Seorang Punggawa mengharapkan sebuah arti kehidupan rakyanya yang penuh dengan kemakmuran. Banyak bahaya dan intrik di sana.
Simak ceritanya......Petuah Tanah Leluhur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XI LINTANG RAINA
Candra ing ngarsa nira, gumebyar nyinaring siti, tan kasirat dening cahya, kadiya gumerlap ing sira, dol tinuku sinar ing padang, samiya guyub tirta ing samudra, kairing dening lelampah nira, sang surya mijil kalebur maring raga nira, pepadang ing kawitan, damel wengkon ingkang samiya lumbar, lir ibarat sela blekiti, rekata ingkang mlampah tunggal ning netra, sigra katutup tantra ing pepada nira.
Setelah kembali dari kamar kecil, ki Werga kembali melanjutkan cerita membahas watak dan tabiat dari tokoh-tokoh wayang.
" Sedulur semua, dalam pembahasa kali ini nantinya jangan kalian gunakan untuk menakuti apalagi mengolok-olok sesama, ini hanya sebuah wacana saja, adapun betul tidaknya, tergantung dari penilaian masing-masing," kata ki Werga.
" Baik ki," serempak menjawab.
" Yang pertama di situ tertera penghulu Pandawa, maksudnya adalah bahwa dalam tabiat manusia yang memiliki angka lebihnya 1 , itu adalah watak dari Jayasena, Bratasena, Werkudara atau Bima, biasanya orang yang sifatnya seperti Bima itu orangnya jujur, pemberani, bertanggung jawab, tampil di depan, pelindung dan apabila sudah marah tidak ada satu pun yang bisa membendung," tutur ki Werga.
" Siapa itu Bima Ki ? tanya Wirya.
" Bima itu adik dari raja Amarta, namanya Samiaji, atau kakak dari Raden Arjuna penengah Pandawa. Putri dari Dewi Kunti dan Pandu, Bima sebetulnya anak pertama, hanya saja waktu lahir ia terbungkus oleh babu kawah, itulah Bima," kata ki Werga.
" Kalau terbungkus berarti belum wujud manusia ya Ki," tanya Soma.
" Iya belum, makanya bungkus itu dibawa oleh Resi Dopayana ke tepi laut atau bengawan Yamuna. Bungkus itu selalu direndam di situ," tutur ki Sawerga.
" Lalu jadi terbuka tidak ki , bungkusnya ?" tanya Soma.
" Terbuka, hanya waktunya lama," kata ki Werga.
Setelah menjelaskan itu ki Sawerga membahas watak yang kedua, namanya Bilung, begini penjelasannya.
" Jadi jelas ya itu watak Bima, lalu yang kedua itu ada yang namanya Bilung, watak orang seperti Bilung biasanya pemalas, pengen hidup enak tapi enggan berusaha, suka berbuat jahat, mencuri, memfitnah, mengadu domba, dengkih dan sifat-sifat jahat yang lain, pokonya begitu lah," tuturnya.
" Hmmm....jadi sungguh sangat bengis dan keji juga ki," kata Anggapala.
" Makanya kalau bertemu dengan orang seperti itu bisa bahaya kakang, hati-hati ," ujar Nyi Kalis sambil duduk di kursi pedukuhan.
" Kemudian yang ketiga, wataknya.....", kata Ki Werga sambil menengok ke depan pendopo ada suara orang berteriak.
" Tolong....tolong.......," kata suara tadi.
Tampak dari depan sana seorang laki-laki berpakaian compang- camping berlari menuju pendopo, sementara orang-orang di pendopo, sebagian menolong orang itu.
Sambil terengap-engap berkata.."to ....tolong ki,....to...tolong...sa...saya...ki,...a...ada...si....silum....siluman ki," katanya.
" Tenang ki sanak," kata Soma sambil memapahnya ke dalam pendopo.
" Ada apa sebenarnya ki sanak," kata Anggapala sambil memberi air minum.
" Tenang, sudah aman ki sanak," kata Soma.
Setelah sadar dan tenang akhirnya ia menjelaskan.
" Begini Ki, saat saya ke sungai menjemput anak-anak mandi, tampak dari Barat itu ada bayangan hitam, sosoknya seperti Sandakala ki, tapi itu bukan dia, yang jelas begitu saya lempar pakai batu, dia menyambar dengan cepat dan mengoyak koyak pakaian ini ki," kata orang itu.
" Hmmmm...kalau bukan sandakala berarti itu si lungut ki," kilah Pandanala sambil memberi ramuan obat.
" Ini buktinya ki, banyak goresan kuku lancipnya, walau kecil tapi tajam," lanjutnya.
Melihat itu semua, para warga dan juga kerabat yang sedang menyimak cerita menjadi penasaran. Banyak yang menggumam dan menggerutu akibat kejadian itu. Lalu setelah dibaluri ramuan obat, orang diantar pulang oleh beberapa orang yang merasa sebuah kewajiban.
Kini situasi berubah yang tadinya begitu tenang di pendopo mulai merasakan kekawatiran dari setiap warga. Untuk menanggulangi itu maka Pandanala membentuk semacam kelompok piket, dan setiap piket terdiri dari delapan orang. Malam itu kebetulan giliran Jayanegara sebagai kepala regunya. Ia adalah putra dari Jaya Kusuma atau Ki Luwih. Jayanegara adalah kakak dari Wira Kusuma.
Dalam tugas malam itu, kelompok Jayanegara menjalankan patroli di jalan pinggiran Cikeusik. Setelah sampai di jembatan arah pedukuhan, di situ kelompok Jayanegara bertemu dengan sosok yang dibicarakan tadi, dari balik semak tiba-tiba melesat cepat sosok hitam. Dengan sigapnya Jayanegara melayangkan sebuah tombak besar, namun meleset. Dan hanya terdengar suara jatuhnya saja. Sementara sosok tadi melayang dan melesat di kegelapan malam. Hingga jelang pagi sosok itu tidak muncul.
Keesokan harinya, di pendopo sedang mengadakan rencana untuk menangkap sosok itu, si lungut.
" Bagaimana semalam patroli kelompok Jayanegara, apakah ada kabar Ki Pandanala ?" tanya Anggapala.
" Kebetulan belum dapat ditangkap Ngger, hanya saja putra ki Luwih itu menemukan saat melesat dari semak-semak di dekat jembatan," jawab ki Pandanala.
" Semoga saja nanti malam bisa kita tangkap ki," tegas Anggapala.
" Semoga saja, yang pasti kita akan perkuat kekuatan supaya bisa kita kepung Ngger," kata Pandanala.
Bersamaan dengan obrolan mereka, muncullah Nyai Kalis dari dalam kamar. Sambil duduk , ia berkata.
" Iya, seharusnya kita tambah kelompok lain supaya bisa dikejar dan saling menangkap, tinggal kita bentuk saja kelompok lainnya paman Pandanala," kata Nyi Kalis.
" Baik Nyi, akan saya atur nanti dan akan saya bentuk dari jajaran para kerani juga para beukeul di tiap pecantilan," tegas ki Pandanala.
Dalam obrolan untuk menangkap sosok si lungut, tiba-tiba terdengar suara gempita dari ujung jalan.
" Lungut kena....lungut kena....lungut tertangkap...lungut kena.....," begitu suara sekelompok orang yang datang. Mereka bersorak sambil menarik sebuah bongkahan seperti karung, bongkahan itu adalah lungut yang tertangkap, bentuknya seperti kelelawar besar dan tubuh lungut itu sebagian sudah tidak utuh. Kukunya kecil tapi tajam, dan ada taring kecil di mulutnya.
Setelah sampai di pendopo, sosok lungut itu kemudian diletakkan di alun-alun, dan di sisi lungut, sudah ada beberapa orang sedang menggali tanah. Sementara para petinggi pedukuhan mengelilingi lungut sambil mencari kelemahan hewan itu. Beberapa saat kemudian, lubang galian itu jadi, dan secara bersama-sama, warga Cikeusik memasukan lungut itu, lalu dikuburlah lungut itu.
Selesai acara itu, waktu sudah mendekati senja, masih banyak orang-orang yang duduk-duduk di alun-alun tersebut.
" Sebenarnya siapa yang menangkap lungut itu paman," tanya Anggapala kepada Pandanala.
" Saya dengar tadi ada yang menyebut nama Suranata Ngger, " jawab ki Pandanala.
" Siapa dia sebenarnya paman,?" tanyanya lagi.
" Suranata itu biasanya selalu berjalan bersama teman-teman kala waktu jelang Matahari terbenam dan ditandai dengan Lintang Raina di ufuk Barat, Suranata melakukan ritual itu karena ingin memilki ilmu Lintaran Ngger," kata ki Pandanala.
" Apa itu ilmu Lintaran paman ?" tanya Anggapala.
" Menurut apa yang ada di dalam kitab Kandhaga Giri, Lintaran itu dasar dari ilmu syaepi angin Ngger," katanya.