NovelToon NovelToon
I Love You My Sugar Daddy

I Love You My Sugar Daddy

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

Rumah keluarga Lambang Antono berdiri megah di kawasan Caturtunggal. Taman depan rapi, angin sore membawa aroma kenanga dari pekarangan. Semua tampak sempurna dari luar keluarga terpandang, nama besar seorang rektor universitas negeri, dan putri satu-satunya yang dikenal cerdas serta santun.

Alma masih menjadi seorang mahasiswi semester empat, fakultas hukum di kampus tempat Ayahnya mengajar.Cita citanya adalah menjadi diplomat.

Hingga seseorang yang kemudian mengubah segalanya — Adipati, ketua BEM yang tampan karismatik, disukai banyak mahasiswi, dan terlalu pandai berbicara tentang idealisme dan cinta.

Awalnya hanya diskusi tentang tugas.

Kemudian menjadi pertemuan yang ditunggu.

Lalu, tanpa disadari, menjadi sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata lain selain “terlalu dalam.”

Cinta itu tidak lahir dari niat buruk, tapi tumbuh di tempat yang salah — dan waktu yang salah.

Dan ketika kenyataan datang, semua yang indah berubah jadi bising.

Sore itu berbeda — Alma duduk di bangku taman belakang kampus, memegang alat tes kehamilan yang matanya sendiri masih nanar saat melihatnya.

Ia menatapnya lama, tak tahu harus gembira atau takut.

Satu-satunya hal yang terlintas di benaknya adalah Adipati.

Malamnya, mereka bertemu di sebuah kantin dekat kampus — tempat biasa mereka berdiskusi soal organisasi.

Namun kali ini, Alma tidak membawa buku catatan. Hanya keberanian.

“Dip, aku... hamil.”

Suara Alma pelan, hampir tak terdengar di antara bising motor yang lewat.

Adipati terdiam. Wajahnya yang biasanya tenang kini kaku, seperti kehilangan bahasa.

“Hamil?” Ia mengulang pelan, menatap Alma seolah berharap jawaban lain.

“Iya.”

Ada jeda panjang.

Lalu Adipati mengembuskan napas, menunduk, dan berkata datar,

“Al, aku... belum siap, apa kata orang tuaku nanti.”

Alma menatapnya tak percaya.

“Kamu bilang kamu mencintai aku, Dip.”

“Aku cinta, tapi ....”

Alma menahan napasnya agar tidak pecah.

“Jadi yang kamu maksud ‘cinta’ itu cuma kalau semuanya mudah, ya?”

"Bukan begitu Al tapi jalan kita masih panjang, jujur aku tidak siap untuk..."

"Untuk bertanggung jawab?."

Adipati menatapnya sebentar, lalu berdiri tanpa menjawab.

Dan ketika punggungnya menjauh malam itu, Alma tahu — ia akan menghadapi semuanya sendiri.

Beberapa minggu kemudian, semuanya terungkap.

Ibunya menemukan hasil test yang disimpan di laci.

Sore itu rumah besar di Caturtunggal menjadi tempat paling dingin di dunia.

Ayahnya, Lambang Antono, berdiri di ruang tamu dengan wajah pucat menahan amarah.

“Alma Hapsari, kamu tahu apa yang kamu lakukan?.”

Suaranya bergetar bukan karena lemah, tapi karena marah yang terlalu dalam.

Bapak, saya ..”

"Diam!” bentaknya.

“Kamu mempermalukan keluarga ini! Apa kamu sadar siapa kamu?! Kamu anak seorang Rektor Alma! Nama keluarga kita di pertaruhkan!.” Suaranya serak.

Ibunya menangis di sudut ruang tamu

“Alma, Nak... kenapa sampai sejauh ini?, "

Alma berdiri tegak.

“Saya juga tidak menginginkan ini Bu."

Ayahnya menatapnya tajam.

“Anak haram itu harus digugurkan.”

“Tidak, Pak anak ini tidak haram, yang haram adalah perbuatan kami.”

“Alma!” suara ayahnya meninggi.

“Kamu tidak paham apa akibatnya kalau kamu bersikeras pertahankan kandunganmu?! kamu menghancurkan masa depanmu sendiri!”

Alma menggeleng, matanya basah tapi tekadnya kuat

“Saya tahu, Pak. Tapi saya juga tidak mau kalau harus menggugurkan anak ini, dosa Pak,. Saya tidak mau menutupi dosa dengan dosa yang lain”

Keheningan panjang menggantung.

Ayahnya menatapnya lama — lalu dengan suara pelan namun tegas, ia berkata,

"Pintar bicara kamu, Baik jadi kamu tetap mempertahankan anak haram itu?."

"Iya."

“Baik sejak kamu memutuskan, Bapak pun berhak memutuskan mulai malam ini, kamu bukan lagi tanggung jawab kami.”

Ibunya terisak, tapi tak mampu melawan keputusan itu.

"Oalah Ngger... Coba kamu pertimbangkan lagi, bagaiamana masa depanmu nanti."Bujuk Ibunya.

"Tidak Bu.."

Malam itu juga, Alma berkemas.

Ia membawa koper, uang seadanya, dan janin yang tengah tumbuh di rahimnya.

Di depan pagar rumah, ia menoleh sekali. Lampu ruang tamu masih menyala, bayangan ayahnya terlihat samar di balik tirai.

Lalu ia melangkah ke jalan, ke arah stasiun, dan tidak pernah kembali.

Ketika mobil travel ke Semarang berangkat, ia duduk di dekat jendela, menatap bayangan dirinya di kaca.

Di luar, lampu kota bergeser perlahan, menjauh.

Lalu ia melangkah ke jalan, ke arah stasiun, dan tidak pernah kembali.

Ketika mobil travel ke Semarang berangkat, ia duduk di dekat jendela, menatap bayangan dirinya di kaca.

Di luar, lampu kota bergeser perlahan, menjauh.

Di dalam perutnya, kehidupan kecil berdenyut untuk pertama kali dengan tenang.

Ia tidak tahu akan jadi apa nanti, tapi untuk pertama kalinya, ia tahu siapa dirinya.

Mobil travel sampai di semarang menjelang subuh.

Udara asin dari laut menyelinap lewat celah jendela, dingin tapi menenangkan. Alma melangkah keluar dengan langkah gontai, menenteng satu koper kecil dan tas selempang berisi dokumen seadanya.

Tujuannya hanya satu kost dari seorang kenalan lama teman semasa kuliah yang kini bekerja di kota itu.

Beberapa minggu pertama, hidup berjalan pelan.

Ia bekerja serabutan — menjaga konter pulsa, jadi kasir di toko kecil, apa saja yang bisa menukar tenaga dengan uang. Tapi setelah Asha lahir, semua berubah.

Bayinya tumbuh sehat, tapi kebutuhan datang tanpa jeda.

Harga susu, sewa kamar, dan biaya pengasuh semuanya seperti berlomba menekan napasnya.

Suatu sore, Alma duduk di bangku taman kecil dekat kosnya, menatap Asha yang tidur di pelukan.

“Alma?.”Ia menoleh.

 “Iya Ran?."

Rani tersenyum, memeluknya hangat. Mereka dulu satu kampus di Jogja, sebelum Rani menghilang tanpa kabar.

Mereka berbincang lama, saling berbagi beban hingga akhirnya Rani menatap Asha yang terlelap.

“Dia cantik banget, Al.”

Alma tersenyum tipis.

“Iya… tapi aku nggak tahu sampai kapan bisa terus kayak gini. Aku udah nyoba cari kerja ke mana-mana, tapi...”

Rani terdiam sejenak, lalu berkata hati-hati,

“Al, kalau kamu mau kamu bisa kerja di tempatku, di tempat yang bisa dibilang… nggak biasa. Tapi uangnya cukup buat hidup. Aman selama kamu tahu cara jaga diri.”

Alma menatapnya bingung.

“Tempat seperti apa?.”

“Lounge...Kita tidak menjual tubuh cuma nemenin ngobrol, dengerin mereka.”

Alma tertawa kecil, tapi bukan karena lucu.

“Tapi Ran..”

Rani menatapnya lembut.

“Aku tahu, Al awalnya juga aku seperti kamu, tapi hidup tidak memberi banyak pilihan”

Malam itu Alma tidak langsung menjawab.

Namun beberapa hari kemudian, setelah uang di dompetnya menipis dan Asha demam Alma menyerah pada idealismenya.

Malam itu kali pertama ia menjejakan kaki pada dunia malam

Suara musik lembut terdengar dari dalam.

Aroma parfum mahal dan bourbon bercampur, memenuhi udara seperti kabut yang berkilau.

Rani membesarkan hatinya.

“Santai aja, nanti kamu akan terbiasa” katanya pelan.”

Langkah pertama Alma di ruangan itu terasa berat — seolah ia menyeberangi batas yang tak terlihat.

Tapi ketika pintu menutup di belakangnya, semua suara dari luar menghilang.

Yang tersisa hanya lampu, musik, dan pilihan yang sudah diambilnya.

Beberapa bulan berlalu, dan Grand Amartha menjadi tempat yang akrab baginya.

Ia tahu kapan harus tersenyum, kapan diam, kapan memalingkan pandangan.

Namun di balik semua cahaya dan tawa, ada bagian dirinya yang masih menolak percaya — bahwa inilah hidupnya sekarang.

Suara klakson samar di luar membuyarkan lamunannya.

Alma tersentak ringan.Ia masih duduk di kursi depan cermin, wajahnya masih sama seperti tadi, tapi matanya sedikit lebih tenang.

“Sudah hampir,” gumamnya pelan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!