NovelToon NovelToon
CINTA WINARSIH

CINTA WINARSIH

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat
Popularitas:15.3M
Nilai: 4.9
Nama Author: juskelapa

Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.

Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.

Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.


Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?

Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?

***

"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"

Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.

update SETIAP HARI
IG @juskelapa_

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4. Keluarga

Pak Padmo; ayah Winarsih telah meninggal empat tahun yang lalu saat gadis itu masih berusia tujuh belas tahun. Ayahnya meninggal setelah 3 tahun berjuang dengan penyakit strokenya. Berbagai upaya mereka lakukan untuk mengobati sang ayah untuk bisa sembuh dari penyakit itu. Baik pengobatan medis maupun tradisional.

Setiap hari senin pada minggu kedua dan keempat, Winarsih membawa ayahnya ke rumah sakit daerah yang berpuluh kilometer jaraknya dari desa mereka. Juga berbagai metode pengobatan tradisional yang direkomendasikan para tetangga di desa-desa sekitar telah mereka datangi. Tapi hasilnya nihil. Sang ayah masih terbaring tak berdaya.

Hingga hari ke hari harapan mereka semakin berkurang. Yang awalnya mereka berharap Pak Padmo dapat sehat segar bugar seperti sedia kala, kini mereka hanya berharap sang tulang punggung keluarga itu dapat duduk menggerakkan tangan serta menyendokkan makanannya sendiri ke mulut.

Lama melihat Pak Padmo terbaring, lama-kelamaan Winarsih hanya berharap ayahnya dapat tersenyum menyambut mereka setiap pulang ke rumah di sore hari. Senyum teduh ayahnya pasti bisa menghilangkan rasa letihnya setelah seharian bekerja di bawah terik matahari, pikirnya saat itu.

Semua pengobatan Pak Padmo ketika itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Uang tabungan yang tadinya mereka sisihkan untuk membawa Yanto menjalani terapi di kota, perlahan-lahan mulai menipis. Sepetak sawah milik keluarga mereka tidak menghasilkan secara maksimal karena terlalu sering dianggurkan.

Winarsih dan ibunya sibuk mengurus Pak Padmo yang sakit dan Yanto yang belum mandiri karena down syndrome-nya. Hingga pada akhirnya sedikit demi sedikit hutang keluarga mereka pada tengkulak kaya pun semakin menggunung.

Bu Sumi harus melepaskan satu-satunya sawah sumber mencari nafkah mereka kepada Pak Harto, tengkulak terkaya di Desa Beringin. Uang sisa penjualan sawah bahkan hanya tersisa sedikit dan tak bertahan lebih dari empat bulan di dompet mereka. Semuanya telah habis untuk biaya pengobatan Pak Padmo dan biaya makan sehari-hari.

Setelah Pak Padmo meninggal, Bu Sumi kembali bekerja di sawah itu. Tetapi bukan sebagai pemiliknya lagi, melainkan hanya sebagai pekerja harian yang dipanggil saat si empunya sawah membutuhkan tenaga.

Beberapa kali Winarsih melihat ibunya memandang dengan tatapan muram ke arah lahan sawah yang dulunya milik mereka itu. Tiap ditanya apakah ibunya menyesal telah menjual sawah itu, jawabannya selalu sama. Ibunya tak pernah menyesal.

Meski begitu, Bu Sumi selalu mengatakan bahwa sawah itu adalah hasil kerja keras ayahnya. Jika memang pada akhirnya mereka harus kehilangan sawah itu, Bu Sumi menganggap bahwa jodoh mereka memiliki sawah itu hanyalah sampai di situ. Bu Sumi tak akan menyesal jika sawah itu pada akhirnya bukan menjadi miliknya lagi.

Meski begitu, Winarsih berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa suatu hari dia akan mengembalikan sawah itu kepada ibunya. Sawah itu sudah seperti anak kandung bagi kedua orang tuanya. Mereka merawat dan mengolah lahan itu dengan penuh kasih sayang. Rumah tangga orang tuanya dimulai dari sepetak sawah itu. Bahkan usia sawah itu lebih tua dibandingkan usia Yanto yang baru empat belas tahun.

******

Setelah kepergian Pak Padmo, kini keluarga Winarsih hanya tersisa Ibu dan adiknya yang penyandang Down Syndrome, Yanto.

Yanto yang terlahir istimewa dengan kelebihan kromosom turut membawa penyakit jantung bawaan. Dokter yang pernah memeriksa Yanto semasa bayi mengatakan kalau jantung Yanto memiliki dua kebocoran. Hingga semasa awal kehidupan Yanto, berkali-kali dia disangka meninggal karena sering diam membiru. Berat badannnya pun tak seperti anak seusianya. Umur dua tahun berat badan Yanto pada saat itu hanya delapan kilogram.

Keterbatasan dana dan minimnya waktu yang dimiliki orangtua Winarsih untuk membawa Yanto berobat ke rumah sakit di kota saat itu, membuat mereka pasrah akan nasib si anak bungsu.

Tapi nyatanya, Yanto yang dikira tak akan berumur panjang, malah bisa hidup nyaris normal hingga sekarang. Lagi pula, usia manusia hanya Tuhan yang tahu bukan?

Meski Yanto adalah seorang anak penderita Down Syndrome, sehari-hari Yanto bekerja mengambil upahan untuk mengupas kayu manis. Setiap pagi petani kayu manis mengantarkan beberapa keranjang berisi kayu manis yang harus dibersihkan dengan pisau.

Kayu-kayu manis itu disortir dan dibersihkan oleh para penduduk desa yang mau mengambil upahan. Upah satu kilo membersihkan kayu manis itu seribu rupiah. Dan upah itu akan dibayarkan keesokan paginya saat kayu manis yang telah dibersihkan diambil dan sang petani mengantarkan kayu manis yang baru.

Winarsih awalnya tak mengizinkan adiknya itu turut mengambil upahan membersihkan kayu manis karena khawatir Yanto bisa terluka saat menggunakan pisau.

Tapi saat melihat betapa tekun dan rajinnya Yanto bekerja, Winarsih jadi urung melarangnya. Apalagi Yanto sering ditinggalkan sendirian di rumah, remaja itu tak memiliki teman hingga Winarsih merasa mengambil upahan mengupas kayu manis itu baik untuk adiknya.

Yanto jadi memiliki kesibukan yang digemarinya. Dan melihat kilau kebanggaan di mata Yanto saat memberikan upah bekerjanya kepada ibu mereka pada tiap akhir minggu, Winarsih sangat bahagia.

******

Sudah memasuki hari keempat Winarsih bekerja di kediaman mewah keluarga Hartono. Dalam beberapa hari itu dia merasa betah-betah saja. Semua pegawai wanita yang bekerja di sana rata-rata berusia hampir setengah baya dan dinilainya cukup ramah atau setidaknya bersikap biasa saja kepadanya. Tak ada yang berbisik-bisik atau melengos di hadapannya seperti setiap kali dia berbelanja di salah satu warung di Desa Beringin.

Tak ada seseorang yang sikapnya terasa mengganggu di rumah itu. Yah setidaknya jika seorang tukang kebun atau pembersih kolam renang menggodanya, Winarsih hanya menganggap itu hal yang biasa. Karena di desanya pun, dia kerap bertemu dengan para pria yang iseng. Winarsih sudah tak menganggap itu sebagai bagian dari gangguan.

Asisten rumah tangga yang bekerja di dalam rumah Pak Hartono berjumlah enam orang. Tiga orang termasuk Winarsih, Mbah yang sudah tua dan merupakan pembantu dapur yang paling lama bekerja, serta seorang lagi, wanita paruh baya yang bernama Tina. Meski cocoknya dipanggil ibu, Tina ngotot tetap ingin dipanggil Mbak oleh Winarsih. Mungkin wanita yang baru saja menjanda itu ingin tampil lebih muda.

Sehari-hari merekalah yang mengurusi segala urusan dapur di rumah itu. Termasuk memasak makanan untuk seluruh pegawai yang bekerja di sana.

Tiga orang pegawai lainnya yang bertugas di dalam rumah ada seorang remaja pria dan dua orang wanita yang membersihkan seluruh ruangan dan mengurusi pakaian para majikan.

Sejak tiba di rumah itu, Winarsih tak pernah bertemu dengan pegawai bagian kebersihan rumah dan laundry. Letak kamar Winarsih yang berada di sayap kiri, sangat dekat dengan dapur dan halaman belakang yang berbatasan dengan kolam renang. Dari pintu kamarnya, Winarsih bisa menuju dapur hanya dengan melintasi kebun kecil. Hal itu membuat dia sama sekali tak pernah masuk ke ruang tamu maupun ruang keluarga.

Jarak terjauh kaki Winarsih melangkah di dalam rumah adalah ruang makan. Itu pun Winarsih memasuki ruang makan hanya sekali saat Tina sedang meriang dan wanita itu melimpahkan tugasnya pada Winarsih atas persetujuan dari Mbah. Winarsih membereskan bekas makan keluarga Hartono saat meja itu telah kosong.

Kebiasaan keluarga itu mulai makan bersama adalah saat semua makanan dan peralatan makan telah selesai diatur. Bu Amalia, sang nyonya rumah tidak menyukai adanya pembantu yang hilir-mudik menambahkan sesuatu ke atas meja saat dirinya sedang makan bersama keluarganya.

Menurut Mbah yang sudah bekerja lama di rumah itu, Bu Amalia menganggap semua percakapan yang terjadi di meja makan adalah rahasia keluarga. Terlebih saat Pak Hartono telah menjabat menjadi seorang Menteri. Bu Amalia semakin ketat soal aturannya itu.

Bertolak belakang dengan Bu Amalia yang begitu straight terhadap aturan di rumahnya. Pak Hartono adalah sosok yang terkenal santai dan luwes pembawaannya. Termasuk sikap terhadap para pembantu, tukang kebun dan pegawai bagian keamanan.

Pak Hartono terkenal sebagai seorang yang murah hati di rumah itu. Meski selama empat hari bekerja di sana Winarsih belum pernah bertemu dengan tuan besar-nya, tapi dia bisa membayangkan seperti apa sosok Pak Hartono yang begitu dihargai oleh semua pegawai.

Sedangkan Utomo, dalam empat hari ini, pria itu baru sekali menghubungi Winarsih melalui telepon ruang belakang yang khusus diperuntukkan untuk para pegawai rumah.

Utomo mengatakan bahwa dia sangat sibuk dan sering bekerja lembur. Sebagai pegawai kontrak baru, katanya dia harus pintar-pintar mengambil hati para seniornya di kantor. Apalagi Utomo hanyalah seorang pria dengan lulusan SMA yang diterima bekerja di sana melalui perantara seorang relasi.

Utomo juga mengatakan kalau minggu depan dia akan mendaftar di sebuah universitas swasta yang tak jauh dari kantornya. Winarsih sangat senang karena mendengar suara Utomo yang begitu bahagia dan antusias dengan apa yang sedang dijalaninya sekarang.

Menurut Winarsih, Utomo tak perlu merasa tidak enak karena tak bisa menjenguknya terlalu sering ke rumah itu. Terlebih sekarang-sekarang ini. Winarsih tengah sibuk menimba ilmu memasak makanan kesukaan para majikan mereka dari Mbah. Tak mau berbohong dengan dirinya sendiri, Winarsih mengakui jika dirinya betah bekerja di rumah itu.

Alasannya sederhana, selain karena gajinya yang lumayan, bekerja di rumah itu sangat sedikit mengeluarkan keringat. Winarsih betah sekali meski harus berlama-lama di dapur karena bagian dapur rumah itu pun terpasang AC.

Tapi kata-kata terakhir Utomo sebelum mengakhiri pembicaraannya kemarin, terngiang-ngiang di telinga Winarsih. Pria itu mengatakan rindu dan ingin menciumnya. Winarsih membayangkan ciuman terakhirnya bersama Utomo. Dan kemudian kejadian di pondok bekas pos ronda kembali melintas di kepalanya.

******

Hari sabtu di minggu kedua setelah Winarsih dua minggu bekerja di kediaman keluarga Hartono, mereka lebih sibuk dari biasanya. Mbah mengatakan kalau Pak Hartono akan kembali dari Kalimantan setelah hampir seminggu mengadakan kunjungan kerja di sana.

Entah kapan berangkatnya tiba-tiba Pak hartono sudah akan pulang saja, pikir Winarsih. Rupa Pak Hartono pun diketahui Winarsih hanya dari sebuah foto di dinding ruang makan. Pria tua berwajah tampan yang rambutnya telah memutih semua itu memang terlihat sebagai orang yang ramah.

Tina yang juga bekerja di bagian dapur bersama Winarsih dan Mbah, kebagian tugas berbelanja bahan makanan pada sabtu pagi. Setelah meletakkan semua belanjaannya pada sebuah meja besar tempat di mana mereka biasa meracik sayur-sayuran, Tina pergi menemui Mbah yang sedang duduk memetik tauge. Wanita paruh baya itu juga yang selalu menyusun semua kebutuhan yang tersaji di atas meja sejak mulai sarapan, makan siang atau makan malam.

Sedangkan Mbah sekarang hanya bertugas mengatur menu, atau sesekali memasak makanan kesukaan masing-masing anggota keluarga.

Winarsih sangat menyukai saat-saat mengobrolnya bersama Mbah yang telah berusia 70 tahun lebih. Dia selalu merasa sedang berbicara dengan seorang sepuh dari kampung halamannya.

Mbah sudah ikut bekerja dengan Keluarga itu sejak pernikahan Pak Hartono dan Bu Amalia memasuki tahun keempat.

Sehingga dalam rumah itu, bisa dikatakan Mbah adalah pembantu rumah tangga dengan level tertinggi. Dia sudah tak perlu berlelah-lelah lagi bekerja di dapur.

“Malam ini Bapak pulang dari Kalimantan. Ibu tadi bilang ke saya, masak yang seperti biasa, Mbah. Kesukaannya Bapak dan Pak Dean. Biar kalau nanti malam bapak-anak itu bertemu ributnya enggak gede-gede banget." Tina masuk ke dapur menghampiri Mbah.

Tak mengerti apa yang dibicarakan oleh Tina, hati Winarsih tergerak ingin tahu.

"Memangnya biasa Pak Hartono dan anaknya sering ribut ya Mbak?" tanya Winarsih. Pikiran polosnya selama ini selalu menganggap orang kaya yang sudah serba berkecukupan tak perlu meributkan apa-apa lagi di dalam hidupnya.

"Biasa. Masalah orang kaya. Bapaknya pengusaha yang jadi menteri. Anaknya yang diminta ngurusin usaha bapaknya malah jadi pengacara. Sukses pula. Ya nasibnya memang mau kaya ya gitu ya Mbah? Selonjoran di rumah saja kalau memang takdirnya kaya, pasti kaya," ucap Tina meminta persetujuan Mbah.

*"Ya enggak begitu juga, Tin. Ngotot* tenan omonganmu itu," jawab Mbah dengan logat Jawa yang masih begitu kental.

"Mbah .... Mbah ...." Terdengar suara seorang pria meneriakkan nama Mbah dari arah dalam rumah.

"Itu Pak De...." Perkataan Tina terpotong. Seorang pria telah berdiri di gawang pintu penghubung antara dapur tengah dan dapur utama.

Winarsih setengah terperangah melihat anak majikannya dari jarak begitu dekat. Puncak kepala Dean hampir mengenai puncak gawang pintu.

"Pada ke mana, sih dipanggilin dari tadi nggak ada yang muncul? Itu Papa udah duduk nanya teh bunganya. Jangan gara-gara teh bunga yang terlambat, aku yang bakal ribut di depan." Dean bicara pada Tina.

"Saya baru pulang dari pasar masih beres-beres, Pak," jawab Tina, mengangguk kecil menunjukkan tumpukan belanjaannya.

"Terus kamu ngapain? Eh, pembantu baru! Kamu dari tadi ngapain bengong aja? Cuma ngeliatin orang kerja? Udah diajarin cara bikin teh bunga Papa?" tanya Dean setengah membentak.

Winarsih mengangguk.

"Ya kalo udah, kamu buatin sekarang. Bukannya inisiatif langsung bikin, malah berdiri bengong. Ngeselin banget! Kalo udah selesai cepet anter ke depan!" Suara Dean begitu keras memenuhi seluruh penjuru dapur. Winarsih terhenyak. Dia belum pernah dibentak sebegitu kerasnya oleh siapa pun.

Dean kemudian buru-buru pergi berlalu dari hadapan ketiga asisten bagian dapur yang masih menunduk tak berani menatapnya.

Tak ada keadaan yang benar-benar sempurna di bagian dunia manapun. Saat Winarsih mengira semua hal yang akan dijalaninya selama bekerja di rumah itu akan lancar-lancar saja, kini hati kecilnya berkata lain.

Dean Danawira Hartono, anak majikannya itu sepertinya bakal menjadi sumber keapesan selama bekerja di sana.

To Be Continued

1
L𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
bu winar😁😁🤣🤣
aish
dirumah ilmunya Dean ga mempan.. 🤣
aish
ati ati lohh De.. 😁
aish
😂😂😂😂😂
aish
aq ketawa kok Ut! 🤣🤣🤣🤣
wahyu
ngakak wis liat pak dean. doyan banget
wahyu
kak jus ngerti dingklik juga 😀
Kᵝ⃟ᴸ𝑅ayíi☠ᵏᵋᶜᶟ🍂
Gusti Gusti🤣🤣
L𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
Ryan jodoh mu novi🤣🤣🤣🤣
L𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
pak sllu tanya tempat tidur🤣🤣🤣🤣
L𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
waakwkwkw bneran miskin pak de😂
L𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
rsaiin disty😂😂😂😂
L𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
cincang bawnag😭
L𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
nyesss😭😭😭😭😭
L𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
kwkwkwkwk disty
L𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
bapak bapak🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
L𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
duhhhhhh bu Amalia
Kᵝ⃟ᴸ𝑅ayíi☠ᵏᵋᶜᶟ🍂
Awas loh Siti, Ayu, yen wani nggodani Pak Dean,,, tak culek mripatmu mengko.
L𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
keren winar
L𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
so seeet nya pak de
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!