gara-gara nonton cek khodam online yang lagi viral membuat Deni tertarik untuk mengikutinya. Ia melakukan segala macam ritual untuk mendapatkan khodam nya. Bukannya berhasil Deni justru diikuti setan berdaster, tapi sayang wujudnya kurang keren
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ef f, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Tingkah aneh Sukma malam itu menjadi topik pembicaraan seluruh warga desa. Mereka menganggap jika cucu mbok yem terkena sawan.
Ratih bukannya tak tahu, bahkan saat prosesi pemakaman itu, ia sudah menyadari jika anak bungsu nya mendapatkan tatapan berbeda-beda dari warga. Namun itulah yang terjadi, ia tidak bisa menutupi bagaimana keadaan putrinya.
Dengar-dengar, sebelum meninggal, mbok yem menyampaikan sebuah pesan, kira-kira ada yang tau gak pesannya apa?" tanya ibu-ibu yang lagi ngerumpi sambil berbelanja sayuran.
"Aku juga kurang tau Yu, katanya yang dapat pesan itu cuma Sulastri"
"Kalo gitu, kita tanyakan aja ke Sulastri" ibu yang lain menimpali.
"Orangnya gak mau bilang, katanya gak baik karena masih dalam keadaan berduka"
Kepergian mbok yem memang baru memasuki hari ke dua, hingga Sulastri enggan menyampaikan pesan yang ia dengar kepada warga.
"Ih, makin penasaran kan. kira-kira apa ya wasiatnya? Soalnya kan yang dapet itu Sulastri, bukan anak kandungnya sendiri."
"Ketika sedang asik bergosip, sekumpulan ibu-ibu itu melihat Deni yang berjalan ke arah mereka, hingga mengingatkan bahwa yang mendengar wasiat itu bukan cuma Sulastri semata.
Deni melewati kumpulan ibu-ibu itu dengan sungkan, tak lupa ia tersenyum seraya menyapa.
"Monggo bu," ucapnya. Tapi wanita tunggu kiris itu, eh, tinggi kurus itu menghadang langkah Deni.
"Tunggu Den."
"Ada apa ya bu?"
"Kamu gak buru-buru kan? Kami mau bicara sama kamu nih." tatapan para ibu-ibu itu membuat Deni merasa takut. Tapi tak kuat jika harus menghadapi lima ras terkuat di muka bumi sekaligus.
"Bicara apa bu? Kalo gosip tentang artis terkini, kurang tau juga, jarang nonton berita soalnya."
"Bukan, kami bukan tanya soal itu. Dengar-dengar waktu mbok yem meninggal, kamu ada disana sama ibumu ya. Kamu pasti denger kan mbok yem ngasih pesan apa? Kami udah kepo berat nih."
Deni terdiam, meskipun pesannya menyangkut warga desa, tapi jika mengatakannya tentu akan menimbulkan kegaduhan yang membuat para warga jadi oversize, eh maksudnya overthinking.
"Em, sebenernya waktu itu saya memang berada disana. Tapi pas almarhum mbok yem menyampaikan pesan itu, saya lagi pakai headset, jadi gak kedengeran bu he he he."
"Yaaahhh." para ibu-ibu yang mendengar itu nampak kecewa berat, namun disisi lain, Deni lega karena mereka semua percaya.
"Kalo udah gak ada yang mau ditanyakan lagi, saya pamit pulang dulu ya bu."
"Eh, tunggu!" pedagang sayur yang dari tadi diam itu buka suara.
"Apa lagi? Mau tanya update harga sayuran? Tanya sama emak saya, jangan tanya saya." jawab Deni datar.
"Bukan, bukan itu, tapi kok wajah sampean gak asing ya mas." ucap bapak penjual sayur berusaha mengingat sesuatu.
"Yo jelas gak asing, dia anaknya Sulastri, warga desa sini." sahut salah satu ibu-ibu. Namun si tukang sayur masih melihat wajah Deni sambil mengingat sebuah peristiwa.
"Oh sekarang aku ingat, wajah kamu mirip sama pocong yang aku temui di depan ternaknya haji Rozikin."
Sontak saja Deni mendelik, sebuah kebetulan yang tak sengaja. Seorang yang lari terbirit-birit itu ternyata tukang sayur.
"Gak mungkin lah pak, masa cakep-cakep gini dibilang pocong." ucap Deni mengelak.
"Saya gak bohong kok, waktu itu saya baru pulang dari rumah saudara saya, tiba-tiba di depan gerbang muncul pocong itu sambil minta tolong bukain ikatannya. Ya otomatis saya langsung ngibrit lah." Tukang sayur itu bercerita dengan antusias, tanpa ia ketahui jika pocong itu memang orang di depannya.
"Terus kenapa bapak lari? Kan pocong itu cuma mau minta tolong ?" tanya Deni
"Woo lha gendeng bocah iki, emangnya kamu gak tau kisah pocong gundul?"
"Pocong gundul?"
"Iya, jenis varian pocong yang vagian kepalanya gak terikat. Kalo kalian ketemu sama pocong gundul itu lebih baik langsung lari kalo masih pengen selamat" terang tukang sayur yang bikin suasana pagi itu mendadak jadi merinding.
"Memangnya apa yang bisa dilakukan pocong ini?"
"Di kampung sebelah, katanya ada yang pernah ketemu pocong gundul, lalu sehari setelahnya dia meninggal dunia tanpa alesan yang jelas."
"Sek sek sek, kok ciri-cirinya sama kayak mbok yem ya? apa jangan-jangan mbok yem juga ketemu pocong gundul?"
Cerita dari tukang sayur itu justru mengundang dugaan demi dugaan yang melebar kemana-mana. Karena malas menanggapi akhirnya Deni memutuskan pergi meninggalkan mereka.
Setibanya di rumah, Deni hendak berangkat bekerja melihat mbak Ratih tengah mondar mandir kebingungan.
"Nyari siapa mbak?"
"Nyari Sukma, anakku Den, kamu lihat gak?"
"Duh, tadi aku lewat jalan desa juga gak liat Sukma mbak"
Deni yang melihat Ratih tampak cemas, apalagi tau kalo anak bungsu nya tidak seperti anak pada umumnya. Oleh karena itu perasaannya terketuk untuk membantu mencarinya, meskipun ia tau resikonya jika nanti bakal telat bekerja.
Dengan mengendarai motornya, Deni mengitari jalan desa, namun belum menemukan keberadaan Sukma. Ia juga menanyakan kepada para warga, namun tak ada yang bertemu dengan anak itu. sampai akhirnya ia melihat Sukma berjalan daei perbatasan desa bersama Vira.
"Sukma!" panggil Deni saat menghampiri mereka berdua.
"Sukma, dari mana aja kamu ? Ibu kamu mencari dari tadi."
"Mas kenal anak ini?" tanya Vira.
"Iya Vir, dia cucunya mbok yem. Ibunya pusing nyariin dia."
"Oh pantes aja, tadi aku liat Sukma duduk sendirian disana."
"Terimakasih ya Vir, aku akan segera mengantar Sukma ke ibunya."
Sesaat mereka berpisah, namun Deni baru tersadar jika sejak tadi Sukma tampak memegang benda mencurigakan. Yaitu tali panjang berwarna putih kusam yang menyerupai tali pocong.
"Sukma, kamu dapat benda itu dari mana?"
Sukma tak menjawab, ia masih sibuk memainkan tali itu sampai Deni tiba di depan rumah nya.
Dengan perasaan cemas yang masih ada, Ratih segera menghambur memeluk Sukma sambil memberikan berbagai macam teguran.
"Terimakasih Den, berkat bantuanmu Sukma bisa ketemu."
"Iya mbak, kalo gitu, aku berangkat kerja dulu."
Setelah itu Deni bergegas memacu sepeda motornya. Perkara tali yang dibawa Sukma masih ia pikir lain kali. Karena isi pikirannya sudah dipenuhi oleh wajah seram si juragan yang gemar potong gaji karyawan.
Deni berkendara dengan cemas, dan benar saja, di ujung sana sudah terlihat batang hidung bos nya yang mondar-mandir di depan gerbang.
"Apes! Apes!"