NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4: Nayara sakit

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya dokter itu tiba. Langkahnya cepat namun tetap tenang, menunjukkan profesionalitas seorang yang sudah terbiasa menghadapi situasi darurat. Ia membawa tas medis besar berwarna hitam, lalu segera membukanya di atas meja kecil di sudut ruangan. Di dalamnya, berbagai alat pemeriksaan tertata rapi.

"Apa yang sudah terjadi pada mereka berdua?" tanya dokter muda itu, pandangannya langsung tertuju pada dua sosok yang terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang—Zevian dan seorang gadis yang belum dikenalnya.

"Zevian pingsan karena terlalu banyak minum, tapi aku memanggilmu bukan untuk mengurusi Zevian... tapi wanita itu. Aku khawatir." ujar Aditya pelan, suaranya terdengar berat dan khawatir. Tatapannya tidak lepas dari tubuh mungil Nayara yang terbaring pucat.

"Dia siapa?"Tanya nya dengan alis sedikit berkerut, Aditya menghela napas panjang. Udara malam yang sejuk di ruangan itu terasa semakin dingin menekan dadanya.

"Huhhh... Ceritanya panjang, Jon. Gue bingung harus mulai dari mana." Hela nya berat. Joni yang melihat wajah lelah dan sorot mata kacau sahabatnya itu, dia dokter muda yang dikenal Aditya sejak lama—memilih tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia mengangguk pelan, lalu mengambil stetoskop dan mulai melakukan pemeriksaan dengan penuh kehati-hatian. Gerakannya cepat namun lembut, memastikan kondisi Nayara secara menyeluruh.

Hening melingkupi ruangan selama beberapa menit. Hanya suara detak alat pemeriksa dan napas tertahan Aditya yang terdengar. Ketegangan begitu terasa. Aditya berdiri di sisi ranjang, matanya terus mengamati perubahan kecil di wajah Joni—mencari tanda-tanda yang bisa menjelaskan kondisi Nayara.

Setelah selesai, Joni mulai merapikan alat medisnya kembali ke dalam tas. Namun sebelum menutupnya, ia memandang Aditya dengan sorot mata tajam, nyaris tak percaya.

"Apa yang kalian lakukan pada gadis itu?" ucap Joni akhirnya, suaranya terdengar pelan namun tegas. Ada nada khawatir yang kentara dalam intonasinya.

"Sebenarnya, tadi malam Zevian bawa cewek ini ke sini, dan gue nggak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Gue cuma tahu dia menginap semalam di sini saja," ucap Adit, suaranya terdengar berat, seperti menahan beban yang tak sepenuhnya ia pahami. Matanya menatap kosong ke arah Naya yang masih terbaring lemah, lalu beralih pada Joni yang mendengarkannya dengan seksama.

"Tapi tahu-tahu, hari ini keluarga Steel mengabarkan kepada semua orang bahwa Zevian akan menikah dalam kurun waktu dua minggu. Anehnya, nggak ada yang tahu siapa mempelai wanitanya karena nggak disebutkan namanya sama sekali." Tambahnya, nada suara Aditya mengandung keraguan dan kecemasan, seolah ia sendiri tidak yakin dengan semua yang baru saja terjadi. Ia mengusap wajahnya yang lelah, lalu menggeleng pelan sebelum melanjutkan.

"Awalnya gue kira keluarga Steel, seperti biasa, memaksa Zevian untuk menikah, dan gue pikir... ya, mungkin akhirnya dia menyerah juga dan menerima itu. Tapi... rasanya itu nggak mungkin. Lo tahu sendiri, Zevian bukan tipe yang gampang nurut, bahkan kalau dipaksa sekalipun." Ujar Aditya lagi yang membuat Joni berhenti sejenak.

"Gue mikir, mungkin Zevian sengaja bawa gadis ini ke sini... entah apa tujuannya. Tapi dari awal mereka bertemu, Zevian sudah bertingkah aneh. Beda." Ucapannya mengalir panjang dan penuh tekanan, seolah baru sekarang ia bisa mengeluarkan semua yang mengganjal dalam pikirannya. Joni, yang sejak tadi hanya terdiam, terlihat seperti sedang mencerna semuanya.

"Jadi benar... kabar kalau Zevian akan menikah? Tapi... dari mana kalian bertemu wanita ini?" tanya Joni akhirnya, masih dengan ekspresi tak percaya.

"Di jalan, tadi malam, pas kami pulang dari kantor, dia lagi dikejar bodyguard ayahnya. Aneh banget, tapi Zevian mau nolongin dia... bahkan membiarkan wanita ini masuk dan menginap di sini." jawab Adit singkat, mengembuskan napas keras. Aditya menghentikan ucapannya sejenak. Tangannya mengepal pelan di sisi tubuhnya, mengingat kembali momen itu.

"Kau tahu bagaimana sikap Zevian terhadap wanita sejak kepergian Dewi, bukan? Dia dingin... nggak peduli. Tapi malam itu... dia berbeda. Makanya gue langsung curiga kalau Zevian sepertinya menyukai wanita ini." Ujar Aditya yang membuat Joni mengangguk perlahan, seolah setuju dengan tebakan sahabatnya.

"Itu aneh... pantas saja," gumam Joni, lebih pada dirinya sendiri, namun cukup keras untuk didengar Adit.

"Pantas saja apa?" tanyanya dengan nada kesal karena merasa ada sesuatu yang disembunyikan.

"Nggak... tadi pagi pas gue di rumah sakit, gue denger ada dokter yang bilang kalau putra pertama keluarga Steel akan menikah. Gue kaget dong. Zevian? Nikah? Bener-bener? Tapi sekarang... kalau wanita ini memang calon istrinya, ya... masuk akal juga," ucap Joni, sambil menatap Aditya dengan tatapan penuh makna. Aditya mendesah keras, lalu mengacak rambutnya sendiri dengan frustrasi.

“Gue juga bingung... itu cuma tebakan gue aja,” ujarnya lirih.

“Hemm... semoga saja ini jalan terbaik buat Zevian. Kalau ingat kejadian lima tahun lalu, gue kadang sedih,” ujar Joni, suaranya mengandung getir. Ada luka lama yang ikut terangkat dalam benaknya. Ia mengenal betul masa lalu sahabatnya itu—masa yang tak mudah dilupakan.

“Ya, gue juga,” jawab Adit pendek. Hening sejenak, lalu ia kembali menoleh ke arah Naya. “Lalu gimana kondisinya? Apa penyakitnya parah? Apa perlu dibawa ke rumah sakit? Dan... kenapa dia pingsan?” lanjutnya dengan nada cemas, kembali ke inti kekhawatiran mereka malam ini.

Joni menghela napas, seolah sedang mengatur cara menyampaikan hasil pemeriksaannya. Wajahnya kini berganti dengan ekspresi tenang, khas seorang dokter yang mencoba memberi penjelasan logis di tengah kekhawatiran.

“Enggak separah itu. Dia punya riwayat mag kronis—nggak ekstrem, tapi cukup serius kalau kambuh. Dan sekarang penyakitnya kambuh karena dia telat makan cukup lama. Ditambah lagi, tubuhnya kekurangan cairan, yang akhirnya menyebabkan dehidrasi sedang hingga berat. Itu yang bikin dia pingsan,” jelas Joni perlahan, dengan nada serius tapi tidak membuat panik.

“Gimana bisa dia sampai dehidrasi begitu?” Adit terlihat bingung, dahinya berkerut dalam. “Bukannya di sini banyak makanan dan minuman? Haishh... ada-ada aja,” gumamnya sembari menatap wajah Nayara yang masih terbaring lemah di ranjang, napasnya teratur namun lemah.

“Mungkin... Zevian bawa dia ke sini tanpa sempat persiapan apa pun? Bisa jadi dia nggak sempat makan atau minum karena ketakutan atau stres. Atau... mungkin juga emang dia nggak mau makan karena marah atau syok.” tebak Joni.

“Bisa jadi, soalnya tadi pagi, Zevian pergi duluan tanpa pamit sama kita yang masih tidur. Dia cuma ninggalin note ucapan terima kasih.” Adit mengangguk pelan.

“Ya... mungkin dia sengaja nggak makan, nggak minum, atau memang lagi dalam tekanan berat. Tubuh segampang itu bisa drop kalau kondisi psikisnya juga nggak stabil,” ujar Joni, lebih pada menganalisis sambil menatap kosong ke arah infus yang perlahan mengalir masuk ke pembuluh darah Naya.

“Apa yang harus gue lakuin, Jon? Apa gadis itu bisa sadar?” tanya Aditya, suaranya mulai melemah. Kekhawatirannya semakin tampak jelas dari sorot matanya.

“Pasti. Dia cuma pingsan karena kondisi fisiknya drop, bukan karena penyakit kronis atau cedera serius. Tadi gue udah pasang infus buat bantu stabilin cairan tubuhnya. Mungkin nanti malam atau paling lambat besok pagi dia akan sadar dengan sendirinya.” ujar Joni kemudian berhenti sejenak lalu melirik Zevian yang masih terbaring dengan napas berat di sisi lain.

“Dan soal Zevian, dia cuma mabuk berat. Dia nggak apa-apa... lo tahu sendiri, dia bukan tipe pria yang gampang tumbang.” ujar nya yang membuat Aditya mengembuskan napas panjang, sedikit lebih lega. Bahunya yang tegang sejak tadi mulai mengendur.

“Baiklah... terima kasih, Jon,” ucapnya dengan tulus, matanya kembali memandang Naya, seolah ingin memastikan bahwa gadis itu benar-benar akan baik-baik saja.

“Ya sudah, gue pulang ya. Masih ada yang harus gue kerjain,” ucap Joni sambil beranjak dari kursinya, merapikan jas dokter yang sudah sedikit kusut.

“Yeah, bapak sok sibuk,” Aditya meledek dengan senyum nakal. Memang, Joni selalu saja dikejar-kejar urusan rumah sakit, meski rumah sakit itu milik keluarganya. Joni berbalik, menatap Aditya dengan tatapan sengit yang tetap terbalut dalam suasana bercanda.

“Saya memang sibuk, Tuan Prakarsa, bukan seperti Anda yang kerjanya hanya mengurusi wanita,” ujarnya dengan nada yang semakin menggoda. Tanpa menunggu jawaban, Joni berjalan keluar, meninggalkan Aditya yang masih tersenyum, dan dua orang yang terbaring tak sadarkan diri di ruang tidur.

Aditya menghela napas, mengangguk ringan untuk memberikan semangat pada sahabatnya, lalu berkata pelan.

“Semoga yang terbaik untuk kalian.” Dengan langkah ringan, ia berjalan menuju panel remote AC yang terpasang di dinding, dan menekan tombol untuk mengatur suhu ruangan. Zevian memang tak bisa tidur jika suhu ruangan terlalu hangat; suhu dingin adalah kunci bagi ketenangan tidurnya. Remote AC itu terlihat canggih, dengan layar sentuh digital yang menunjukkan angka suhu yang berubah perlahan saat tombol ditekan. Pencahayaan ambient di sekitar ruangan itu juga mulai meredup, dan suasana di kamar Zevian menjadi lebih tenang. Bahkan, lampu kamar yang memiliki sensor suara otomatis langsung merespons perintah yang Aditya ucapkan dengan lembut.

"System Stell, turn off the lights." Tak lama, lampu utama kamar mulai meredup, menggantikan cahaya terang dengan lampu tidur yang lebih redup dan hangat, menciptakan atmosfer yang nyaman untuk beristirahat. Suara klik halus terdengar dari panel lampu yang terpasang di langit-langit, seolah menyatu dengan ruangan yang sudah dilengkapi teknologi smart home.

Aditya memandang sekali lagi ke arah Nayara dan Zevian. Dalam hening, ia berpikir bahwa meski begitu canggihnya teknologi di sekitar mereka, tak ada yang bisa menggantikan kedamaian hati yang hanya bisa datang dengan waktu dan perhatian. Ia akhirnya berbalik dan menutup pintu kamar secara perlahan, memastikan bahwa semua yang ada di dalam bisa beristirahat dengan nyaman tanpa gangguan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!