Shana bersedia menjadi pengganti bibi-nya untuk bertemu pria yang akan di jodohkan dengan beliau. Namun siapa yang menyangka kalau pria itu adalah guru matematika yang killer.
Bagaimana cara Shana bersembunyi dari kejaran guru itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31 Motor yang tidak asing
Lampu cafe padam. Acara hanya berjalan hingga jam 11 ketika cafe tutup. Tidak ada tambahan jam karena itu kebijakan dari manajemen cafe.
"Sialan itu perempuan," geram Shana di luar cafe. Meski keadaan sudah kembali normal, tapi Shana sebenarnya masih jengkel. Karena dia yakin kejadian tadi bukan salahnya.
"Kenapa tadi enggak bilang kalau perempuan itu sialan, Shan?" Mia yang baru tahu cerita sebenarnya ikut marah.
"Karena aku lagi mode cari duit. Menahan diri." Shana tahu posisinya sekarang.
"Sialan banget pakai ngerjain segala. Emangnya kamu kenal? Kok dia punya Niat ngerjain kamu?"
"Enggak. Sama sekali enggak kenal, tapi ... Kalau enggak salah perempuan yang satunya aku pernah lihat." Shana sempat ingat soal selebgram yang menghentikan pembullyan tadi.
Mia antusias. "Siapa?"
"Kalau enggak salah selebgram, Cintya."
"Cintya Suherman yang papanya dulu punya perusahaan besar terus bangkrut karena selingkuh itu?" tanya Mia ingat. Nih bocah memang suka banget lihat konten gosip.
"Aku enggak tahu. Pokoknya dia Cintya yang cantik itu." Shana memang kurang update soal gosip artis.
"Kayaknya tadi emang aku lihat dia sih, tapi ku pikir enggak mungkin. Kan dia ada syuting endorse di kota lain. Itu yang aku lihat di sosial medianya sih. Bisa jadi sudah pulang, soalnya sudah beberapa hari yang lalu." Mia mengikuti berita terkini memang.
"Mungkin. Pokoknya karena dia, tuh orang berhenti ngerjain. Juga, cafe terselamatkan dari berita negatif yang viral."
"Dia lumayan baik ternyata." Mia mengangguk mengerti. "Ada Vino," bisik Mia ketika melihat cowok itu muncul dari pintu belakang cafe. Shana menggeleng, memberi tanda kalau ia tidak ingin ada pembicaraan soal cowok itu. Mia hanya mengikuti saja tanpa tahu ada apa.
"Kalian belum pulang?" tanya Vino heran melihat cewek-cewek masih pada ngumpul di dekat area parkir.
"Ya nih belum." Mia merasa harus menjawab karena itu adalah sebuah tata krama. Sementara Shana diam.
"Enggak bawa motor? Kok masih di sini?" Vino bertanya lagi karena ia tidak melihat kedua gadis ini punya niatan untuk ke tempat parkir.
"Bawa kok. Kebetulan aja masih belum pulang." Masih mulut Mia yang menjawab. Shana masih diam meski tidak menunjukkan wajah enggan.
Drrt. Ponselnya bergetar. Shana mencoba mengintip ponsel yang sejak tadi terabaikan. Ternyata bibi Raisa mengirim pesan. Di lihat dari riwayat panggilan, ternyata beliau sudah sejak tadi meneleponnya. Ada tiga panggilan tidak terjawab dari nomor kontak bibinya.
Ujung mata Vino melirik Shana yang berkutat dengan ponselnya.
"Dia bawa motor juga?" tanya Vino lebih pelan sambil menggerakkan dagunya menunjuk Shana. Dia tahu gadis itu tengah fokus pada ponselnya.
"Enggak, dia nebeng aku."
"Kalau gitu kita pulang bareng aja. Kan sudah malam, jadi kalian ada temennya." Ini adalah bentuk rasa khawatir dari seorang cowok. Vino menunjukkannya dengan baik. "Aku bisa jalan di belakang motor kalian."
Mia sih oke aja, tapi dia tidak tahu dengan Shana. Karena yang ia tahu, Shana tidak terlalu ingin dekat dengan Vino.
"Shan." Mia menyenggol lengan Shana.
"Ya?" tanya Shana. Dia terlalu fokus pada pesan bibinya hingga tidak tahu percakapan terakhir Mia dan Vino.
"Vino ngajak pulang bareng." Mia yakin Shana tidak mau, tapi menurutnya itu bukan hal buruk. Toh, Vino bisa jadi jagain mereka juga.
Shana menoleh pada Vino. Dahinya sedikit mengerut.
"Entar dia jalan di belakang kita," ujar Mia meluruskan. Karena melihat ekspresi Shana, sepertinya gadis itu berpikir Vino menawarkan untuk mengantarkan dirinya.
"Terserah."
"Oke. Aku ambil motor dulu. Kamu enggak ambil motor juga?" Vino mengingatkan pada Mia. Karena dia tahu tadi yang bawa motor Mia bukan Shana.
"Kuncinya ada di dia." Mia menunjuk Shana yang ada di sampingnya.
"Oh. Aku ambil motor dulu ya," pamit Vino. Mia mengangguk.
Shana kembali melanjutkan membaca pesan bibinya.
"Bibi pulang sebentar lagi. Jangan bikin ulah nanti aku bawakan es krim sekotak." Pesan berikutnya langsung terkirim. Mungkin melihat pesannya di buka, bibi Raisa langsung mengirim pesan selanjutnya.
"Kenapa?" tanya Bebi penasaran.
"Aku pikir bibi Raisa marah karena aku belum pulang. Ternyata dia juga belum pulang, malah pamit pulang entaran." Shana tergelak lagi.
"Kamu enggak pamit ya, sama bibi mu."
Kepala Shana menggeleng. "Kalau tahu bisa-bisa bibi ngomel."
"Oh ya? Bukannya bibi Raisa yang buat kamu di kejar sama Pak Regas." Mia sekedar mengingatkan betapa supernya bibi Shana.
"Iya juga ya ..." Shana merasa Mia benar. "Mungkin aja bibi malah seneng ya, aku cari uang biar buat tambahan saku."
"Bisa jadi." Mia menimpali.
"Hehehe." Shana terkekeh.
"Cepat ambil motor gih. Aku mau pulang," pinta Mia. Shana awalnya ragu, tapi dia harus patuh karena lagi nebeng.
"Iya ... Bos." Shana pun melangkah menuju area parkir. Disana Vino sudah di atas motornya. Awalnya Shana ingin memalingkan muka, tapi ketika merasa ada yang janggal ia menoleh lagi. "Motor itu kok g asing? Apa aku sering lihat di tempat parkir ya?" gumam Shana.
Dia tidak ingat bahwa motor milik Vino pernah di bawa oleh Pak Regas. Waktu itu tidak sengaja ketemu di minimarket. Bahkan dia juga bergumam yang sama. Motor itu tidak asing.
***
Motor Shana dan Vino berjalan di atas aspal yang mulus beriringan. Meski tidak benar-benar di samping, tapi bola mata tidak luput dari memantau mereka yang ada di depannya.
"Vino keren banget ya mau ngejagain kita," ucap Mia pada Shana dengan sesekali melirik cowok itu di belakang. Karena jalanan yang mereka lalui tidak begitu ramai, Mia tidak perlu berteriak untuk bisa mengobrol dengan Shana yang mengendalikan motor di depan.
"Hmmm ...," sahut Shana kurang antusias. Mia melirik belakang kepala Shana dengan bibir terlipat heran.
Sebenarnya dia selalu heran kenapa temannya yang satu ini enggan untuk akrab dengan pemain basket itu. Padahal banyak cewek yang mengaguminya.
"Kelihatan dendam banget sama Vino. Dia punya salah ya?" Mia tengah mengulik. Dia sungguh penasaran.
Shana agak terkejut dengan pertanyaan Mia. Dia tidak segera menjawab.
"Apa karena terlalu sok dekat?"
"Ya begitulah." Shana punya jawaban yang pas.
"Padahal asyik juga lho di perhatiin cowok cakep, tapi kalau dia belum punya pacar." Buru-buru Mia meralat pernyataannya.
Shana tergelak.
"Karena enggak mungkin juga cowok cakep nganggur, kan ..." Mia kembali pada kenyataan.
Tin! Vino membunyikan klakson. Shana melihat ke arah kaca spion di sebelah kanannya. Ia melihat Vino memberi kode untuk melambat. Mia yang mendengar klakson itu juga menoleh.
"Apa?!" tanya Mia. Motor mereka melambat.
"Aku mau ke pom bensin dulu," sahut Vino.
"Dia mau ke pom bensin." Mia menyambungkan ucapan Vino. Padahal Shana juga bisa mendengarnya.
"Katakan padanya kita pulang saja lebih dulu," ujar Shana.
"Ah Ok." Mia mengangguk. Lalu ia menoleh pada Vino. "Kita pulang dulu aja, Vin."
Vino sebenarnya masih ingin bareng,tapi tidak mungkin dia memaksa untuk tetap bareng kan?
"Oke. Hati-hati." Vino mengangkat satu tangannya dan membelokkan motornya ke sebelah kiri. Mereka berpisah di pertigaan.
keep fighting 💪