Aruna hanya memanfaatkan Arjuna Dewangga. Lelaki yang belum pernah menjalin hubungan kekasih dengan siapapun. Lelaki yang terkenal baik di sekolahnya dan menjadi kesayangan guru karena prestasinya. Sementara Arjuna, lelaki yang anti-pacaran memutuskan menerima Aruna karena jantungnya yang meningkat lebih cepat dari biasanya setiap berdekatan dengan gadis tersebut. *** "Mau minta sesuatu boleh?" Lelaki itu kembali menyuapi dan mengangguk singkat. "Mau apa emangnya?" Tatapan mata Arjuna begitu lekat menatap Aruna. Aruna berdehem dan minum sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Arjuna. "Mau ciuman, ayo!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 03
"NAH! Cowok romantis biasanya mau suapin pacarnya, coba dong lo suapin gue." Arjuna diam tidak bergeming. Masih menatap Aruna dengan tenang. "Ayo Juna, lo pasti belum pernah kan suapin cewek?"
Arjuna mengangguk mengiyakan. Lelaki itu kini sedang berada di apartemen Aruna. Duduk lesehan di atas karpet ruang tamu. Dirinya bersiap mengunyah lagi makanan, namun tertahan.
"Ayo Juna, suapin gue dong." Lelaki itu memasang pendengarannya baik-baik.
Baru saja Aruna merengek manja minta disuapi? Lelaki itu menurut, menyuapi sang tuan putri. Sementara Aruna, masih sibuk membaca-baca sebuah artikel. Lelaki itu menatap sendok bekasnya, kemudian menatap Aruna. Gadis itu tampak santai saja memakai sendok bekasnya.
"Hobi gue baca novel dewasa, kalau lo hobinya apa Jun?"
Lelaki itu langsung tersedak ketika menyuapkan nasi ke dalam mulut. Aruna ini memang kelewat jujur sekali. Tidak bisa di filter. Matanya melirik, sementara mulutnya sibuk memasukkan air. Habis ini, bersiap memberikan ceramah singkat.
"Sehari bolehnya ceramah sekali! Lo pikir gue anak lo? Bisa-bisanya lo marahin gue tiap kita ketemu?" Gadis itu menghela nafas pelan. "Jadi, jawab aja hobi lo apa?"
"Belajar, melukis dan berenang." Sudah Aruna duga, lelaki itu suka belajar.
"Bagus deh, coba ceritain tentang keluarga lo, punya saudara atau anak tunggal?"
Arjuna meletakkan makanan. Menunda makan, karena Aruna tampak akan bertanya banyak. Menurutnya, tidak sopan makan sambil bicara. Fokusnya kini beralih pada Aruna.
"Taruh dulu ponselnya,"
Aruna menurut tanpa banyak bertanya. Dia juga kadang kesal, jika bercerita tapi temannya bermain ponsel dan sibuk sendiri. Jadi, Aruna menambah nilai plus untuk Arjuna. Pantas saja, Sisil jatuh cinta sekali pada lelaki di depannya.
"Aku anak pertama, punya dua adik. Kalau yang tengah, namanya Arvin masih SMP kelas 9. Kalau yang terakhir namanya Acha, masih kelas 5 SD." Aruna tampak mendengarkan dengan sungguh- sungguh. Ternyata semuanya berinisial huruf depan, yaitu A.
"Kenapa namanya dari A, semua?"
Arjuna menggaruk belakang kepalanya.
"Mama bilang, kalau pembagian raport biar cepat." Aruna lantas tertawa ringan.
"Mama lo, kelihatannya lucu ya?"
Lelaki itu mengangguk membenarkan. Sama, seperti gadis di depannya. Menurut Arjuna, Aruna begitu lucu dengan tingkah konyolnya.
"Kalau kamu?" Arjuna bertanya balik.
"Nggak punya saudara, anak tunggal. Tapi, nyokap gue udah meninggal sih. Waktu itu gue mau masuk SMA,"
Arjuna merasa bersalah. "Maaf, Aruna." Matanya melirik raut wajah sendu Aruna sekilas. Kemudian, gadis itu tertawa renyah mengalihkan pembicaraan seolah tidak ingin menunjukkan kesedihan.
Tapi, Arjuna peduli pada Aruna. Dia ingin, bukan hanya bahagia saja. Saat Aruna terpuruk pun, Arjuna ingin ada untuk gadis tersebut. Sesaat, Arjuna merasa bahwa gadis di depannya tidak membicarakan sosok ayah dalam hidupnya. Matanya pun tidak menemukan foto keluarga lengkap, hanya foto Aruna dan wanita yang mirip dengan gadis tersebut.
"Dulu pas masih TK, ada cowok cengeng banget. Cuma gue bilang anak pungut, dia langsung nangis kejer." Aruna menceritakan masa kecilnya dengan antusias bahagia.
Arjuna hanya menggelengkan kepalanya, ternyata sudah sejak kecil Aruna berbicara aneh-aneh.
"Nakal," Arjuna mencubit pipi Aruna dengan gemas.
Gadis itu mengaduh lebay, berpura-pura sok tersakiti oleh cubitan pelan kekasihnya. Tentu saja, Arjuna langsung memasang raut wajah bersalah. Si people pleaser khas sekali. Lelaki itu berganti mengusap-usap pipi Aruna yang langsung memerah sebelah.
"Cium, biar cepet sembuh!" Pinta Aruna.
"Nggak sopan, Aruna. Kita belum menikah, masih tahap pacaran beberapa hari." Arjuna menatapnya datar.
"Emang harusnya pacaran berapa hari biar boleh ciuman? Setahun?" Sewotnya, menjauhkan wajah dari jemari panjang sang lelaki. Tubuhnya pun otomatis beringsut mundur menjauh.
Arjuna mengusap wajahnya perlahan. Dia lelaki normal, tapi tidak ingin melampaui batas. Lelaki itu takut kecanduan mencium pipi tembam seputih porselen Aruna. Baru dicubit saja, Arjuna sudah merasakan lembutnya dan gemas.
"Nanti kalau udah dewasa," Lelaki itu mengikis jarak. Jemarinya mengusap- usap surai panjang Aruna.
Si keras kepala menolak lagi sentuhan Arjuna di rambutnya.
"Oh, ya udah kalau begitu. Lo jaga jarak sama gue, jangan sentuh gue. Biar nanti gue cari cowok lain yang bisa diajak pacaran romantis,"
Gadis itu memalingkan wajahnya. Tangannya sedekap di depan dada. Wajahnya cemberut enggan menatap Arjuna yang tampak kesal. Wajah lelaki itu terlihat masam.
"Jangan cari cowok lain!" Aruna menoleh langsung. Memicingkan matanya penuh harap.
"Ya udah, sekarang cium dulu. Baru pipi, belum bibir, terus leher---" Mulut Aruna langsung di tutup oleh tangan besar Arjuna.
Lelaki itu mendekat dan mencium cepat pipi Aruna. Setelahnya, melepas tangannya yang justru dijilat oleh Aruna. Gadis itu tertawa keras setelah melihat wajah dan telinganya memerah.
"Jangan bicara tidak sopan, Aruna! Kamu jangan bicara tentang cium-cium di depan laki-laki, apalagi minta di cium. Kamu jangan mancing-mancing lelaki untuk berbuat hal tidak senonoh!"
Aruna tertawa kencang mendengar nasihat Arjuna. Lelaki itu, serius sekali hidupnya. Bagus sih, begitu sopan. Coba kalau orang lain, mungkin Aruna sudah aneh-aneh. Namun, yang seperti Arjuna justru menantangnya. Aruna suka dengan tantangan seperti ini, apalagi melihat Arjuna tergila-gila padanya.
"Kan gue lagi bangun chemistry Arjuna! Nanti orang-orang pikirnya kita pacar bohongan kalau nggak romantis!"
"Emang romantis harus melakukan hal- hal seperti itu?"
Menurut Aruna iya, jika menurut Arjuna tidak---maka dia tidak peduli. Terserah saja pada Arjuna si lelaki penganut sopan santun, akan dia buat lelaki itu kecanduan untuk menciumnya.
"Jangan merencanakan aneh-aneh, Runa." Seolah-olah Arjuna bisa membaca pikiran Aruna. Padahal gadis itu hanya diam dan menatapnya.
Aruna berdecak sebal.
"Nggak ada ya! Eh, gimana kalau sepulang sekolah kita belajar bareng Jun." Usul Aruna tiba-tiba, gadis itu niat sekali untuk membangun chemistry keduanya. Lebih tepatnya Arjuna yang mengajari dirinya. "Bisa kan, Jun?"
"Boleh, tapi jangan di apartemen berduaan. Di perpustakaan atau cafe, di rumah aku juga bisa." Aruna menahan senyum ketika Arjuna menegaskan kata jangan berduaan. Takut sekali tampaknya lelaki itu.
"Kenapa kalau berdua? Kan cuma belajar doang?" Sahutnya sok polos.
Wajahnya memang terlihat polos. Tapi, ucapannya membuat Arjuna geleng- geleng kepala.
"Aku lelaki normal, Aruna! Kamu pikir, aku bakal biasa-biasa aja kalau lihat rok kamu yang naik dan kelihatan celana warna hitam."
Jakun lelaki itu naik turun. Matanya menoleh ke arah lain ketika membicarakan hal tersebut. Mencoba mengumpulkan kewarasannya. Cobaannya begitu berat sekali, karena Aruna justru langsung duduk di pangkuannya. Bukannya membenarkan rok, gadis itu dengan berani mengalungkan kedua tangan di lehernya.
Arjuna mematung, kali ini benar-benar cobaan yang berat. Setelah tadi mati- matian bibirnya menahan diri untuk tidak mencium pipi halus Aruna lagi. Apalagi wajah gadis itu begitu dekat dan cantik sekali. Jantungnya berdetak kencang.
Arjuna bisa gila.