Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3: The Crown That Burns
Langit pagi di Ravennor berwarna kelabu. Bukan karena hujan, tapi karena kabut tipis yang menebal seolah menandakan bahwa sesuatu sedang bergolak di dalam perut istana—seperti bisikan sihir yang belum bangkit sepenuhnya.
Seraphine berdiri di dalam kamar kerajaannya yang lapang, tapi dingin. Dinding-dinding marmer, tirai-tirai berat berwarna biru tua, dan lantai mengilap dari batu obsidian tak mampu mengusir rasa asing di dadanya.
Percakapannya dengan Pangeran Caelum semalam masih mengendap dalam pikirannya, seperti bara dalam abu yang nyaris padam, tapi menyimpan panas yang tak terduga.
"Aku kembali… untuk mengambil semuanya."
Dan Caelum tidak membantah.
Dia tidak marah. Tidak juga memanggil penjaga. Dia hanya menatapnya—diam, dengan sesuatu yang lebih dalam dari rasa takut atau rasa bersalah. Mungkin... harapan. Mungkin kehancuran.
Di ruang pertemuan bangsawan pagi itu, para anggota dewan kerajaan duduk melingkar menghadap peta besar kerajaan Ravennor. Suara mereka rendah namun tajam. Tak satu pun dari mereka menyadari bahwa di balik dinding rahasia, Seraphine mendengarkan.
Lorong kecil itu dulunya digunakan oleh pelayan-pelayan tua untuk mengintai rapat rahasia. Sekarang menjadi mata dan telinga Seraphine.
"—Pangeran Caelum menjadi semakin... tidak terduga," kata Lord Castien, salah satu penasihat utama. Suaranya berat dan mengandung ketegangan.
"Tidak terduga, atau berbahaya?" timpal Lady Rhessa, satu-satunya wanita di dewan yang masih tersisa dari generasi lama.
"Dia pewaris tahta. Tapi dengan darah sihir di dalam dirinya, tak ada jaminan dia tak akan menjadi ancaman. Sama seperti ibunya."
“Diam,” desis Lord Arvik. “Jangan sebut perempuan itu. Kita semua tahu bagaimana akhir hidupnya.”
Seraphine mencatat dalam hati.
Ibu Caelum.
Tak banyak yang dibicarakan tentangnya. Hanya bisikan-bisikan tua bahwa dia bukan wanita biasa—bahwa darah penyihir kuno mengalir dalam dirinya, dan bahwa pernikahannya dengan Raja Elric lebih merupakan perjanjian politik daripada cinta.
Dan sekarang, darah itu ada di dalam Caelum. Tidak terkendali. Liar.
“Ada yang lebih penting dari itu,” kata Castien lagi. “Perempuan baru itu. Calon tunangan. Siapa dia sebenarnya?”
“Lady Seraphine dari Valmere. Keluarga minor dari selatan.”
“Tak ada catatan jelas soal Valmere.”
“Tapi Pangeran Caelum yang memilihnya.”
Hening.
“Dan kita tidak bisa menolak pilihannya… bukan setelah apa yang terjadi terakhir kali dengan Lady Evaline.”
Seraphine mengepalkan tangannya.
Lady Evaline?
Nama itu terdengar asing—dan mengganggu. Apakah Caelum pernah bertunangan sebelumnya?
Sore itu, Seraphine menemukan waktu untuk menyelinap ke ruang catatan kerajaan. Dengan dalih ingin belajar sejarah Ravennor demi perannya sebagai calon ratu, ia diperbolehkan mengakses rak bagian tengah. Tapi Seraphine tahu letak yang lebih penting—bagian bawah, tempat di mana catatan-catatan yang ‘terlalu sensitif’ disimpan.
Ia turun ke tingkat terendah perpustakaan, di mana udara menjadi lembap dan dingin. Jari-jarinya menyusuri nama-nama yang tertulis pada punggung-punggung buku, hingga matanya tertumbuk pada nama itu.
Evaline D'Aurent.
Catatan pertunangan kerajaan. Tertanggal dua tahun lalu.
Seraphine membuka gulungan itu. Di dalamnya, tertulis bahwa Lady Evaline adalah bangsawan tinggi dari utara, yang ditunangkan dengan Caelum sebagai perjanjian aliansi. Namun tiga bulan sebelum pernikahan, ia dinyatakan hilang. Tenggelam di sungai Esmere saat dalam perjalanan menuju ibukota.
Tubuhnya tak pernah ditemukan.
Seraphine menutup gulungan itu perlahan.
Menghilang.
Atau… dihilangkan?
Di tempat lain dalam istana, Pangeran Caelum berdiri menghadap cermin besar di dalam kamarnya. Bayangannya tampak lebih gelap dari biasanya. Di balik kemeja hitamnya, ia tahu, bekas luka sihir masih membekas di dada—berdenyut pelan seperti racun yang hidup.
Ia menatap wajahnya sendiri. Mata emasnya tak tenang.
Dia telah mengenali Seraphine sejak malam pertama. Bukan hanya wajahnya—tapi matanya. Mata Elara Verndale yang tidak pernah hilang dari ingatannya.
Tujuh tahun lalu, dia tidak bisa menyelamatkannya. Kini, gadis itu berdiri di istananya—dengan nama baru dan dendam yang membara.
Dan anehnya… dia tidak takut.
Dua malam setelah pertemuan di balkon, sebuah pesta kecil digelar di taman kaca istana. Musik mengalun lembut, para tamu berpakaian dalam sutra dan permata. Seraphine mengenakan gaun berwarna perak hitam, berkilauan seperti malam yang mengandung badai.
Pangeran Caelum berdiri di sisi lain ruangan, mengamati diam-diam.
Lady Mirella mendekat pada Seraphine dengan secawan anggur.
“Ada rumor baru,” bisiknya. “Seseorang melihat seorang pria dengan jubah merah menyelinap keluar dari kapel tua.”
Seraphine menoleh tajam. “Kapan?”
“Dua malam lalu. Malam yang sama saat kau berbicara dengan pangeran di balkon.”
Darah Seraphine terasa membeku. Pria berjubah merah.
Salah satu simbol Ordo Umbra.
Mereka kembali.
Malam itu, Seraphine menyelinap keluar dari kamarnya melalui lorong rahasia dan menuju kapel tua di belakang taman timur. Bangunan itu sudah lama tak digunakan, dan sebagian dari atapnya sudah runtuh.
Ia menyusuri lorong gelap di bawah altar, membuka pintu batu tua yang nyaris tersembunyi di balik pilar.
Dan di sana…
Seseorang menunggunya.
“Sudah lama, Elara,” kata suara itu.
Pria bertubuh tinggi dengan jubah merah darah berdiri di ujung ruangan. Saat ia menurunkan tudungnya, mata Seraphine membelalak.
“Ash.”
Kakaknya.
Hidup.
Masih hidup.
Mereka saling menatap selama beberapa detik yang terasa seperti seumur hidup.
Seraphine akhirnya melangkah maju, dan pelukan mereka terjadi tanpa kata-kata. Air matanya jatuh, meski sebelumnya ia mengira takkan bisa menangis lagi.
“Kau masih hidup. Aku mencarimu ke mana-mana…”
“Aku tahu. Dan aku mengawasimu dari jauh. Tapi kita tidak bisa bertemu—belum saatnya.”
“Kau bersama Ordo Umbra?”
Ash mengangguk. “Merekalah yang menyelamatkanku. Dan mereka punya rencana, Seraphine. Bukan hanya untukmu… tapi untuk Ravennor.”
“Orin?” tanya Seraphine cepat. “Kau tahu di mana dia?”
Ash terdiam. “Belum pasti. Tapi ada kemungkinan dia hidup. Kami sedang mencarinya.”
“Kalau begitu, kita harus—”
“Tidak sekarang.” Wajah Ash menjadi serius. “Kau harus tetap bermain peranmu di istana. Tetap dekat dengan pangeran. Kita harus tahu siapa di pihak kita dan siapa yang akan menjatuhkan kita.”
“Caelum... dia tahu siapa aku sebenarnya.”
Ash terkejut. “Dia tahu?”
“Dan dia membiarkanku tetap hidup.”
Mata Ash menyipit. “Itu bisa jadi pertanda baik, atau sangat buruk.”
Beberapa hari berlalu. Di permukaan, Seraphine menjalani peran calon ratu yang anggun dan terlatih. Tapi di balik senyum dan tarian, ia kini menjadi mata-mata.
Ia mencatat siapa yang terlalu ramah. Siapa yang menghindari mata. Siapa yang berbisik saat ia lewat.
Sementara itu, Pangeran Caelum mulai bersikap aneh. Ia sering menghilang dari jam makan istana, kadang ditemukan berjalan sendirian di ruang bawah tanah, kadang duduk terlalu lama menatap api di ruang singgasana.
Dan pada malam kelima…
Api itu menjalar.
Ledakan terjadi di lorong barat istana. Api merah menyala hingga ke langit malam, memecah keheningan dengan raungan sihir liar.
Seraphine berlari dari kamarnya bersama para pelayan yang berteriak panik.
Di ujung lorong, ia melihatnya.
Caelum.
Berdiri di tengah kobaran api, tangannya berlumur darah, matanya menyala keemasan. Tubuhnya terhuyung, tapi sihir di sekelilingnya berputar seperti badai.
“Caelum!” Seraphine berteriak.
Ia berbalik perlahan. Wajahnya seperti bukan dirinya. Terluka. Hancur. Dan… takut.
“Menjauh!” katanya. “Aku tidak bisa mengendalikan—”
Satu ledakan lagi terjadi. Pilar batu runtuh. Para pengawal berlarian.
Seraphine berlari ke arahnya, menembus api, meraih tangannya. “Kau harus menutupnya! Tarik kembali sihirmu!”
“Aku… tidak bisa…”
Seraphine menggenggam wajahnya. “Kau bisa. Kau bukan ayahmu. Kau bukan mereka. Dengar aku.”
Sihir di tubuh Caelum mulai melemah. Perlahan, api surut. Napasnya terengah. Lalu ia jatuh pingsan dalam pelukan Seraphine.
Dan saat para pengawal datang, mereka melihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Pangeran pewaris tahta… diselamatkan oleh wanita yang datang sebagai calon ratu.
Dan mereka mulai berbisik.
Tentang darah.
Tentang sihir.
Dan tentang mahkota yang mulai terbakar dari dalam.
Pagi setelah insiden kebakaran di lorong barat istana, langit Ravennor tampak pucat, seperti luka yang belum sembuh. Asap masih menggantung di udara, samar, menempel di batu-batu tua seperti kenangan yang menolak hilang.
Istana dalam keadaan siaga. Para pengawal berbaris lebih rapat, pintu-pintu diperketat, dan para pelayan bicara dengan nada rendah seolah takut sihir itu masih bergentayangan di dinding-dinding.
Seraphine duduk di luar kamar perawatan Caelum. Pangeran itu telah tertidur selama hampir satu hari penuh. Para tabib tidak menemukan luka fisik parah, tapi tubuhnya kehilangan keseimbangan—seolah sihirnya menyedot kekuatannya dari dalam.
Ia mengingat betul bagaimana tubuhnya menggigil di pelukannya, bagaimana matanya bersinar dalam kegelapan seperti makhluk yang kehilangan kendali… atau seseorang yang terlalu lama menahan luka.
Sebuah suara membuyarkan pikirannya.
“Lady Seraphine.”
Ia menoleh. Seorang pria tinggi berjubah gelap berdiri di hadapannya. Matanya dingin, senyumnya kaku.
“Aku Lord Tharien, Kepala Keamanan Dalam Istana. Aku ditugaskan menyelidiki insiden semalam.”
Seraphine berdiri, menjaga ketenangan.
“Apakah Anda mencurigai seseorang?” tanyanya dengan nada tenang.
“Tidak ada yang mencurigai Pangeran Caelum secara terbuka… belum,” katanya pelan. “Namun, beberapa anggota dewan meminta agar Pangeran ditinjau secara medis… dan magis. Untuk memastikan dia masih pantas menjadi pewaris tahta.”
“Pantas?” Suara Seraphine meninggi sedikit. “Dia hampir mati semalam!”
“Dan nyaris menghancurkan sebagian istana,” sahut Tharien datar.
Ia mendekat. “Saya tak tahu dari mana Anda berasal, Lady Seraphine. Tapi jika Anda ingin tetap bertahan di sini… ada baiknya Anda berhati-hati. Ravennor tidak pernah bersikap lunak terhadap darah yang menyimpang.”
Mata Seraphine menajam. Tapi ia tersenyum manis. “Terima kasih atas sarannya, Lord Tharien. Tapi saya rasa… saya tahu betul seperti apa Ravennor.”
Dan lebih baik darimu, batinnya.
Sementara itu, jauh di bagian terdalam istana, di ruang bawah tanah yang terkunci dan jarang dikunjungi, seseorang membuka sebuah buku tua yang berdebu. Tangannya mengenakan sarung tangan kulit. Di depannya, api kecil menyala—bukan dengan kayu, tapi dengan darah yang mengering di dalam mangkuk perak.
Seseorang tertawa pelan.
“Caelum mulai retak… Dan si gadis itu, Elara, atau Seraphine… dia lebih berbahaya dari yang kita kira.”
Bayangan-bayangan mulai bergerak di tembok. Simbol sihir kuno menyala di lantai.
Seseorang—mungkin seorang bangsawan, mungkin seorang pelayan, mungkin seseorang yang lebih dekat dari yang mereka kira—sedang bermain permainan lama.
Permainan mahkota.
Sore itu, Caelum akhirnya terbangun. Matanya terbuka perlahan, dan yang pertama ia lihat adalah Seraphine duduk di dekat jendelanya, cahaya matahari membingkai siluet wajahnya.
“Masih hidup rupanya,” gumamnya dengan suara serak.
Seraphine berdiri pelan, mendekat. “Jangan bercanda soal itu. Aku hampir menyeret tubuhmu ke ruang bawah tanah sendiri.”
“Berani sekali,” katanya. Tapi matanya tak menunjukkan tawa—hanya kelelahan dan sedikit rasa lega.
Seraphine duduk di sampingnya, pelan.
“Kau harus belajar mengendalikannya,” bisiknya. “Sihirmu.”
“Aku tak tahu bagaimana.”
“Aku bisa membantumu.”
Caelum menoleh perlahan, mempelajari wajahnya.
“Mengapa?” tanyanya. “Kau datang untuk membalaskan dendam keluargamu. Tapi sekarang kau menyelamatkanku. Mengapa?”
Seraphine menarik napas pelan. Lalu menjawab jujur.
“Karena jika aku ingin menghancurkanmu, aku ingin melakukannya saat kau sadar… dan memilih apakah kau akan melawan atau tidak.”
Caelum tersenyum lemah. “Kau jujur. Aku suka itu.”
Mereka saling menatap lama. Tak ada lagi tipuan, tak ada kebohongan. Hanya dua orang yang sama-sama terpecah, saling menahan kehancuran satu sama lain—dan entah bagaimana, saling menarik satu sama lain juga.
Malam pun turun, perlahan. Tapi di Ravennor, malam bukan hanya gelap—ia penuh rahasia.
Di atap tertinggi istana, seorang pengintai dari Ordo Umbra menyampaikan pesan pada seekor burung hitam besar—penjaga kuno yang hanya terbang saat darah akan ditumpahkan.
“Dia masih hidup. Mereka berdua. Dan mahkota itu mulai retak.”
Burung itu terbang, menembus langit malam.
Sementara di istana, Seraphine dan Caelum duduk berdampingan, menatap api yang menari dalam perapian.
Dan untuk sesaat, keduanya lupa bahwa mereka adalah musuh.
Karena yang menyatukan mereka… adalah luka.
Dan luka yang sama, bisa jadi mahkota… atau kehancuran.
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~