Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Bab 4
...“Baru hari pertama masuk kerja… dan sudah harus menghadapi badai,”...
...-Revana-...
Saat Adrian dan ibu Revana sedang berbincang, Revana datang membawa kantong berisi makanan. Ia baru saja keluar sebentar untuk membelikan makanan untuk ibunya.
"Ibu, ini Revana bawakan makanan. Ibu pasti lapar, kan?" kata Revana dengan tersenyum, lalu senyum Revana memudar saat melihat Adrian duduk di samping ibunya. Ia terkejut dan bingung dengan kehadiran pria itu.
"Pak Adrian? Sedang apa Bapak di sini?" kata revana dengan nada bingung.
Adrian dan ibu Revana menoleh ke arah Revana. Adrian tersenyum canggung, sementara ibu Revana tampak lega melihat putrinya datang.
"Revana, Nak, ini Pak Adrian datang menjenguk ayahmu. Beliau sangat baik sudah mau meluangkan waktunya." jawab Bu Mira ramah.
Revana menatap Adrian dengan tatapan menyelidik. "Oh, begitu. Terima kasih, Pak, sudah datang."
Revana meletakkan kantong makanan di kursi dan duduk di samping ibunya. Ia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Adrian. Ia takut pria itu akan mengatakan sesuatu yang aneh di depan ibunya.
"Saya hanya ingin memberikan dukungan kepada kalian. Saya tahu ini adalah masa yang sulit bagi kalian." sahut Adrian canggung.
"Saya tidak menyangka Bapak punya waktu untuk hal-hal seperti ini. Bukankah Bapak sangat sibuk?" Revana menatap Adrian menyelidik.
Adrian menghela napas. "Saya memang sibuk, tapi saya selalu punya waktu untuk orang-orang yang saya pedulikan."
Revana terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia merasa bingung dengan sikap Adrian yang tiba-tiba menjadi perhatian.
Bu Mira menatap keduanya bergantian, senyum tipis terulas di kedua sudut bibirnya. "Sudahlah, Nak, jangan begitu. Pak Adrian sudah baik mau datang. Sebaiknya kita tawarkan beliau minum atau makan sesuatu." ucap Bu Mira mencairkan suasana.
"Baiklah, Bu." balas Revana enggan.
Revana menawarkan Adrian minuman dan makanan yang ia bawa. Adrian menerima tawaran itu dengan senang hati.
Suasana di ruang tunggu menjadi canggung dan tegang. Revana merasa tidak nyaman dengan tatapan Adrian yang terus mengarah padanya. Ia berusaha menghindari kontak mata dengan pria itu.
Tiba-tiba, seorang dokter keluar dari ruang operasi. Revana, ibunya, dan Adrian langsung berdiri menghampiri dokter itu.
"Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar. Pasien sekarang sedang dipindahkan ke ruang pemulihan." Dokter itu berucap sambil tersenyum lega.
Revana dan ibunya langsung saling memeluk dengan haru. Mereka sangat bersyukur karena operasi ayah Revana berjalan sukses.
"Terima kasih banyak, Dokter sudah menyelamatkan ayah saya." ucap Revana dengan mata berkaca-kaca.
Dokter tersenyum hangat. "Sama-sama. Ini sudah menjadi tugas saya. Sekarang, kalian bisa melihat pasien di ruang pemulihan setelah ia sadar."
Revana dan ibunya mengangguk senang. Mereka tidak sabar untuk melihat ayah Revana dan memastikan keadaannya baik-baik saja.
Adrian juga tersenyum lega melihat kebahagiaan di wajah Revana. Ia merasa senang karena bisa memberikan dukungan kepada gadis itu.
"Saya ikut senang mendengar kabar baik ini, Revana. Semoga ayahmu segera pulih." ucap Adrian tulus.
Revana menatap Adrian dengan tatapan lembut. "Terima kasih, Pak. Bapak sudah banyak membantu kami."
Setelah itu, Revana dan ibunya berpamitan kepada Adrian dan pergi menuju ruang pemulihan. Adrian menatap kepergian Revana dengan tatapan penuh harap. Ia berharap, setelah ini, hubungan mereka bisa menjadi lebih baik.
☘️☘️
Setelah beberapa minggu penuh kekhawatiran, akhirnya senyum kembali menghiasi wajah Revana. Ayahnya berangsur pulih, dan kedua orang tuanya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Mereka merasa, suasana tenang di desa akan lebih mendukung proses pemulihan sang ayah. Berat bagi Revana melepas mereka, namun ia mengerti, yang terpenting adalah kesehatan ayahnya. Kini, Revana kembali sendiri di rumahnya, siap untuk kembali beraktivitas.
Suasana kantor pagi itu terasa berbeda dari biasanya. Begitu Revana melangkah masuk, aroma kopi hangat di pantry tak mampu menutupi hawa tegang yang menyelimuti ruangan. Langkah kakinya sempat terhenti ketika terdengar suara keras dari ruang rapat besar di lantai dua.
“Kenapa laporan ini bisa berantakan begini?!” suara Adrian, sang CEO, menggema. Nada suaranya tajam, menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya.
Beberapa karyawan yang lalu-lalang hanya bisa saling pandang. Wajah mereka jelas menunjukkan kecemasan. Revana, yang baru kembali setelah seminggu absen karena merawat ayahnya, merasakan degupan jantungnya semakin cepat.
“Sepertinya… aku datang di saat yang salah,” gumamnya lirih, sambil menarik napas panjang.
Tak menunggu lama, ia mengetuk pintu ruang rapat. Pintu terbuka, memperlihatkan Adrian yang berdiri di ujung meja dengan wajah merah padam. Beberapa kepala divisi tertunduk, seolah takut untuk menatap langsung.
“Kalau begini terus, jangan harap perusahaan ini bisa bertahan! Minggu depan kita sudah harus presentasi ke investor, tapi laporan keuangan dan progres proyek malah penuh dengan data tidak sinkron. Ini keterlaluan!”
“Maaf, Pak… mungkin ada kesalahan input dari tim saya. Kami akan segera perbaiki—” Raka, salah satu kepala divisi keuangan berusaha menjelaskan.
namun dengan cepat Adrian menyela penuh penegasan. “SEGERA?! Seharusnya ini sudah selesai dari kemarin, Raka! Jangan memberi saya alasan basi.”
Revana memberanikan diri masuk, berdiri dengan sopan di dekat pintu.
“Permisi, Pak Adrian… saya sudah kembali bekerja hari ini.”
Adrian sempat menoleh. Wajahnya masih tegang, namun sorot matanya berubah sedikit ketika melihat Revana.
“Kamu akhirnya masuk juga. Baik. Duduk di meja kerjamu. Aku butuh semua data dari divisi dikompilasi ulang, bersih, rapi, sebelum jam lima sore. Pastikan semua tim melaporkan ke kamu.”
Revana mengangguk, meski dalam hatinya sedikit gugup.
“Baik, Pak. Saya akan urus.” jawab Revana.
Adrian lalu kembali menatap para kepala divisi dengan dingin.
“Dan kalian semua, mulai sekarang Revana yang akan jadi filter laporan. Tidak ada lagi data mentah masuk ke meja saya tanpa dicek olehnya. Mengerti?”
Serentak semua menjawab, “Mengerti, Pak.”
Revana melangkah keluar, masih bisa mendengar suara pintu rapat tertutup keras di belakangnya. Ia menarik napas panjang, menenangkan diri.
“Baru hari pertama masuk kerja… dan sudah harus menghadapi badai,” bisiknya sambil menyalakan komputer.
Para kepala divisi keluar dari ruang rapat dengan wajah muram. Beberapa menghela napas panjang, sebagian lain menggerutu pelan. Revana yang baru saja menata dokumennya di meja ikut menoleh.
“Gila… marahnya kayak singa lepas kandang.” ucap Raka lirih sambil berjalan.
“Ya salah siapa? Laporan keuangan nggak rapi, jadinya kita semua kena semprot.” sahut Dina, kepala divisi pemasaran.
Raka melirik Revana. “Sekarang sih semua dilempar ke sekretaris kesayangan bos.”
Revana terdiam. Ia menatap mereka sekilas, kemudian memilih tersenyum tipis.
“Saya hanya menjalankan perintah. Kalau memang semua data harus lewat Saya dulu, berarti saya juga butuh kerja sama kalian. Kalau tidak… kita semua yang kena omel.” jawab Revana.
Dina menatap Revana sejenak, lalu mengangguk.
“Ya sudah. Saya harap kamu bisa bekerja sama dengan baik Rev.”
“Baik Bu Dina, Saya mengerti. Jadi, mulai siang ini, kirimkan semua laporan ke saya. Saya akan rangkum dan cek ulang sebelum sampai ke Pak Adrian.”
Para kepala divisi saling berpandangan. Meski awalnya enggan, mereka akhirnya setuju.
Beberapa jam kemudian, tumpukan dokumen dan file digital memenuhi meja Revana. Tangannya sibuk mengetik, matanya fokus membaca data demi data. Sekali-sekali ia menyesap kopi hitam yang sudah hampir dingin.
Adrian keluar dari ruangannya. Wajahnya masih serius, tapi kali ini tanpa teriakan. Ia berdiri di dekat meja Revana, memperhatikan.
“Kamu baru saja kembali, tapi langsung dibebani hal sebesar ini. Keberatan?”
Revana berhenti mengetik, lalu menatap bosnya itu dengan tenang.
“Tidak, Pak. Justru saya senang bisa membantu. Lagipula… setelah seminggu absen, saya merasa harus menebus banyak hal yang tertinggal.”
Adrian menatapnya cukup lama, lalu menarik napas.
“Hm. Baik. Pastikan semua selesai sebelum jam lima. Investor butuh data yang rapi. Aku tidak mau ada celah.”
Revana menatap Adrian ragu.“Baik, Pak. Bisa saya tanyakan sesuatu?”
“Apa?”
“Kalau semua laporan masuk ke saya dulu, berarti saya juga perlu wewenang untuk menolak laporan yang tidak sesuai. Apakah saya bisa mendapatkan izin langsung dari Bapak?”
Adrian menaikkan alisnya. Sorot matanya sempat berubah, seolah menimbang permintaan itu. Lalu, tanpa ragu ia mengangguk.
“Kamu berani sekali. Tapi itu bagus. Anggap saja mulai hari ini, kau bukan hanya sekretaris, tapi juga quality control. Jangan buat aku menyesal mempercayaimu.”
Revana menahan senyum. “Terima kasih, Pak.”
Adrian menatapnya sekali lagi, lalu kembali masuk ke ruangannya. Meski pintu tertutup, Revana masih bisa merasakan atmosfer tegas yang mengitari pria itu. Tapi di sisi lain, ada rasa aneh—seolah Adrian mulai menunjukkan bahwa ia benar-benar mengandalkan dirinya.
Revana menghela napas panjang.
“Ini baru hari pertama… tapi aku merasa, badai yang sebenarnya belum benar-benar datang.”