"Pada akhirnya, kamu adalah luka yang tidak ingin aku lepas. Dan obat yang tidak ingin aku dapat."
________________
Bagaimana rasanya berbagi hidup, satu atap, dan ranjang yang sama dengan seseorang yang kau benci?
Namun, sekaligus tak bisa kau lepaskan.
Nina Arunika terpaksa menikahi Jefan Arkansa lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Sosok yang ia benci karena sebuah alasan masa lalu, namun juga cinta pertamanya. Seseorang yang paling tidak ingin Nina temui, tetapi sekaligus orang yang selalu ia rindukan kehadirannya.
Yang tak pernah Nina mengerti adalah alasan Jefan mau menikahinya. Pria dingin itu tampak sama sekali tidak tertarik padanya, bahkan nyaris mengabaikan keberadaannya. Sikap acuh dan tatapan yang penuh jarak semakin menenggelamkan Nina ke dalam benci yang menyiksa.
Mampukah Nina bertahan dalam pernikahan tanpa kehangatan ini?
Ataukah cinta akan mengalahkan benci?
atau justru benci yang perlahan menghapus sisa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumachi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagaimana Dia Tau?
Nina menggandeng lengan suaminya sambil berjalan menyusuri lorong supermarket.
Jefan mendorong troli dengan pelan mengimbangi langkah istrinya itu.
Sebenarnya Jefan agak terkejut, saat tadi Nina menelfonnya untuk memberitahu akan ada tamu nanti malam. Dia mengundang atasannya sekaligus orang yang sudah Nina anggap teman itu ke rumah mereka.
Cemburu? Tentu saja. Aslinya Jefan malam ini harus lembur untuk bertemu investor besok pagi. Tapi membayangkan mereka asik makan malam bersama dengan istrinya Jefan jadi tidak bisa fokus sama sekali.
Alhasil, dirinya memaksa ikut untuk menemani Nina berbelanja. Gadis itu tentu sangat bahagia, terlebih ini pertama kalinya mereka berbelanja bersama.
Tangan Nina pun tak berhenti melingkar dilengan kekar Jefan yang mendorong troli. Hatinya sangat membuncah akan rasa bahagia.
"Apa yang mau kau masak malam ini?"
"Heum.. bulgogi, capcay, bihun pedas, apa mau masak balado ayam juga?"
"Kau tidak lelah?"
Nina menggeleng "Mana bisa lelah kalau aku bersamamu, kau kan recharge energiku"
Jefan memandang gemas, ia mengecup singkat bibir istrinya itu begitu Nina selesai bicara.
"Tiap hari kau benar-benar semakin pintar menggodaku"
"Padahal aku tidak berniat menggoda loh"
Jefan merangkul pinggang istrinya, lelaki itu agak menunduk untuk menatap wajah Nina.
"Niat menggoda suami juga hal baik, lakukanlah lebih sering"
Nina memukul dada Jefan pelan. Dia ini bagaimana jika ada yang dengar, ini kan tempat umum.
"Jadi, apa mau balado ayam juga?"
"Boleh, aku akan membantumu memasak"
"Kau... kan tidak bisa masak"
"Aku bisa sedikit"
"Tapi waktu itu bahkan kau tidak bisa membuat dadar telur"
"Ah~ itu kan cuma karena aku memasukan terlalu banyak air"
"Seharusnya dadar telur juga dibuat tanpa air"
"Begitu ya?"
"Lagipula siapa yang membuat dadar telur satu butir dengan 500ml air"
Jefan terkekeh, manusia memang bukan makhluk sempurna bukan. Dia bahkan hampir tidak pernah menyentuh spatula dalam sejarah hidupnya.
"Baiklah, aku akan memberimu semangat saja kalau begitu"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...****************...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Ternyata kau pintar memasak ya Nina"
"Ya istriku memang pintar memasak"
"Balado ayam nya juga sangat enak"
"Ya istriku memasaknya karena aku menyukainya"
"Kau memasak semuanya sendirian, Nina?"
"Ya istriku memasak semuanya sendiri"
Jean menatap Jefan jengah, sejak tadi apapun yang ditanyakannya pada Nina, Jefan selalu menyerobot menjawab lebih dulu.
Tidak lupa dengan kata istriku ditiap kalimatnya.
Jefan mendengus, tanpa perlu diulang berkali-kali juga ia sudah sangat tau gadis itu milikmu. Istrimu. Haruskah ia menekan fakta itu sebegitunya.
Hera agak terkikik dalam diam melihat Jean yang kesal menghadapi Jefan. Lelaki itu sedang memasang mode robot nya yang kaku.
Tapi ternyata dia masih mau menerimanya. Hera pikir Jefan akan menendangnya sebelum lelaki ini masuk ke dalam rumah.
Hera menggebu kesini untuk melihat adegan itu. Dia jadi agak kecewa.
"Kau ada masalah denganku tuan Jefan?"
"Tidak"
"Sepertinya ada"
"Tidak tuh"
Nina menatap bingung kedua lelaki yang duduk berhadapan itu. Saat ini mereka sedang makan malam tapi suasana diantara mereka lebih seperti sedang batle.
Jean menghela napas kasar, ia mengangkat bahunya santai.
"Baiklah kalau tidak ada, jadi kapan kau akan mengundangku lagi Nina wahai karyawanku?"
Jean membuat sarkasme di akhir kalimat. Dia sengaja menekankan kata terakhir itu agar pria disamping nya itu tak lagi menyerobot jawaban dengan embel-embel istriku.
"Lain kali, jika ada acara penting, saya akan mengundangmu lagi pak"
Jehan terkekeh pelan mendengar bahasa Nina yang masih terlihat formal, entah kenapa rasa khawatir nya jadi agak menghilang.
Jean mendecih paham dengan maksud ekspresi suami Nina itu. Ternyata lelaki dihadapan nya ini jauh lebih kekanak-kanakan dari yang ia kira.
"Aku jadi tidak sabar menunggu undangan itu"
"Tidak Nina, jangan undang dia lagi. Dia hanya akan menghabiskan semua nya dalam sekejap"
Hera menyeru pada Nina. Matanya berapi-api untuk menunjukkan keseriusannya.
"Aku tidak makan sebanyak itu"
Hera memutar bola matanya "Tidak lihat bagaimana isi piring kedua mu saat ini? Itu seperti porsi jika milik kita bertiga dijadikan satu".
"Tidak masalah Hera, justru malah aku senang itu berarti masakan ku tidak mengecewakan"
Jean mengangguk setuju, ia mengangkat jempolnya tepat ke arah Nina.
"Benar sekali wahai karyawan ku, jadi maafkan aku kalau aku jadi kalap"
"Hei, berhentilah memanggil istriku karyawan"
"Kenapa? Kau pun menyebutnya dengan menunjukkan statusnya sebagai istrimu kan"
"Kalau begitu panggil dia dengan Nyonya Jefan"
Hera bergidik ngeri. Kecemburuan nya itu agak memalukan untuk dilihat. Terlebih untuk sosok kaku kejam sepertinya.
"Kenapa rumit sekali sih"
"Turuti saja kataku"
Nina memegang pelipis nya, ia melirik ke Hera memberi tatapan bingung apa yang harus dilakukannya untuk mengakhiri ini.
Padahal niatnya mau mendekatkan Hera dan Jean agar tak lagi adu mulut tiap bertemu. Ini malah beralih ke suaminya.
Usaha yang sia-sia.
"Panggil saja seperti biasa pak, dengan namaku"
"Nah itu baru bagus"
Jefan mendecih. Kesal sekali melihat wajah santai atasan istrinya itu. Bagaimana Nina bisa memiliki atasan yang seperti itu ya? Apa tidak bisa cari pekerjaan yang atasannya seorang bapak tua berkeriput dan sudah punya cucu?
Acara makan malam kembali berlanjut dengan perdebatan Hera dan Jean yang saling berebut porsi terakhir bulgogi. Diselingi juga perdebatan sengit antara lelaki diruangan itu, membuat suasana meja makan menjadi ramai menyenangkan.
Setelah selesai makan, Hera dan Jean duduk diruang tamu untuk melanjutkan perdebatan mereka soal wajah siapa yang terlihat lebih tua.
"Paman, kau punya kamera kan? Buka lah. Dan lihatlah berapa banyak kerutan didahimu itu"
"Kau pun harus memasang kaca besar dirumahmu, supaya bisa kau lihat betapa gelambirnya pipimu itu"
"GELAMBIR?! WAH KETERLALUAN SEKALI KAU KAKEK TUA"
"Kakek?! Apa kau lihat ada uban dirambutku? Tidak ada kan!"
"Ck! Uban kan bisa diwarnai lagi jadi hitam"
Nina menggeleng dari kejauhan, ternyata belum selesai juga urusan kedua manusia itu.
"Duduk saja disana, biar aku yang membersihkan semuanya" ucap Jefan pada Nina yang sedang mengikat rambutnya.
Bersiap untuk membereskan perkakas alat makan yang tadi mereka gunakan.
"Kita lakukan sama-sama saja, biar cepat selesai"
Jefan tersenyum, ia mengelus kepala Nina "Kau sudah bekerja keras hari ini"
Nina membalas dengan senyuman manisnya. Mereka hanyut dalam candaan kecil saat sedang mencuci.
Pekerjaan itu bahkan tidak terasa sama sekali saat dilakukan bersama. Begitu selesai Jefan menyusul Hera dan Jean diruang tamu.
Sedangkan Nina, ia lanjut memotong buah semangka sebagai pencuci mulut.
Jefan melirik sinis begitu sampai disofa pada Jean.
"Ah~ melelahkan, dan sekarang musuhku bertambah satu"
Jean menyandarkan punggung nya ke sofa begitu melihat Jefan duduk disamping Hera sengan wajah tidak bersahabat.
"Hei, Jefan bantu aku memarahi paman itu, kita berada dikubu yang sama kan"
"Berhentilah memanggilku paman, dan aku akan berhenti memanggilmu bibi"
Hera menatap ragu. Ia memicingkan mata seakan tak percaya.
"Aku serius, mari berteman baik. Aku mungkin bukan orang baik, tapi aku tidak seburuk itu untuk dijadikan teman"
Kali ini Jean menatap serius. Wajahnya tak lagi bercanda atau menyebalkan.
Jika begitu, Hera jadi paham mengapa Nina menyebut Jean atasan yang sangat baik dan pengertian. Kalau terus memasang wajah seperti itu, sifat itu memang cukup cocok dengan nya.
"Oke, aku juga bukan gadis semenyebalkan itu untuk dijadikan teman"
Mereka saling berjabatan tangan dengan tenang. Jefan melihat itu hanya mendesis pelan. Tak mengerti ada cara aneh seperti itu untuk menjalin pertemanan.
Tiba-tiba...
Cahaya lampu lenyap.
Seluruh ruangan menjadi gelap gulita.
Dalam kegelapan itu dua orang manusia reflek langsung bangkit.
Salah satunya berlari tanpa memikirkan barang apapun yang ditabraknya.
Otaknya bahkan tak sempat memberinya instruksi untuk mencari cahaya karena terlalu paniknya.
Dia berlari kearah dapur dengan menggunakan intuisinya.
Bahkan tanpa cahaya, ditengah kegelapan itu, ia bisa menemukan gadis yang sedang meringkuk dibalik meja makan dengan tubuh yang bergetar.
"Tidak apa Nina, aku ada disini. Tidak akan ada apa-apa"
Nina mencelos, ia mengambrukan tubuhnya kebadan lelaki yang sudah mendekapnya itu.
Untuk pertama kalinya, ia sudah bisa tenang meski masih berada dikegelapan. Hanya karena mendengar suara itu.
Suara suaminya.
"Jefan.... bagaimana.. kau tau...tentang trauma ini?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...