Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 23
Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya.
Langit gelap, awan berat menggantung di atas mansion keluarga Arther.
James berdiri di balik pepohonan besar, menatap pagar tinggi dan hitam yang mengelilingi bangunan mewah itu.
Lampu sensor berkelap-kelip.
Penjaga mondar-mandir setiap lima menit.
Kamera bergerak lambat, memindai area.
James menggenggam nafas.
“Ayah sudah menambah penjagaan…”
Ia menunduk, menatap lantai tanah yang lembap.
Ada bekas ban kendaraan besar di sekitar pagar belakang.
Mirip…
mirip dengan pola penjagaan militer.
James menaikkan kerah jaketnya, menutupi wajah bagian bawah.
Ia berjalan menepi ke sisi paling gelap dari pagar, tempat di mana pohon rimbun memayungi bagian atas.
Dari sini, ia bisa melihat sedikit halaman samping mansion.
Dan di sudut mata—
kamera baru.
Dipasang baru-baru ini.
Mengarah tepat ke jalur gelap tempat James biasa naik saat dulu kabur ke luar malam-malam.
“Dia tau,” gumam James pelan.
“Dia tau aku akan datang.”
James mengembuskan napas panjang.
Di kepalanya, wajah Hana muncul—
matanya yang ketakutan, lelah, dan selalu meminta maaf.
“Hana… bertahan sebentar.”
James memeriksa pagar.
Ia menemukan bagian yang paling tua, yang besinya penuh karat.
Ia memegang besi tersebut dan menekan perlahan.
Krkk…
Sedikit bergoyang.
Kalau ia memaksa, ia bisa lolos masuk.
Tapi… risiko tertangkap kamera tinggi.
James berpikir cepat.
Ia mengambil ponsel, menyalakan mode gelap, lalu memanfaatkan pantulan kecil dari kaca lensa kamera untuk membaca sudut geraknya.
Kameranya bergerak 90 derajat setiap 12 detik.
James menghitung dalam kepala.
12…
11…
10…
Begitu kamera mulai berputar meninggalkan area itu—
James menarik besi pagar dengan keras.
KRANGG!!
Besi itu patah.
Ia membuka ruang sempit itu dan masuk ke dalam seperti bayangan.
Satu kaki masuk.
Kemudian tubuhnya.
Sebelah tangannya masih memegang pagar untuk menyeimbangkan diri—
Ketika dari kejauhan, suara radio penjaga terdengar:
“Unit Beta, cek sisi timur—ada bunyi logam barusan.”
James langsung mematung.
Ia bersembunyi cepat di balik semak besar, menunduk, tubuhnya menempel tanah.
Dua penjaga berlari ke area itu.
Lampu senter menyapu rumput.
Lalu…
“Tidak ada apa-apa. Mungkin hewan.”
“Pastikan kamera menyala.”
James menggigit lidah.
Ini semakin berbahaya.
Soni jelas sudah memperketat semuanya.
Namun James hanya semakin yakin:
“Dia tahu Hana kabur.
Dan dia tahu aku akan datang.”
James menatap mansion besar itu.
“Kalau begitu… aku masuk.”
Ia mulai bergerak, merayap, menempel ke bayangan pagar.
---RAINA MENCARI BANTUAN
Raina duduk di bangku terminal, tubuhnya gemetar.
Ia tidak berani kembali ke rumah, tidak berani menelepon polisi, tidak berani kembali ke tempat James.
Soni mengejar James.
Soni mengejar dirinya.
Soni mengejar siapa pun yang tahu kebenaran malam itu.
Ia meremas ponselnya.
“Siapa…
siapa yang bisa menolong…?”
Nama pertama yang terlintas—
polisi?
Tidak.
Soni punya koneksi.
Dia bisa memelintir cerita dalam hitungan detik.
Keluarga?
Tidak.
Itu hanya akan membahayakan lebih banyak orang.
James?
Ia sudah berada di medan bahaya sendiri.
Dengan tangan gemetar, Raina membuka kontak ponselnya.
Satu nama membuat matanya berhenti.
Nama yang ia sudah bertahun-tahun tidak hubungi:
“Nathan Elroy”
Murid teladan,
anak wartawan investigasi terkenal,
dan dulu…
teman sekelas James.
Orang yang tahu banyak tentang keluarga Arther—
lebih dari siapa pun.
Raina menatap kontak itu, bibirnya gemetar.
“Aku… aku tidak punya pilihan…”
Ia menekan tombol telepon.
Nada sambung.
Sekali.
Dua kali.
Lalu seseorang mengangkat.
“Hallo?”
Suara laki-laki dalam, dewasa, namun masih punya nada dari masa sekolah.
Raina menutup mulut, menahan tangis.
“Na-Nathan… ini Raina…”
Hening sejenak.
Nathan terdengar langsung waspada.
“Raina? Apa yang terjadi? Kau menangis?”
Raina menarik napas tajam.
“Nathan… tolong aku.
Ini tentang James.
Tentang ibunya.
Tentang keluarganya… semuanya…”
Nathan tidak bicara selama dua detik.
Lalu suaranya berubah serius, tajam.
“Raina.
Katakan di mana kau.
Sekarang.”
Raina terisak.
“A-aku di terminal. Nathan… Soni mengejar James.
Dia… dia akan membunuhnya…”
Nathan mengumpat pelan.
“Aku sudah curiga sejak lama…”
gumamnya.
Lalu suara Nathan mengeras.
“Dengarkan aku, Raina.
KAU TIDAK BOLEH DI SANA.
Cepat pindah tempat.
Aku akan ke sana.
Dan setelah itu—kita selamatkan James.”
Raina terdiam.
“Beneran… kau mau bantu?”
Nathan tertawa kecil, getir.
“Dari semua orang di sekolah…
aku yang paling tahu siapa Soni Arther.”
Raina menutup mulut, tubuhnya bergetar.
“Terima kasih… Nathan…”
“Aku dalam perjalanan. Jangan mati.”
Telepon terputus.
Raina memeluk tasnya erat-erat, menahan ketakutan.
“Aku sudah memulai ini…
aku harus menyelesaikannya…”
---KEDUA JALUR MENDESAK
James mendekati sisi bangunan mansion, napasnya mengembun di udara malam.
Ia meraba dinding batu, mencari jalur naik.
“Aku datang, Hana…”
Sementara itu,
di ujung kota,
Nathan menghidupkan motornya, wajahnya muram.
“James… apa yang sudah kau masuki…”
Dan di dalam mansion—
di kamar lantai dua—
Hana menangis sambil memeluk dirinya.
“James… tolong jangan masuk…”
Tiga jalur.
Tiga bahaya.
Semua menuju titik yang sama.
Malam ini, takdir mereka bertemu.
Hujan tipis mulai turun ketika James menempelkan punggungnya pada dinding batu sisi mansion.
Udara lembap, dingin, dan sunyi—seperti malam sedang menahan napas untuk apa yang akan terjadi.
James memeriksa jalurnya sekali lagi.
Pagar sudah ia lewati.
Penjaga utama ia hindari.
Kamera ia lewati dengan timing sempurna.
Yang tersisa—
masuk ke dalam mansion.
James memandang ke arah balkon kecil lantai satu sisi timur.
Balkon itu menempel pada kamar tamu yang jarang digunakan.
Pagar kecilnya telah berkarat, beberapa bagian bahkan menganga.
“Balkon ini tidak pernah diperbaiki,” gumam James.
“Bagus.”
Ia melompat ke batu pijakan rendah, lalu ke pipa drainase yang menempel di dinding.
Pipa itu licin oleh hujan, tetapi James terbiasa memanjat sejak remaja.
Tangannya menahan licin.
Nafasnya cepat.
Kakinya mencari tumpuan.
Dum… dum… dum…
Hujan turun makin deras.
Saat ia mencapai balkon, ia menarik tubuhnya dan melompat perlahan ke lantai kecil itu.
Ia mendekatkan telinga ke pintu balkon kamar.
Hening.
Tidak ada penjaga di dalam.
James memutar gagang pintu dengan sangat pelan.
Klik.
Terkunci.
James memeriksa jendela geser kecil di sampingnya.
Jendela itu retak sedikit di bagian bawah.
Ia menekan retakan.
CRACK…
Kacanya bergeser setengah inci.
Cukup.
James memaksa jari-jarinya masuk ke sela, kemudian menarik pelan—sangat pelan—hingga jendela bergeser cukup lebar untuk tubuhnya masuk.
Ia masuk ke kamar tamu yang remang.
Kosong.
Berdebu.
James melangkah perlahan melewati karpet usang.
Saat ia menuju pintu keluar kamar—
—ia mendengar suara.
Sangat kecil.
Hampir seperti bisikan jauh.
“…ha…na…”
James berhenti.
Ia menajamkan telinga.
Suara itu samar, terputus-putus, seperti seseorang menahan tangis.
Ia berjalan lebih dekat ke pintu, memegang gagang perlahan.
Suara itu terdengar lagi, sedikit lebih jelas.
“…jangan… kembali… James… tolong…”
Napas James berhenti.
Itu suara Hana.
Lemah.
Takut.
Memohon.
James merasakan seluruh tubuhnya menegang.
“Hana…”
Tanpa memikirkan risiko, James membuka pintu sedikit dan mengintip ke koridor.
Koridor lantai satu—sepi.
Lampu redup.
Tidak ada penjaga yang terlihat.
James menahan napas.
Ia bergerak menyusuri koridor itu, menempel pada dinding, menghindari tempat-tempat yang terkena cahaya lampu.
Saat ia tiba di tangga menuju lantai dua, ia mendengar langkah kaki penjaga.
James langsung bersembunyi di balik panel kayu besar.
Dua penjaga lewat sambil berbicara pelan:
“Kata Tuan Soni, pengawasan lantai dua dilipatgandakan.”
“Karena istrinya kabur tadi.”
“Dia menemukan jalurnya lagi?”
“Sepertinya begitu.”
James menggigit rahang, tangan mengepal.
Hana mencoba kabur… dan Soni menangkapnya.
Begitu para penjaga menjauh, James naik tangga perlahan, setiap langkah ia injak seolah menahan gempa di dalam hatinya.
Ketika mencapai lantai dua—
suara lembut itu terdengar lagi.
Tangis tertahan.
Seseorang memanggil nama yang sama berulang-ulang.
“…James… jangan datang… tolong…”
James merasa dadanya retak.
Ia tahu suara itu berasal dari kamar Hana.
Ia berjalan lebih dekat…
pelan…
hati-hati…
Dan ketika ia berada tepat di ujung koridor—
Ia melihat sesuatu.
Seorang penjaga berdiri tepat di depan pintu kamar Hana.
Penjaga itu tampak siaga.
Seolah ia diberi perintah khusus untuk tidak bergerak sejauh satu langkah pun dari pintu itu.
James memaki dalam hati.
Ia tidak bisa maju.
Dia tidak bisa menyerang penjaga begitu saja—suara jatuh akan memanggil seluruh mansion.
Tapi ia juga tidak bisa mundur.
Karena suara tangis dari dalam kamar itu semakin jelas,
menusuk setiap inci emosinya.
“…James… jangan biarkan dia menemukanmu…”
James menutup mata sejenak, mengatur napas.
“Hana… aku tidak akan pergi.”
Ia membuka mata, tatapannya tajam.
Ia mulai mempelajari pola penjaga.
Jarak langkah.
Pergerakan mereka.
Sudut penglihatan.
Dan—di dinding samping kanan, beberapa meter dari kamar Hana—
ada pintu kecil dengan tanda:
RUANG SERVIS — KE LANTAI 3 & 2
Tangga sempit untuk teknisi.
Terhubung ke belakang kamar-kamar.
Termasuk kamar Hana.
James menghitung kemungkinan.
“Lantai tiga…
dari situ ke belakang kamar Hana…”
Ia melihat penjaga kembali menatap lurus ke depan, bosan.
James membuat keputusan.
Ia akan masuk lewat belakang.
Tanpa suara.
Tanpa konfrontasi.
James menoleh sekali lagi ke arah pintu Hana…
di mana suara itu masih memanggil namanya.
Ia berbisik pelan, hampir tanpa suara:
“Aku di sini… Hana.
Tunggu aku.”
James membuka pintu ruang servis dan masuk ke dalam gelap.
Tanpa sadar…
Ia naik ke lantai yang sama yang baru saja dipakai Hana untuk melarikan diri.
By Eva
21-11-25