Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam menyebalkan
Jam dinding kantor sudah menunjuk pukul tiga sore lebih lima belas menit. Beberapa karyawan mulai berkemas, sebagian lain melirik jam dengan tatapan penuh harap. Namun tidak untuk Audy.
“Lembur?” Audy terperangah ketika Nadine baru saja mengabarkan kabar yang entah itu kabar baik atau kabar buruk, tergantung cara pandang seseorang.
“Kau benar-benar tidak tahu?” Nadine menatap Audy dengan wajah setengah kasihan. “Jika sudah ada perintah dari Pak Aldrich, jangan coba-coba membantah. Lebih baik kita jalani saja. Kau akan terkejut begitu tahu nominal bayaran lembur khusus ini.”
“Nominal?” Mata Audy menyipit curiga. “Apa maksudmu?”
Nadine menyandarkan punggung pada kursinya lalu berbisik dramatis, seolah sedang mengungkap rahasia perusahaan top secret. “Bayaran lembur yang tidak serempak—maksudku, lembur yang hanya diperintahkan kepada staf tertentu—biasanya besar sekali. Bisa hampir sama dengan satu kali gaji penuh.”
Audy terperangah, mulutnya hampir membentuk huruf O sempurna, bukan karena nominal uangnya, tapi karena cara Aldrich memberi upah. “Kau tidak bercanda?”
“Tidak. Aku malah berharap sering disuruh lembur. Jika bisa meminta, aku ingin setiap hari,” jawab Nadine dengan nada bercanda, meski matanya berbinar sungguh-sungguh.
Audy menghela napas, tangannya sudah meraih ponsel di dalam tas. “Aku harus ceritakan ini pada Daddy. Tidak mungkin aku—”
Namun jarinya berhenti di atas layar. Ucapan sang ayah kembali terngiang jelas di telinganya: “Jangan datang pada Daddy sambil menangis hanya karena kerasnya dunia kerja.”
Audy mendengus kesal, ia menggumam pelan, lebih seperti menggerutu. “Daddy benar-benar tega. Aku ini putrinya, pewaris satu-satunya, tetapi malah dipaksa untuk kuat melawan kerasnya dunia kerja. Eh, tapi ini kan atas kemauanku.”
Nadine menahan tawa. “Kau ini benar-benar unik, Audy. Baru hari pertama kerja sudah harus lembur. Ini bisa jadi rekor.”
Audy melempar tatapan tajam. “Apa maksudmu? Kau ingin aku menyerah?”
“Tidak, aku hanya bilang kau benar-benar… beruntung,” jawab Nadine sambil menahan senyum geli.
Jam terus berjalan. Satu jam sebelum pulang, suasana kantor mulai sepi. Hanya beberapa karyawan yang masih bertahan, dan salah satunya tentu saja Audy. Sambil menatap layar monitor, ia berbisik pelan, “Selamat tinggal, kebebasan sore. Selamat datang dunia hitam bernama lembur.”
Nadine menepuk bahunya. “Tenanglah, kita hanya sampai pukul delapan malam. Tapi pekerjaan menumpuk sekali, bisa sampai pukul sepuluh. Tapi tenang saja, aku akan menemanimu.”
Audy mengeluh panjang. “Pukul sepuluh? Ya Tuhan… semoga Daddy tidak tahu aku masih hidup di kantor ketika semua orang sudah bermimpi indah di kasurnya.”
.....
Jarum jam dinding sudah melompati angka tujuh. Suasana kantor sunyi, hanya lampu neon putih yang setia menemani. Di meja administrasi, Audy masih mengetik dengan wajah setengah putus asa.
“Ini benar-benar tidak manusiawi,” gumamnya sambil memukul-mukul tuts keyboard seakan-akan keyboard itu adalah kambing hitam.
Nadine, yang duduk di sebelahnya, hanya terkekeh. “Kau harus terbiasa. Aku sudah bilang, lembur di sini bukan sekadar lembur. Jika perintahnya datang langsung dari Pak Aldrich, artinya kita tidak akan keluar dari gedung sebelum pukul sepuluh malam.”
“Apa kau bilang?” Audy menoleh cepat, nyaris menjatuhkan stapler dari meja. “Jadi aku di sini, di kantor gelap ini, sampai pukul sepuluh? Untuk apa? Apa aku sedang di-ospek? Atau ini bagian dari balas dendamnya, karena aku menabraknya di lobi?!”
Nadine buru-buru memberi kode dengan gerakan tangan, menyuruh Audy diam. Namun Audy masih melanjutkan ocehannya.
“Jika dia memang dendam, seharusnya dia menantangku duel di parkiran, bukan menyiksaku dengan dokumen-dokumen tidak berguna ini!” seru Audy setengah berbisik, setengah meluapkan emosi.
Tiba-tiba suara berat terdengar dari balik pintu. “Duel di parkiran? Ku rasa itu ide yang… menarik.”
Audy membeku. Nadine langsung menunduk, berpura-pura fokus pada layar komputernya. Dan ambang pintu, berdirilah Aldrich dengan jas masih melekat di tubuh tegapnya, tangan dimasukkan ke saku celana, dan senyum miring yang terkenal mematikan itu terpatri di wajahnya.
“P-Pak Aldrich…” Nadine bangkit dengan kaku, menunduk hormat.
Audy, tentu saja, masih memasang wajah tidak terima. “Bapak menguping, ya?”
“Aku tidak perlu menguping. Suaramu yang tidak merdu itu lebih keras dari printer rusak,” balas Aldrich tenang. “Dan jika kau mengira aku dendam karena insiden lobi itu, kau terlalu percaya diri. Itu tak penting bagiku.”
Audy mendengus. “Lalu kenapa saya disuruh lembur pada hari pertama kerja? Itu jelas tidak masuk akal.”
Aldrich berjalan masuk, menatap Audy dengan pandangan penuh selidik. “Kau harus tahu, Audy, di sini bukan tempat untuk main-main. Dunia kerja itu keras. Jika kau tidak siap, lebih baik kau pulang, simpan saja mimpi indahmu di rumah mewahmu.”
Audy terperangah. Bagaimana bisa pria ini tahu? Atau jangan-jangan…?
Namun sebelum sempat menjawab, Nadine buru-buru berdiri dan menepuk pelan lengan Audy. “Diamlah. Ini bukan waktunya kau menyalakan kembang api di dalam kantor.”
Audy meringis, menahan diri. “Aku bukan kembang api, Nadine. Aku hanya korban ospek terselubung.”
Aldrich tersenyum samar, lalu menaruh setumpuk map di atas meja. “Selesaikan ini sebelum kau pulang. Oh, dan aku akan memeriksa hasilnya besok pagi. Jangan sampai ada kesalahan.”
Nadine menerima map itu dengan wajah pasrah. Audy ingin sekali membantah, tapi Nadine menatapnya dengan tatapan maut, seakan berkata: jangan buka mulutmu sekarang, atau kita tamat.
Aldrich berbalik hendak keluar, namun sempat menoleh sekali lagi. Tatapannya jatuh pada Audy, lalu bibirnya melengkung. “Dan, Audy… Jika menurutmu aku dendam, mungkin kau tidak sepenuhnya salah.”
Kedipan mata cepat menyertai kalimat itu, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan.
Audy terpaku, sementara Nadine menepuk keningnya. “Ya Tuhan, aku benar-benar harus menutup mulutmu dengan lakban mulai besok.”
.....
Audy menggenggam berkas setebal kamus bahasa kuno, kakinya melangkah ke arah ruang CEO. Malam semakin larut, hanya lampu beberapa ruangan yang masih menyala. Ia mengumpat dalam hati.
“Kenapa pula aku harus minta tanda tangan di jam segini? Bukannya bos biasanya sudah pulang jam enam?”
Saat sampai di depan pintu ruangan Aldrich, samar-samar telinga menangkap suara yang sedikit aneh. Suara wanita… bukan, lebih tepatnya suara rengekan. Audy tertegun, alisnya bertaut.
“Apa-apaan ini?” bisiknya pelan.
Lalu terdengar suara pria, berat dan tertahan, seperti sedang menahan sesuatu yang hampir meledak. Audy semakin bingung.
“Jangan-jangan… pria menyebalkan itu psiko? Jangan-jangan dia sedang… melatih karyawan baru dengan cara aneh?”
Rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Dengan langkah hati-hati, Audy menempelkan telinga di pintu. Semakin jelas ia mendengar gumaman genit dan desahan.
“Astaga…” Audy menutup mulutnya dengan tangan. “Ini pasti wanita yang tadi kulihat masuk ke ruangannya. Ya Tuhan, apa aku sedang menonton drama Korea versi kantor nyata?”
Karena rasa ingin tahunya terlalu besar, Audy perlahan membuka pintu, menyisakan celah kecil. Berkas ia dekap di dada, matanya mengintip seperti detektif amatir.
Dan di situlah ia melihatnya. Jas dan dasi Aldrich yang semula melekat di tubuhnya, kini tergeletak di karpet, pria itu duduk di sofa panjang. Seorang wanita cantik dengan pakaian serba terbuka duduk di pangkuannya, menempel begitu dekat. Aldrich merangkul pinggangnya, bahkan tangannya bergerak ke arah yang membuat Audy menutup mata separuh, setengah ingin pingsan.
“Aku… aku tidak siap untuk pemandangan ini…” gumamnya.
Tiba-tiba, wanita itu terdengar mendesah panjang lalu tubuhnya terkulai lelah di sofa. Aldrich menurunkannya perlahan, lalu berdiri sembari merapikan kemejanya yang sudah berantakan.
Dan saat itulah mata Aldrich bertemu dengan mata Audy—yang masih melongo di balik celah pintu dengan ekspresi shock maksimal.
Hening. Sangat hening.