores di jari tangannya itu, sedangkan Rayan dengan begitu cemas mendekatinya.
"Itu Alya tadi lagi memotolong wartel, tapi tiba-tiba saja jarinya tergores pisau. Kamu tolong jagain Alya ya sebentar? Bunda mau ambil obat dulu di dalam," ucap Bunda Zahra kepada sang putra yang belum berangkat kerja.
"Ah iya, Bun. Rayan jaga Kak Alya di sini," ujar Rayan yang langsung mendapatkan senyuman manis dari sang bunda.
Setelah Bunda Zahra pergi untuk mengambil obat merah, Rayan dan Alya pun berdua di meja makan, dengan Alya yang terlihat ingin menangis tapi di tahan, karena mungkin malu di lihat oleh adik iparnya sendiri, jika ia ternyata cengeng.
Rayan yang mengerti itu, langsung saja mendekati Alya, dan melihat luka merah yang terlihat di jari telunjuk Alya. Dan darahnya masih terlihat segar.
"Coba lihat, Kak Alya," pinta Rayan yang bersikap formal dengan menghormati Alya sebagai kakak iparnya.
"Ih apaan sih, Rayan? Kak Alya, panggil saja Alya kayak biasanya. Terlalu aneh tahu," cetus Alya nampaknya tidak menyukai panggilan yang di berikan oleh Rayan akhir-akhir ini.
"Loh, kan kamu itu Kakak Ipar aku, makanya aku harus bilang Kakak alias Kak Alya biar makin terlihat menghormati. Secara kan', kamu sekarang sudah jadi istrinya Bang Raihan, Abang aku jadi kamu pun Kakak aku," sahut Rayan dengan berbicara apa adanya.
"Iya, tapi kesannya kayak aku udah tua tahu, Rayan! Aaww!" pekik Alya begitu tangannya menyentuh meja.
"Tuh kan sakit, makanya jangan galak-galak Kak Alya, nanti malah benar jadi cepat tua," seru Rayan dengan sedikit ledekan.
Wanita itu sontak membelalakkan kedua matanya, dengan ucapan Rayan yang terkesan menyinggung dirinya.
"Rayan!" tegas Alya yang tidak ingin di katakan tua oleh seseorang.
"Haha, aku becanda kok Al," kata Rayan dengan sedikit tawa.
Kedua kata Alya memicing menatap tajam kepada Rayan. "Awas saja ya, kalau sebut aku tua lagi! Aku bilangin Mas Raihan nanti!" ucapnya dengan memberikan sebuah ancaman.
"Serius banget, aku becanda kok Alya. Tidak mungkin kamu tua, wajah baby face kayak kamu enggak bakalan kelihatan tua tahu," ujar Rayan dengan mencoba membujuk Alya yang terlihat cemberut.
"Tau ah, sebal!" cetus Alya dan tanpa sadar, ia melupakan rasa sakit di jari tangannya, karena berdebat dengan Rayan.
Begitu Alya dan Rayan selesai berdekat, Bunda Zahra datang membawa obat. Dan di situlah, Rayan segara menatap kepada bundanya itu.
"Ada apa ini? Kok pada diam-diaman kayak gitu? Mana kamu terlihat cemberut, Alya. Kamu apain Kakak Iparmu ini, Rayan?" ucap Bunda Zahra dengan menatap tajam kepada sang putra yang menjadi sasaran utama, setelah melihat wajah kesal Alya.
Rayan dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Enggak kok, Bunda. Serius Rayan enggak ngapa-ngapain Alya," jawabnya dengan mengelak.
"Jangan bohong, Rayan! Enggak mungkin Alya tiba-tiba begini, kalau kamu enggak apa-apaan," kata Bunda Zahra yang tidak dapat di bohongi.
Rayan pun akhirnya mengalah dan menghembuskan nafasnya kasar. "Huh ... Rayan cuma iseng sedikit Bun, tapi Alya kebawa serius tadi," sahutnya dengan berkata jujur.
"Nah kan, ayo minta maaf sama Alya!" titah Bunda Zahra seperti kepada dua anak kecil yang tengah bertengkar.
"Iya, Bun." Rayan pun mendekati Alya dan menatapnya dalam.
Alya yang mendapat tatapan seperti itu cukup merasa aneh, karena apa yang di lihatnya dari tatapan Rayan itu cukup berbeda, seperti ada sesuatu yang di sembunyikan. Akan tetapi, ia tidak bisa mengetahuinya.
"Alya, aku minta maaf ya? Aku janji enggak bakalan bilang kamu tua lagi. Dan aku janji enggak bakalan bilang Kak Alya lagi agar kamu tidak mengira tua, dan aku akan sebut nama saja seperti biasanya," ucap Rayan dengan bermodalkan janji dari ucapannya itu.
Alya masih diam, bukan enggan menjawab, tapi ia terlalu fokus menatap binar mata Rayan yang membuatnya tertarik untuk terus menatapnya.
Di karenakan tidak kunjung mendapatkan jawaban, Rayan pun meraih kotak obat dari tangan Bunda Zahra, dan mengeluarkan obat merah serta kapas, lalu kembali menatap kepada wanita yang diam-diam telah mengobrak-abrik hatinya itu sampai menjadi hancur.
"Sebagai permintaan maaf dariku. Aku obati luka di jarimu ini ya?" ucap Rayan dengan tersenyum tipis kepada Alya, lalu meraih jari wanita itu.
Bunda Zahra yang melihat usaha Rayan untuk mendapatkan maaf dari Alya, mampu membuat dirinya cukup terkesan.
Alya yang sebelumnya tidak bergeming sana sekali. Ia mulai merasakan sakit, begitu obat merah itu menyentuh permukaan kulit jari telunjuknya yang tergoles oleh pisau.
"Aaawa!" pekik Alya dengan tersadar dari lamunannya, karena begitu lama memikirkan apa yang sebenarnya ia lihat dari bilik kedua iris mata milik Rayan itu.
"Sabar ya? Sakitnya sebentar kok," ucap Rayan dengan memberikan penenangan kepada Alya.
Alya pun menganggukan kepalanya sembari sesekali merintis, tapi ia tahan dan Rayan pun bisa melanjutkan mengobati lukanya itu. Sampai sebuah plaster menempel di jarinya itu.
"Rayan, semakin aku mengenalmu, maka semakin banyak sesuatu yang tidak bisa aku tebak dirimu," ucap Alya di dalam hatinya sembari menatap Rayan yang masih mengobati lukanya.
"Sudah, nanti lukanya cepat kering," ucap Rayan dengan menatap kepada Alya yang juga tengah menatap dirinya.
Sontak saja, Alya tersadar dari lamunannya, lalu tersenyum tipis kepada Rayan yang telah membantu mengobati lukanya.
"Terimakasih banyak, Rayan. Aku terlalu banyak merepotkanmu dari semalam," ucap Alya dengan sedikit tidak enak.
"Iya, sama-sama Alya. Enggak papa, ini kan kecelakaan. Lain kali lebih hati-hati lagi ya? Agar tidak sampai terluka," ucap Rayan dengan tidak mempermasalahkan ucapan Alya.
"Loh, memangnya semalam Alya kenapa, Rayan?" tanya Bunda Zahra yang tidak sengaja mendengarkan obrolan keduanya.
Seketika kedua mata itu menatap terkejut dengan pertanyaan yang telah di lontarkan oleh Bunda Zahra kepada Rayan.
"Emmm ...." Rayan terlihat begitu kebingungan untuk menjawab apa, karena takut Alya tidak mengijinkannya untuk bercerita kepada bundanya itu.
"Rayan, jawab! Ada apa dengan Kakak Iparmu itu semalam?" tanya kembali Bunda Zahra dengan penuh desakan.
Dring! Dring!
Tiba-tiba ponsel di atas menja milik Rayan berbunyi dan membuat fokus semuanya beralih menatap kepada benda pipih itu.
Rayan dengan cepat meraih ponselnya dan melihat nama yang tertera di layar ponselnya itu, sehingga membuatnya terpikirkan untuk menghindari pertanyaan bundanya itu.
"Sebentar ya, Bunda, Alya. Ini ada telepon penting, Rayan harus segera mengangkatnya," ucap Rayan dengan beranjak dari kursi dan menjauh dari dua wanita itu.
"Eh, Rayan tunggu dulu! Pertanyaan Bunda belum di jawab," ucap Bunda Zahra karena Rayan langsung beranjak dari kursi tanpa jawaban.
"Nanti saja, Bunda. Rayan ada pekerjaan penting nih buru-buru. Pamit dulu ya? Assalamualaikum," ucap Rayan dengan mencium punggung tangan Bunda Zahra, lalu pergi begitu saja, setelah beberapa saat menerima panggilan telepon.
"Waalakumssalam. Hati-hati di jalan, Nak!" sahut Bunda Zahra yang tidak bisa apa-apa.
"Dasar anak itu," lanjutnya begitu Rayan pergi dari pandangannya.
.
.
.