NovelToon NovelToon
Merayakan Kehilangan

Merayakan Kehilangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Raft

Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.

Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malaikat - 31

..."Kamu jangan nyerah, ya! Hidup 'kan cuman sementara aja. Bahagia pasti nyamperin kamu kok sebentar lagi. Semangat!" -R...

***

"Jadi, Ayah mau ngomong apa sama Angkasa?"

Entah perasaannya atau wajah Ayah terlihat lebih sendu dari biasanya. Mata bernetra coklat itu juga tak bersinar seperti kemarin ia terakhir melihatnya.

Bumi memang masuk ke dalam ruang kerja Ayah, tapi ia tidak duduk dan memilih untuk berdiri cukup jauh dengan lelaki yang pernah menjadi idolanya.

"Kamu masih marah sama Ayah?"

Astaga, Angkasa malas berbasa-basi sekarang.

Helaan napas panjang Angkasa keluarkan. Pertanyaan itu sudah jelas jawabannya, bukan?

"Ayah mau ngomong apa?"

Ayah tersenyum dan mulai mendekat ke arah Angkasa. Suara langkahnya menggema, membuat bising yang tak pernah Angkasa suka.

"Sa, ini rumah kita, termasuk rumah kamu juga. Kenapa setiap hari malah pulang ke rumah orang?"

Padahal Angkasa tau jika Ayahnya pasti mengetahui jawabannya. Lantas untuk apa ia memberi jawaban?

Karena Angkasa hanya diam, membuat Ayah menghela napas lelah dan mulai berbicara pada intinya.

"Mungkin kamu gak akan percaya, tapi Ayah nikah waktu Ibumu kritis itu karena keinginannya."

Angkasa masih setia mendengarkan. Ia tak ingin bertindak gegabah dengan memotong ucapan Ayah. Karena tujuannya datang kesini hanya untuk mendengarkan hal yang akan Ayahnya bicarakan.

"Ayah menolak keras waktu itu. Tentu saja Ayah ingin merawat Ibumu sampai sembuh. Tapi Ibumu terus memaksa dengan alasan kamu pasti butuh peran Ibu ketika dirinya tiada. Ibumu ingin memastikan jika pasangan Ayah adalah istri dan ibu yang baik untuk kita nantinya. Bahkan Ibu yang memilih sendiri kalau kamu mau tau. Dan pilihannya jatuh ke Ibu Rindu. Sahabat Ibumu, Sa."

Angkasa mengerutkan wajahnya, mulai merasa tak nyaman mendengarnya.

Ini Ayahnya sedang mengarang cerita atau memang benar adanya? Kenapa terdengar melankolis? Astaga..

Entah kenapa Angkasa tidak percaya begitu saja. Perkataan Ayahnya seperti sebuah dongeng yang selalu ia denger dari Ibunya ketika kecil dulu.

"Angkasa gak percaya sama cerita Ayah."

Mana mungkin itu keinginan Ibunya, ketika ia mendengar dengan jelas suara tangis yang begitu memilukan dari mulut Sang Ibu kala itu.

"Ini bukan cerita, Angkasa. Tapi memang nyata. Ibu sendiri yang menyuruh Ayah untuk menikah. Karena waktu itu, Ibu divonis jika umurnya tidak akan panjang."

Jika memang benar, kenapa harus menikah di depan Ibu dan dirinya waktu itu? Kesannya seperti ingin menyakiti saja.

"Apa Ayah tau kalau Ibu nangis setelah ijab qabul waktu itu? Apa Ayah tau gimana rasanya denger tangisan pilu Ibu waktu itu? Ayah tau, gak?!"

Ada kerutan tegas yang Angkasa keluarkan, juga nada bicara yang terdengar memilukan. Biar saja, biar Ayahnya tau bagaimana hatinya terluka karena pernikahannya dengan wanita yang tidak Angkasa kenal.

Kedua tangan Ayah terangkat menyentuh pundak Angkasa yang naik turun, karena napasnya yang mulai memberat.

"Angkasa. Kamu cuman liat Ibu waktu itu. Kamu kemana waktu Ayah teriak gak jelas di rooftop rumah sakit sambil nangis, karena gak rela Ibumu bakal pergi gitu aja?"

Karena Angkasa sudah tidak peduli kepada Ayah semenjak membuat Ibu menangis.

"Bukan cuman Ibu atau kamu yang terluka. Tapi Ayah juga."

Angkasa berusaha menemukan kebohongan dari mata Ayah yang terlihat sendu. Tapi sialnya ia tidak bisa menemukan itu.

"Terus kenapa Rindu bisa ada? Dia anak kandung Ayah, 'kan? Kalau emang Ayah terluka, kenapa gak setia jaga hati Ibu untuk gak menikah lagi? Bahkan sampai buat anak sama wanita itu? Gimana Angkasa bisa percaya? Kalau Rindu kalian buat dengan rasa cinta?"

Ayah menghela napas panjang. Dan Angkasa masih setia menunggu jawaban.

Ayah berdehem pelan sebelum memberi jawaban. "Kalau kamu sudah menikah, pasti mengerti."

Bibirnya terangkat membentuk senyuman miring. "Omong kosong." Lalu ia membawa seluruh tubuhnya untuk keluar dari rumah ini, lagi.

Angkasa kira ketika ia bicara dan menemukan fakta bisa membuatnya lebih tenang dan mulai memaafkan. Tapi nyatanya? Hatinya semakin terpuruk sekarang.

Ia menyesal mendengarkan omong kosong Ayah.

"Angkasa mau kemana lagi?"

Suasana hatinya sedang tidak baik, dan wanita ini bertanya di kala hatinya ingin memaki.

Angkasa menatap dingin wanita yang menjadi istri Ayahnya sekarang. "Penghancur rumah tangga orang. Ck." Ucapnya lalu kembali pergi.

Tentu saja ucapan Angkasa membuat hatinya tertohok. Bukannya Angkasa pulang untuk mengetahui masa lalunya? Lantas kenapa hati itu kembali membencinya?

"Kamu belum menemukan video Tamara yang waktu itu, Ka?"

Kebetulan suaminya datang. Ia benar-benar ingin tau mereka membicarakan apa saja barusan.

"Belum, tapi masih aku cari. Itu Angkasa kenapa kayak gitu lagi? Kamu ngomong apa aja sama dia?"

Helaan napas lelah terdengar dari bibirnya. "Percuma ngomong sama dia kalau gak ada buktinya. Kita harus cari dulu video Tamara biar Angkasa percaya."

Baiklah, ia mengerti. Makanya untuk menjawab ucapan suaminya ia mengangguk pelan.

***

Lalu lalang orang yang sedang mencari tempat perlindungan menjadi melodi indah di telinganya. Angin berhembus kencang menubruk wajahnya yang terlihat kusam. Juga awan hitam yang membuat cakrawala terlihat gelap di atas sana.

Kenapa semesta seakan mendukungnya untuk berduka?

Di trotoar jalan raya, tepatnya di depan toko pakaian yang tengah tutup menjadi tempatnya menenangkan diri sekarang. Kepalanya menunduk dalam dengan tangan yang ia silang sebagai tumpuan.

"Cita-cita Angkasa apa?"

"Angkasa pengen jadi dokter biar bisa sembuhin Ibu. Kalau cita-cita Ibu apa?"

"Ngeliat Angkasa bahagia. Jadi, Angkasa harus terus bahagia, ya? Supaya cita-cita Ibu bisa tercapai."

Angkasa masih ingat ucapan Ibu kala itu. Kalimatnya saja masih menggema di pikiran. Tapi sayangnya, Angkasa sudah tidak bahagia lagi. Jadi, cita-cita Ibu belum bisa tercapai.

"Kamu lagi apa? Kok disini, sih?"

Suara yang tiba-tiba terdengar di sampingnya membuat ia mengangkat kepalanya.

Rai duduk di sampingnya sekarang. Kapan Rai pulang? Bukannya ia sedang ada di Bandung?

"Lo sendiri ngapain disini?"

"Aku lagi nunggu Nanta beli makanan. Tapi karena lama dan sengaja liat kamu lagi bersedih, jadi aku kesini."

Angkasa menggeleng pelan. "Gue gak sedih."

Tapi Rai malah tertawa. Dan Angkasa tidak mengerti kenapa perempuan berkacamata ini malah tertawa? Memangnya kalimatnya lucu, ya?

"Bohong. Orang keliatan lagi sedih juga."

Sepertinya Angkasa tidak akan bisa membohongi Rai hanya dengan kata.

"Kamu kenapa? Lagi ada masalah apa? Mau berbagi sama aku?"

Angkasa diam. Ia tidak mau membagi masalah, gunanya untuk apa? Hanya membuat beban saja.

Rai yang melihat wajah Angkasa penuh dengan keragu-raguan hanya tersenyum simpul. Rai mengerti jika Angkasa tidak mau cerita, karena dirinya mungkin terlihat tidak bisa dipercaya.

"Aku emang gak tau masalah kamu apa. Tapi mencoba untuk berbagi gak ada salahnya."

Angkasa tetap tidak mau. Ia tetap bersikeras dengan diamnya.

"Rai! Udah ini, ayok!"

Mereka mengangkat kepala bersamaan ke arah Ananta yang berteriak kepada Rai dari dalam mobil.

"Ananta udah selesai. Aku pulang dulu, ya!" Pamit Rai sembari membersihkan belakang rok levisnya yang terkena debu ketika ia duduk barusan.

Dan Angkasa mengangguk pelan.

"Sesulit apapun masalah kamu, tetap jadi manusia waras, ya! Diluar sana banyak orang yang stress karena masalah yang mereka emban. Tapi sayangnya mereka gak mau tau kalau masalah itu pasti ada solusinya, pasti ada jalannya. Dan kamu harus selalu inget, kalau hidup ini, cuman cerita doang di dunia." Kalimat panjang Rai sebelum meninggalkan, mampu membuat dirinya merenung sekarang.

Ibarat panah yang tepat sasaran. Ya, kalimat Rai mampu memanah hatinya lebih dalam.

***

^^^30-Mei-2025^^^

1
Zαskzz D’Claret
mampir juga thor😁
Sky blue
Bikin kesemsem berat sama tokoh utamanya.
Febrianto Ajun
karyamu keren banget thor, aku merasa jadi bagian dari ceritanya. Lanjutkan ya!
Tít láo
Gemesinnya minta ampun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!