Sebelum lanjut membaca di sarankan membaca (Terjebak pernikahan dingin) kali ini menceritakan pasal pernikahan kedua yang mangakibatkan banyaknya prahara dalam rumah tangga Raditya bersama kedua istri. Memiliki dua wanita sekaligus tidak lantas membuat Raditya bahagia, justru akan membuatnya terjerat benang mereh. Dan bagaimana proses yang harus di lewati Liona selaku istri pertama? lalu sikap apa yang akan Zahra perlihatkan sebagai istri kedua Raditya? ikuti terus kelanjutkan kisah mereka, jangan sampai lupa like and tanda hatinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Nur Hastaman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidup Baru Dimulai
Beberapa bulan kemudian. Seperti hari sebelumnya Liona sering mengunjungi makam Raditya sekedar mengirim doa dan mencurahkan semua isi hatinya. Namun bebarapa bulan bekalangan ini Liona sudah jarang sekali mengunjungi makam Raditya, di karenakan Kehamilan kian bulan semakin membuatnya membatasi gerak fisik. Sedikit saja beraktivitas sudah membuatnya mudah lelah. Selama ini Liona berjuang sendiri tanpa adanya seorang suami di sampingnya. Sesekali pernah terasa begitu berat melangkah tanpa kehadiran Raditya. Meski begitu hidup harus tetap berjalan. Dengan atau tanpa sosok suami Liona berusaha menghadapi dunia demi sang buah hati dalam kandungan. Sekarang dia tersadar bahwa masih ada sosok Raditya di dalam perutnya. Sebagai pengobat kerinduannya dengan sang suami. Jangan pernah kesedihan menguasai diri seseorang sekalipun kehilangan orang paling berharga. Sesulit apapun itu hidup harus tetap berjalan sampai kita temukan makna hujan kemarin. Hujan hanya akan menghapus jejek mereka tapi tidak dengan kenangannya.
"Malam ini aku merindukan kamu, mas. Sangat, snagat, merindukanmu" Semua kenangan tentang mereka tertinggal di seluruh rumah, terutama di dalam kamar. Di pandanginya temlat biasa Radditya tidur di sampingnya. Sampai sekarang Liona masih mengosongkan tempat itu dan hanya meletakkan kenangan sang suami di atas sana. Setiap malam sebelum tidur ia selalu beebicara dalam hati berharap suaminya hadir di dekatnya sambil berkata (Selamat malam sayangku), namun semua hanya khayalan semata.
Terkadang apa yang tidak kita lihat ternyata berada sangat dekat dengan kita. Raga mungkin tak lagi dapat di sentuh tapi kehadirannya masih bisa di rasakan. Cintanya masih mengalir seiring waktu berjalan. Ketika hati mulai tidak bisa mengontrol rasa rindu itu sendiri maka bayangan yang senantiasa akan menemani. Liona kerap kali memeluk dirinya sendiri sembari memejamkan mata, membayangkan saat sang suami memeluknya penuh kasih, mengayun perlahan bersama mengikuti irama hati, hingga pada ahkirnya Liona membuka mata dan rindupun mulai berkurang.
"Meski ragamu tak lagi dapat kusentuh tapi aroma tubuhmu masih tertinggal di kamar ini, mas" Menggapai sebuah bantal di mana Raditya biasa tertidur dia atasnya. Sejak kepergian Raditya ia selalu mengingat malam terakhir suaminya tidur. Mereka saling bercerita tentang masa depan anak mereka, sampai merancang segala hal untuk menyambut si jabang bayi. Tak pernah terpikirkan olehnya jika malam itu adalah malam perpisahan bagi mereka.
"Di kamar ini dulu kamu pernah berjanji tidak akan meninggalkan aku dan anak kita, tapi pada kenyataannya Dunia tidak merestui kita untuk menua bersama." Kesedihan nampak begitu jelas dari wajah ayu Liona. Air mata hampir luluh lantah namun berusaha ia tahan sekuat tanaga. Dalam kondisi seperti sekarang doa adalah jamu paling manjur untuk mengobati rasa rindunya. Hingga pada akhirnya tanpa di sadar air mata jatuh perlahan "Fisik tak lagi dapat kulihat tapi kehadirannya selalu dapat kurasakan. Setiap malam angin membelai wajahnya seolah kau ada bersamaku. Seruan bintang di atas sana membuatku tersenyum seolah kau menyapaku dalam lamunan malam. Suamiku.... tiada henti kulantunkan doa untukmu sebagai tanpa cinta kasih dari istrimu" Dinginnya malam tak merentuhkan diri Liona untuk termangu di depan jendela kamar sembari menatap langit penuh bintang. Kala malam tiba rindu mulai menyelusup membuatnya ingin sekali lagi bertemu sang suami, meski lewat mimpi sekalipun akan terasa nyata dan bisa mengobati rasa rindunya.
"Liona sayang buka pintunya, nak" Suara ibu Rohaya membuyarkan lamunan.
Segera menyeka air mata lalu berusaha baik baik saja "Masuk saja buk pintu tidak di kunci" Jawab Liona.
Beliau lalu masuk dengan membawa segelas susu ibu hamil "Kenapa mengurung diri di kamar? ibu perhatikan akhir akhir ini sering sekali mengurung diri, smapai kamu sering lupa minum susu kan...." Perlahan mendekat lalu memberikan segelas susu kepada Liona. Meski Raditya sudah tiada tapi ibu Rohaya meminta Likna tetap tinggal di ruamh itu sampai riba saatnya Liona berkeluarga lagi.
Menerima susu buatan sang ibu mertua "Terima kasih ya buk sudah mau repot buatin susu" senyum tipis terulas di bibir cantik Liona.
Ibu Rohaya menyentuh perut buncit Liona "Tidak repot sama sekali, justru ibu senang bisa merawat kamu dan cucu ibu ini. Dengan merawat kalian ibu jadi kembali teringat mas Raditya masih dalam kandungan dulu, dia begitu aktive sampai badan ibu sering pegal pegal di buatnya. Terus kalau ibu lagi rebahan pasti dia nendang nendang gitu nggak boleh ibunya tidur" Sambil tersenyum mengingat kenangan masa lalu.
"Sepertinya Raditya junior kita juga mewarisi sifat ayahnya. Badan Lion makin ke sini makin begah buk susah gerak, bahkan mau tidur saja susah ambil posisi" Sambil mengelus pelan erut buncitnya.
Melihat senyum Likna seketika saja wajah Ibu Rohaya terlibat bersedih. Senyum palsu berganti air mata yang buru buru ia hapus "Aduh jadi melo deh. Maaf ibu jadi keingetan waktu hamil Dia dulu" Biarpun air mata di tutupi seribu senyuman sekalipun akan tetap menjadi sebuah luka.
Liona menyentuh tangan sang ibu lalu meletakkan pada perut buncitnya "Raditya kecil sebentar lagi lahir, buk. Dengan hadirnya dia nanti kerinduan kita terhadap mas Raditya akan berkurang. Bukankah ibu pernah bilang sama Liona kalau di setiap langkah kita mas Raditya akan selalu ada" Jujur saja Liona sangat tersiksa setiap kali harus mengingat kalau Raditya telah tiada untuk selama lamanya. Namun, dia tidak akan lemah di hadapan seorang wnaita yang telah melahirkan sosok suaminya tersebut. Jika di banding dengannya Ibu Rohaya jauh lebih kehilangan. Pasalnya seorang anak adalah sebagian nyawa.
"Benar kata kamu, nak. Dialah Raditya kecilku yang akan selalu kujaga sampai tua nanti. Tangan ini nantinya akan menggendongnya seperti pertama kali Raditya terlahir kedunia" Menyentuh kepala Liona lalu memcium keningnya "Terima kasih telah memberikam ibu penganti Raditya, ibu janji akan menjaga kalian seperti anak kandung ibu sendiri"
Mereka saling berpelukan untuk waktu yang lama.
(Mas.....lihatlah sebentar lagi anak kita akan lahir kedunia pasti dia akan mirip sekali dsnganmu) Gumam Liona dengan memandangi foto suaminya yang masih menggelantung di dinding kamar. Tatapan berlaih pada sebuah bingkai di atas meja rias, foto pernikahan mereka masih terpasnag rapi di sana (Tunggulah anak dan istrimu di pintu surga)
"Oh iya Liona ibu may tanya pasal peemintaan terakhir suamimu, apa kamu tidak mau memenuhinya? Biar bagaimana semua itu adalah amanah yang harus kamu jalani" Beberapa bukan lalu sewaktu berada di rumah duka, beliau menerima ponsel milik Raditya. Seelah beberapa hari kepergian sang putra, Beliau iseng melihat galeri ponsel milik Raditya. Niat awal hanya untuk melihat lihat kenangan apa saja di dalam ponsel tersebut, hingga pada suatu ketika beliau meljhat ada sebuah rekaman suara lalu beliau memutar rekaman tersebut. Dengan nafas menderu seolah menahan sakit Raditumya berpesan jika nanti nayatanya tidak tertolong maka dia meminta Liona untuk menikah dengan Dokter Bramantio, sebab Raditya yakin Bramantio adalah sosok laki laki baik yang akan mengemban tanggung jawab kedepannya.
Mengingat rekaman suara itu membjat hati Liona terasa sangat sakit. Ia bangkit lalu berjalan sedikit menjauh "Mohon maaf buk bukan Liona tidak mau memenuhi amanah dari mas Raditya, hanya saja Liona masih belum siap. Lagi pula belum tentu Bram mau menikahi seorang wanita hamil sepertiku" Menundukkan pandangan sampai air mata kembali jatuh perlahan.
Ibu Rohaya tau tidak mudah bagi Liona menerima orang baru dalam hidupnya, tapi pesan terakhir harus ia jalani sesuai permintaan almarhum.
"Liona anakku, ibu tidak akan mamaksamu untuk menikahi siapapun. Tapi, ibu sekedar mengingatkan pesan terakhir dri suamimu itu pasti ada maksud baik. Lekaslah buka hatimu untuknya, nak. Jangan terlalu lama menutup sebuah pintu nanti pintunya bisa rusak di makan lapuknya usia" Ucap Ibu Rohaya.
"Liona butuh waktu sendirian buk, maaf ya biatkan Liona sendirian di kamar" Sambil menguspa air matanya.
"Baiklah kalau begiti ibu keluar ya" menepuk pundak Liona "Pikirkan nasib anak dalam kandunganmu jangan biarkan dia lahir tanpa adanya seorang ayah. Lekas pikirkan hal itu, Nak" Segera beliau keluar dari kamar Liona.
Hampir sepanjang malam Liona terjaga memikirkan pesan terakhir suaminya. "Tidak mudah bagiku untuk menerima orang lain masuk dalam hidupku....." lirihnya sambil memiringkan badan melihat sisi ranjang nan kosong "Kenapa harus kamu peegi secepat itu mas"
Perlahan lahan mata mukat tertutup rapat. Bayangan Raditya kembali terlintas. Dalam gelapnya pandangan ia melihat sosok Raditya berjalan mundur sembari melambaikan tangan. Senyumnya perlahan mulai menghilang dan berganti dengan wajah Bramantio.
"Tidak.....mas jangan tinggalkan aku, jangan pergi mas aku mohon" Liona mengigau memanggil nama suaminya.
Malam mulai berganti pagi, suasana pagi nampak seperti biasa.
Tok, tok.....
Suara pintu di ketuk dari luar "Ya sebentar...." Liona kesulitan ketika hendak bangkit dari posisinya sekarang. Perut kian hari kiam membesar menjadikanmya sulit bergerak bebas.
Tak berapa lama ia pun membuka pintu rumah "Bram....sepagi ini kamu sudah ke sini, memangnya tidak kerja?" Melihat jam dinding masih menunjukkan pukul tujuh pagi.
Bramantio tersenyum lalu melenggang masuk ke dalam rumah, seperti biasa dia datang dengan membawa buah tangan. Liona mengikutinya sampai ke ruang tamu "Aku sudah bilang utamakan pekerjaan kamu "Melihat wanitanya terus mengoceh membuat Braman menatapnya penuh cinta. Melihat wajah cantik khas wanita hamil "Bawel sekali ibu mudaku ini..." mendekati Liona sembari mencubit hidungnya.
"Apaan sih Bram kebiasaan deh"
"Udah sini duduk (Menepuk kursi di dekatnya) aku bawakan kamu bubur kacang merah dan sup ayam jagung" Membuka buah tangan yang tadi dia bawa.
Liona duduk lalu melihat begitu banyak makanan yang Bramantio bawakan untuknya "Astaga....banyak sekali makanannya, mana sanggup aku menghabiskan semua makanan ini" Merasa heran setiap kali Bramantio datang pasti membawakan makanan sehat untuknya.
"Hari ini kamu harus makan banyak supaya nanti wakri periksa anak dan ibunya sehat" Senyum Bramantio melembar indah.
"Oh iya aku lupa hari ini ada jadwal cek ke dokter Windy ya...."
Bram menaikkan alis "Kebiasaan lupa udah kaya oma oma saja" Celetuk Bramantio di balas pukulan kecil oleh Liona.
"Enak saja kalau bicara...." Mereka nampak bercanda ria.
sekarang wanita tangguh2 sentil buang😏