Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 04. Menjemputnya Sendiri
Gadis itu masih bersembunyi dalam pelukan ibunya, seolah ingin mengabadikan pelukan itu selamanya. Dalam hatinya ia berbisik lirih, “Ma, aku nggak mau jauh darimu lagi...”
Kehidupan sebelumnya seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Saat itu, ia dibawa paksa oleh Erland.
Bukan untuk disambut, tapi untuk di singkirkan perlahan-lahan. Ia juga diintimidasi oleh ibu dan adik tirinya, dan juga bahkan diabaikan oleh pelayannya.
Semua itu meninggalkan luka yang tak terlihat, tapi terasa sangat menyakitkan. Dia ingin lari jauh dari masa lalu itu—dari semua kenangan yang membuatnya merasa sendirian, tak diinginkan, dan tak punya tempat untuk pulang.
Sekarang, setiap detik dalam pelukan ibunya terasa begitu berharga. Hanya di sini, dia merasa benar-benar aman, seolah seluruh dunia yang menakutkan bisa lenyap sesaat.
Di masa lalunya, demi bisa diterima, dia belajar untuk menyimpan semua perasaannya dalam diam. Ia hidup dalam kehati-hatian, seperti melangkah di jalan yang rapuh. Tak berani bersuara terlalu keras, tak bisa bernapas terlalu bebas, karena satu kesalahan kecil saja, bisa membuatnya disingkirkan.
Ibu tirinya bahkan melarangnya untuk menemui sang ibu, dan dia terlalu takut untuk melawan. Ia hanya bisa menahan rindu dalam diam. Tak ada yang tahu, bahwa saat kesempatan itu akhirnya datang... ibunya telah tiada.
Kenangan itu menyayat perasaannya. Tanpa sadar, pelukannya pada sang ibu semakin erat. Seakan ia tak mau kejadian tragis itu terulang lagi.
> Sebab waktu tak pernah berjanji akan memberi kesempatan kedua, maka selagi masih bisa—peluklah mereka yang kau cinta, sebelum hanya kenangan yang tersisa.
......................
Sementara itu, seorang pelayan baru saja kembali. Dia mulai melaporkan kejadian tersebut kepada seseorang wanita yang tak lain adalah Elmira ibu tiri Vilya.
Dan dia mulai melebih-lebihkan dan membesar-besarkan cerita betapa kasar, sombong, dan keras kepalanya gadis tersebut.
"Ini benar-benar tidak bisa di biarkan." Seorang gadis yang mendengarkan cerita pelayan itu dia memutar matanya dan memilik ekspresi menghina di wajahnya.
"Elena." Wanita muda itu duduk anggun di sofa. Di seberangnya, sang ibu menoleh pada pria di sampingnya. “Marvin, kenapa kamu nggak menjemputnya secara pribadi?”
“Ma, apa-apaan sih!?” Elena yang mendengar itu merasa keberatan. “Dia cuma gadis liar. Kenapa Ayah harus repot-repot menjemputnya!"
“Elena, dia itu kakakmu,” koreksi wanita itu dengan tegas.
"Aku tidak ingin mempunyai saudari perempuan seperti dia!" Wajah gadis itu penuh dengan rasa kesal.
“Elena, cepat kembali ke kamar.” Ujarnya ibunya dengan tegas.
"Huh!" Gadis itu mendengus dingin dan berbalik untuk pergi.
"Kamu juga bisa pergi." Dia melambaikan tangannya kepada pelayan Erland.
Hanya tersisa sepasang suami istri di ruang tamu yang kini hening. Dengan nada lembut dan penuh pertimbangan, Elmira membuka suara,
“Marvin, bagaimanapun juga, Vilya masih sangat muda. Wajar jika cara berpikirnya belum matang. Apa yang dia lakukan itu... mungkin hanya bentuk kepeduliannya pada Rosalina. Lagipula, waktu itu bukankah aku yang mengecewakannya saat itu..."
Saat Elmira mengatakan ini, sorot matanya memerah. "Dia sahabatku, tapi aku..."
"Elmira, cukup." Pria itu mengerutkan alisnya seolah dia tidak ingin membicarakan apa yang terjadi saat itu.
"Marvin, pergi dan bawalah ia ke Mansion. Ayah sudah memberikan perintah untuk kita." Elmira menghela nafas, "Jika Rosalina benar-benar tidak bisa menghilangkan kebenciannya, maka biarkan aku pergi."
Saat ini, Elmira mulai menangis dengan suara rendah. Air matanya yang sudah mengalir di pipinya membuat siapapun yang melihatnya merasa kasihan, tetapi di balik itu semua hanyalah sandiwara Elmira.
"Tidak perlu bagimu untuk pergi." Marvin menarik Elmira ke dalam pelukannya.
"Aku akan pergi sendiri untuk menemuinya, jadi jangan pedulikan apa yang terjadi belasan tahun yang lalu, itu bukan salahmu."
"Ini salahku. Ini salahku karena tidak bisa mengendalikan hatiku sendiri."
Elmira bersandar di pelukan pria itu dan berkata, "Hanya saja aku kasihan dengan gadis itu, seorang anak yang tumbuh dengan kebencian, aku takut..."
Pria itu menghela nafas, "Sudah larut, pergi dan istirahatlah. Serahkan masalah ini padaku."
"Ya." Elmira mengangguk dan berdiri. Dia berbalik dan kemudian tersenyum dengan licik.