JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN
Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!
Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.
Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?
Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TITIK KRITIS
Sehari setelah kabar menggembirakan itu, suasana istana mendadak berubah. Seperti embusan angin musim semi yang menyebarkan harum bunga, berita tentang kehamilan Zhao menyebar cepat. Padahal, Zhao dan Pangeran Wang belum sempat mengumumkannya secara resmi.
Di dalam paviliun kediaman mereka, Zhao tengah duduk bersila di atas tikar, dikelilingi tumpukan buku-buku tua berisi arti nama bangsawan.
“Kau sedang sibuk apa?” tanya Pangeran Wang sambil berjalan mendekat, matanya tertuju pada tumpukan buku yang berserakan.
Zhao menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada buku di tangannya. “Aku sedang mencari nama yang cocok untuk anak kita. Kalau anaknya laki-laki, aku sudah punya beberapa pilihan. Tapi kalau perempuan… entahlah, belum ada yang cocok di hati.”
Pangeran Wang duduk di sampingnya. “Kalau begitu, kita cari bersama.”
Baru saja mereka hendak melanjutkan pencarian, suara langkah cepat terdengar dari arah pintu. Pangeran Jaemin muncul bersama Xiao, tunangannya yang kini terlihat makin dekat dengannya. Aura pasangan yang saling cocok itu terlihat jelas.
“Kakak! Kami datang!” sapa Jaemin ceria.
Zhao dan Pangeran Wang menoleh bersamaan.
“Kalian?” Zhao mengerutkan dahi. “Ada angin apa pasangan calon pengantin ini tiba-tiba mampir?”
“Astaga, Kakak… seluruh istana sedang sibuk membicarakan kehamilanmu. Tapi kau sendiri bahkan tidak memberitahuku. Kupikir kita masih teman baik,” kata Jaemin, sedikit berpura-pura cemberut.
“Iya, Kak Zhao! Itu berita menggembirakan, dan kalian menyembunyikannya dari kami,” timpal Xiao sambil memeluk lengan Jaemin manja.
Zhao tertawa kecil. “Maaf, bukan berniat menyembunyikan. Aku belum sempat… Lagipula, kenapa kabarnya bisa menyebar secepat itu?”
Pangeran Wang terdiam. Wajahnya sedikit berubah. Ia mulai cemas, terutama soal keselamatan Zhao jika terlalu banyak yang tahu dalam waktu singkat.
Tak lama, langkah lain terdengar. Kali ini Pangeran Yu datang bersama Hwajin, yang kini berjalan beriringan dengan lebih santai dibanding biasanya. Ada ketenangan yang tak biasa di antara mereka.
“Wah! Pasangan kalem ini akhirnya muncul juga berdua!” seru Xiao jahil sambil menyenggol lengan Zhao.
Pangeran Jaemin mengerutkan alis dan mencubit lengan bajunya. “Hei, jaga sikapmu.”
“Baiklah~” ucap Xiao dengan wajah tanpa dosa.
Hwajin, yang biasanya kalem, ikut terseret dalam energi ceria mereka. “Kak Zhao, selamat ya! Jadi benar kau sedang mengandung. Bahkan sudah tiga bulan! Dan kalian baru memeriksanya setelah… sering berhubungan…”
Kalimat Hwajin terputus karena seluruh ruangan mendadak sunyi. Semua mata menatapnya.
“Ada apa?” tanya Hwajin polos.
Zhao memijat pelipis sambil tertawa canggung. “Ucapanmu... lumayan menghibur meski agak yah memalukan.”
Pangeran Wang terlihat salah tingkah. Tapi ia hanya mengangguk, mencoba tetap tenang walau pipinya sedikit merah.
Pangeran Yu, yang sejak tadi tenang, tersenyum hangat. “Selamat, Zhao. Aku senang mendengar kabar ini. Sepertinya aku akan segera menjadi paman.”
Zhao menunduk sopan. “Terima kasih, Pangeran Yu. Dan juga, Hwajin.”
Tak lama kemudian, Pangeran Wang menatap Yu dengan tatapan berbeda. “Pangeran Yu, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”
Yu mengangguk. “Baik, Kakak.”
Pangeran Wang berdiri, lalu menoleh ke Zhao. “Temani mereka dulu, aku akan kembali setelah selesai.”
Zhao mengangguk, memberi senyum kecil, sementara Pangeran Wang dan Pangeran Yu berjalan menjauh meninggalkan ruangan.
Setelah kepergian mereka, suasana kembali santai.
Xiao bersandar ke pundak Jaemin. “Kurasa aku juga ingin cepat-cepat punya anak seperti mereka…”
Jaemin menatapnya dengan alis terangkat. “Jangan terburu-buru. Kau bahkan belum jadi istriku.”
“Tapi segera kan?” Xiao berkedip genit.
Zhao tertawa kecil melihat tingkah mereka. Tapi di dalam hatinya, ia merasa cemas. Bukan soal kehamilannya. Bukan soal tubuhnya yang mulai terasa berat. Tapi sesuatu… sesuatu yang belum ia mengerti sepenuhnya. Tatapan Wang saat mendengar kabar menyebar terlalu cepat. Wajahnya yang tampak menahan sesuatu.
Ada kekhawatiran yang tak terucap. Dan Zhao bisa merasakannya.
Sementara itu, jauh dari keramaian, dua pangeran duduk di dalam sebuah ruang rahasia yang tersembunyi di sayap timur istana. Ruangan itu kecil dan tenang, dengan jendela tertutup dan hanya cahaya dari lentera di sudut ruangan yang menemani.
Pangeran Yu menuangkan teh ke dalam dua cangkir, lalu meletakkannya di hadapan sang kakak.
“Kakak… apa kau sudah memberitahu Ayah Kaisar dan Permaisuri tentang kabar ini?” tanyanya pelan, namun penuh makna.
Pangeran Wang menggeleng kecil. “Rencananya hari ini aku akan menghadap dan memberitahukan langsung… Tapi kurasa, Ayah sudah mendengarnya lebih dulu. Kabar itu menyebar begitu cepat di istana.”
“Lalu… kau akan tetap menghadap beliau?”
“Tentu,” jawab Wang mantap. “Beliau pasti akan memanggilku cepat atau lambat. Lebih baik aku bersikap terbuka daripada terlihat menyembunyikan sesuatu.”
Pangeran Yu mengangguk pelan, lalu menatap kakaknya lebih dalam. “Tapi ada sesuatu yang membuatmu cemas, bukan?”
Sejenak, Pangeran Wang tidak menjawab. Tatapannya kosong menembus permukaan teh dalam cangkir. Baru setelahnya, ia menghembuskan napas berat.
“Bukan soal kabar ini,” ucapnya pelan. “Tapi soal Zhao…”
Pangeran Yu terdiam.
“Aku sangat bahagia, pangeran Yu,” lanjut pangeran Wang. “Mungkin ini adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Tapi juga yang paling menakutkan.”
Pangeran Yu menatap kakaknya dengan seksama.
“Zhao kini menjadi titik lemah ku,” lanjut pangeran Wang. “Kehamilannya… bisa menjadi celah bagi pihak-pihak yang menentangku. Jika mereka ingin menjatuhkanku mereka cukup menyentuh Zhao.”
Pangeran Wang mengepalkan tangan di atas meja.
“Aku sudah terbiasa menyembunyikan kecemasan di balik wajah tenang. Tapi di setiap malam, aku takut. Takut kehilangan dia sebelum aku bisa benar-benar melindunginya.”
Pangeran Yu menunduk, pikirannya mulai terisi oleh bayangan yang sama bagaimana jika sesuatu benar-benar terjadi pada Zhao? Apa yang akan terjadi pada sang kakak?
“Dan… kita belum menyerahkan bukti keterlibatan Nona Lee dalam wabah desa itu,” kata pangeran Yu, menimpali.
“Benar,” jawab pangeran Wang cepat. “Sebagian bukti sudah kukumpulkan, dan akan kuperlihatkan ke Kaisar. Tapi tidak semua. Sisanya masih dalam penyelidikan. Aku harus bergerak pelan, pangeran Yu… pelan tapi pasti.”
Ia menatap adiknya dengan tatapan dingin namun penuh tekad.
“Jika hari itu tiba… hari di mana mereka mencoba menyentuh Zhao… maka aku tidak akan tinggal diam. Demi dia, aku siap melawan siapa pun. Bahkan jika harus mengorbankan gelarku.”
Pangeran Yu menatap kakaknya dalam diam. Ia belum pernah melihatnya sekeras itu bukan dalam amarah, tapi dalam rasa takut yang menyamar jadi tekad.
Dalam pikirannya kini hanya satu:
‘Jika Zhao benar-benar dalam bahaya… apakah kakaknya akan berubah menjadi pria yang bahkan istana pun tak bisa kendalikan?’
Langkah kaki Pangeran Wang terdengar mantap di lorong panjang yang mengarah ke balairung dalam tempat Kaisar biasa menerima tamu pribadi. Beberapa pelayan membungkuk dalam diam saat ia lewat, membiarkan keheningan istana mengalir bersamaan dengan ketegangan di dadanya.
Sesampainya di pintu, ia disambut oleh Kepala Pengawal Istana.
"Yang Mulia sudah menanti," ucapnya.
Pangeran Wang mengangguk singkat. Ia menarik napas panjang sebelum melangkah masuk.
Di dalam, sang Kaisar duduk di kursi utama, mengenakan jubah sutra gelap yang mempertegas wibawanya. Di sisi kirinya berdiri Permaisuri, ibunya yang kini terlihat lebih tenang dari biasanya.
Pangeran Wang membungkuk dalam-dalam. “Hamba, Wang, menghadap Ayah Kaisar dan Permaisuri.”
Kaisar mengangguk ringan. “Bangkitlah.”
Permaisuri tersenyum tipis. “Kau terlihat sehat,.”
“Terima kasih,.”
Kaisar menautkan jari-jarinya di atas lutut. “Kabar yang beredar pagi ini… tentang istrimu, apakah benar?”
Pangeran Wang menegakkan badan. “Benar, Ayah. Zhao… tengah mengandung. Sudah berjalan tiga bulan.”
Sejenak ruangan hening. Permaisuri menatap sang putra.
“Syukurlah…” ucapnya lirih. “Aku sudah lama berharap ada cucu darimu…”
Kaisar menatap pangeran Wang lama, lalu berkata dengan suara rendah tapi tegas, “Kau tahu, kehamilan Zhao bisa berarti dua hal bagi istana ini harapan… dan potensi ancaman.”
Pangeran Wang mengangguk perlahan. “Hamba menyadari itu, Ayah. Karena itulah hamba juga ingin melaporkan sesuatu.”
Kaisar menaikkan alis. “Lanjutkan.”
Pangeran Wang mengeluarkan gulungan kain dari dalam lengan jubahnya. Ia menyerahkannya ke pelayan untuk disampaikan ke tangan Kaisar.
“Ini… sebagian bukti keterlibatan Nona Lee dalam penyebaran wabah di desa Sungnam. Kami belum menyimpulkan semuanya, tapi cukup kuat untuk membuka penyelidikan resmi agar bisa tahu lebih jauh siapa saja yang terlibat.”
Kaisar membuka gulungan itu dan membaca sekilas. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya mengeras.
“Berani sekali mereka… menyentuh rakyatku, demi menjatuhkan calon penerus tahta,” gumamnya.
“Karena itulah hamba memohon… perlindungan penuh untuk Zhao. Dan pengawalan ketat yang tidak terlihat oleh mata umum.”
Permaisuri menoleh pada suaminya dan terdiam lirih.
"Apa pangeran chun terlibat" batin permaisuri dengan wajah sedikit cemas
Kaisar menutup gulungan perlahan. “Kau telah menjadi pria dewasa yang pantas, pangeran Wang. Kau tahu kapan harus bergerak… dan kapan harus melindungi. Aku akan mengutus pengawal terbaik. Tapi kau juga harus bersiap segala yang datang setelah ini… mungkin tidak akan mudah.”
Pangeran Wang menunduk. “Hamba siap.”
Kaisar menatap anaknya dengan dalam. “Lindungi keluargamu. Tapi ingat jangan biarkan amarah mengaburkan pikiranmu. Karena kekuasaan… tidak dimenangkan hanya dengan keberanian. Tapi juga dengan keseimbangan.”
Pangeran Wang mengangguk tegas. “Akan hamba ingat, Ayah.”
Permaisuri berdiri, menghampiri pangeran Wang.
“Aku ingin melihat bayi itu lahir dengan selamat… Aku akan mengutus tabib pribadi untuknya. Dan… selamat. Kau akan menjadi ayah.”
Dan untuk pertama kalinya senyum hangat muncul di wajah pangeran Wang untuk ibunya. “Terima kasih.”
Pangeran Wang melangkah perlahan memasuki kediamannya, baru saja kembali dari pertemuan dengan Kaisar dan Permaisuri. Matanya menyapu halaman depan yang kini dijaga begitu ketat. Ia bisa merasakan kehadiran para penjaga bayangan tersembunyi namun siaga. Kaisar merespons cepat setelah ia menyampaikan kecemasannya.
Tak lama, para pangeran dan pasangan mereka keluar dari paviliun tamu dan menghampirinya.
"Kau sudah kembali, Kak. Bagaimana tanggapan Ayah Kaisar?" tanya Pangeran Yu dengan nada hati-hati.
Pangeran Wang hanya mengangguk pelan, lalu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah berbagai sudut kediaman. "Itulah hasil diskusiku dengannya."
Mereka pun menoleh, memperhatikan dengan lebih jeli. Puluhan pasang mata tersembunyi mengintai dari balik pepohonan, atap, dan bayangan pilar.
"Pengawalan rahasia khas Ayah," ujar Pangeran Jaemin polos, tapi kagum.
"Dia memang tahu cara menunjukkan kasih sayangnya… meski sering lewat cara yang tak biasa," tambahnya sambil tersenyum tipis.
Pangeran Wang menatap mereka. "Kalian mau pulang?"
"Iya," jawab Xiao lembut. "Kak Zhao juga perlu istirahat. Hari ini cukup melelahkan baginya."
Pangeran Wang hanya mengangguk. Dalam diam, ia setuju.
Setelah memberi hormat, mereka pun berpamitan. Pangeran Wang tetap berdiri di tempatnya, memandangi kepergian mereka sambil menghela napas dalam-dalam. Angin malam membawa aroma bunga cendana dan ketegangan yang belum juga reda.
---
Di sisi lain istana, suasana jauh berbeda. Di kediamannya, Nona Lee tampak gelisah.
"Apa kau yakin?" tanyanya pada pelayan setianya.
"Ya, informasi itu mulai menyebar. Pangeran Wang dan bahkan Kaisar sendiri telah mencium keterlibatan Nona dalam insiden wabah di Desa Qianshi."
Raut wajahnya menegang. Tapi sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, suara langkah berat terdengar dari dalam ruangan. Menteri Perang, ayahnya, berdiri dengan tatapan dingin menusuk.
"Tenanglah," ujarnya sambil mengepalkan tangan. "Tinggal beberapa bulan lagi. Bersabarlah. Setelah itu, seluruh istana ini akan berada di genggaman kita."
Nona Lee menatap ayahnya. Ketegangan dalam dadanya perlahan mereda. Selama pria itu berada di sisinya, ia merasa tak akan pernah kalah.