Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Bayangan yang Sulit Hilang
Di dalam sebuah mobil, Stasia terus menatap keluar jendela. Pandangannya mengikuti lalu-lalang kendaraan dan bangunan yang tampak asing sekaligus akrab. Kota ini… kota yang dulu ia tinggalkan sebelas tahun lalu. Banyak yang sudah berubah, tapi tetap saja kota ini menyimpan begitu banyak kenangan indah yang sulit ia hapus dari ingatan.
Refleks, jemarinya menggenggam sebuah bandul kalung berbentuk tetesan air dengan bintang kecil di dalamnya. Kalung pemberian seseorang yang dulu sangat berarti dalam hidupnya.
Stasia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang dipenuhi tanya.
Apakah dia masih mengingatku? Ah… mungkin sekarang dia sudah menikah. Atau mungkin sudah memiliki seseorang yang lebih berarti di hidupnya. Bagaimana mungkin aku datang kembali dan mengganggu kebahagiaannya? Biarlah dia bahagia dengan orang yang lebih pantas.
Ia menghela napas panjang, lalu menunduk menatap Ares yang tertidur pulas di pangkuannya. Dengan lembut, ia mengusap kepala putranya.
“Yang kupunya sekarang hanya Ares. Hanya Ares yang tersisa… Setidaknya Tuhan tidak membiarkanku sendiri di dunia ini,” bisiknya lirih. “Kak, aku akan menjaga Ares. Menyayanginya, sebagaimana kamu dulu selalu menyayangiku. Kamu harus tenang di surga, karena aku akan memastikan kebahagiaan Ares untukmu.”
Mobil itu terus melaju melewati jalan-jalan kota.
Sementara itu, di sebuah kantor megah, seseorang sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Bahkan suara asistennya yang berulang kali memanggil pun tidak sanggup membuyarkan lamunannya.
“Pak… pak Damar.”
Tidak ada sahutan. Damar masih menatap layar laptop, tapi jelas pikirannya melayang entah ke mana.
“Pak!” suara sang asisten, Abas, terpaksa meninggi.
Damar tersentak, menoleh dengan sorot mata tajam. Raut dinginnya seketika membuat Abas menelan ludah.
“Kamu sudah bosan hidup, Bas? Atau mau kupotong gaji sekarang?” ucap Damar dingin.
“Maaf, Pak… sedari tadi saya sudah memanggil, tapi sepertinya pikiran Anda sedang terlalu penuh sampai tidak mendengar,” jawab Abas gugup.
Damar mendengus kesal. “Ada apa?”
“Ini mengenai penempatan dua karyawan dari kantor cabang,” ucap Abas sambil menyerahkan dokumen.
Damar membacanya cepat, lalu berkata, “Tugas mereka tidak hanya sekadar riset pasar dan analisis kinerja cabang. Pastikan mereka juga ikut dalam penyusunan strategi peningkatan penetrasi pasar di Eropa. Tambahkan juga: beri mereka akses penuh ke tim marketing pusat untuk bisa mengembangkan kampanye yang sesuai target internasional.”
“Baik, Pak.”
“Untuk kontrol kinerja, tetap di bawah divisi pengembangan.”
“Siap, Pak. Akan saya sampaikan ke Pak Bambang selaku kepala divisi pengembangan.”
“Masih ada lagi?” tanya Damar datar.
“Tidak, Pak. Semua sudah siap. Sesuai rencana, tiga hari lagi rapat bersama mereka dan tim pengembangan serta pemasaran.”
“Kalau begitu, pergilah.”
Abas ragu sejenak. “Maaf, Pak… ada satu lagi.”
Tatapan Damar kembali menusuk. “Apa lagi?”
“Pak Hadi ingin mengajak Anda makan malam. Katanya sebagai perayaan karena putrinya akan membuka butik baru.”
Seketika suhu ruangan seperti turun beberapa derajat. Tatapan dingin Damar membuat Abas kaku di tempat.
“Kamu tahu apa jawabanku, kan?” suara Damar berat dan dingin.
“B-baik, Pak… a-akan saya sampaikan bahwa Anda tidak bisa hadir untuk urusan pribadi.”
“Pergilah.”
“Siap, Pak.” Abas langsung keluar dengan langkah tergesa.
Damar kembali bersandar di kursinya. Matanya terpejam, mencoba mengusir kekacauan di kepalanya. Namun bayangan sosok yang ditemuinya pagi tadi terus saja muncul, menolak untuk hilang.
***
Sementara itu, di rumah sakit, Wulan yang baru saja keluar dari ruang NICU mendapati seorang pria berdiri di depan pintu. Ia sedikit terkejut ketika pria itu menyapanya.
“Permisi… bisa kita bicara sebentar?” tanya pria itu.
“Ya, kita bisa bicara di sini saja, sambil saya menunggu mama membawa bayi saya ke sini,” jawab Wulan tenang.
“Baiklah, kita bicara di sini.” Andreas mengangguk singkat.
Seorang suster menghampiri dan membantu memposisikan kursi roda Wulan.
“Terima kasih,” ucap Wulan lembut sebelum suster itu berlalu.
Andreas sempat tampak kikuk melihat Wulan di kursi roda.
“Eh… Anda tidak apa-apa? M-maksud saya…”
Wulan tersenyum tipis, melihat betapa gugupnya pria itu memilih kata.
“Tidak apa-apa, saya baik-baik saja. Hanya saja, mama masih khawatir karena kemarin sore saya baru melahirkan.”
“Oh… maaf, saya sempat berpikir terlalu jauh.”
“Tidak apa-apa, Pak…”
“Ah, perkenalkan. Saya Andreas, Anda bisa panggil saya Andre.”
“Baiklah, saya Wulan. Anda… ayah baby Reynald?”
Andreas mengangguk pelan. “Ya, saya ayah Baby Rey. Saya ingin mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan Anda kepada putra saya.”
Wulan tersenyum tulus. “Tidak apa-apa, Pak Andre. Saya sendiri yang berinisiatif. Saya tahu bagaimana rasanya keresahan seorang orangtua. Saya yakin, hal baik yang saya lakukan suatu saat akan berbalik menjadi kebaikan untuk putra saya juga.”
“Saya benar-benar berhutang budi pada Anda. Bagaimana saya harus membalasnya?”
Wulan menggeleng lembut. “Anda tidak perlu sungkan. Rawat saja putra Anda dengan baik. Melihatnya sehat saja sudah cukup membuat saya lega. Kalau Anda membutuhkan donor ASI, mungkin saya bisa bantu.”
“Maksud Anda… Anda bersedia menjadi donor ASI untuk putra saya?” Andreas menatapnya tak percaya.
“Bila memang Baby Rey masih membutuhkan, silakan saja, Tuan.”
“Terima kasih banyak, Bu Wulan.”
Wulan tersenyum lembut. “Saat ini saya dirawat di ruang VIP 3. Kalau Anda butuh bantuan, jangan sungkan. Ini semua demi Baby Rey.”
“Terima kasih, Bu Wulan. Mmm… kalau berkenan, boleh saya minta nomor Anda?”
“Tentu. Kita bisa berkomunikasi untuk urusan Baby Rey.” Wulan mengambil ponsel Andreas dan mengetikkan nomornya.
Andreas ragu sejenak sebelum bertanya, “Mmm… untuk menjadi donor ASI, apakah suami Anda menyetujui? Dan bagaimana dengan bayi Anda sendiri?”
“Suami saya tidak akan marah, dia pasti mengerti. Dan untuk bayi saya, jangan khawatir. Banyak ibu yang menyusui bayi kembar, mereka bisa melakukannya. Saya anggap saat ini saya sedang memiliki dua bayi. Tentunya, saya akan berusaha menjaga kondisi agar bisa memberi nutrisi untuk keduanya.”
“Lan…” suara Mama Rini yang datang membawa bayi Wulan mengintrupsi percakapan mereka.
“Sudah selesai, Ma?” tanya Wulan sambil menerima bayinya yang dipindahkan ke pangkuannya.
“Sudah, Nak. Lihatlah, dia sudah wangi,” jawab Mama Rini sambil tersenyum.
Wulan menatap bayinya dengan penuh kasih, lalu menoleh ke arah Andreas.
“Pak Andreas, saya permisi dulu. Saya ingin kembali ke kamar bersama bayi saya.”
“Baik, Bu Wulan. Terima kasih. Semoga Anda dan bayi Anda selalu sehat.”
“Terima kasih,” balas Wulan dengan senyum tulus, sebelum Mama Rini mendorong kursi rodanya menjauh.
Andreas hanya bisa berdiri di tempat, menatap penolong putranya yang perlahan hilang dari pandangan, sementara hatinya dipenuhi rasa syukur sekaligus heran pada wanita itu.