NovelToon NovelToon
Cinta Suci Aerra

Cinta Suci Aerra

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:698
Nilai: 5
Nama Author: manda80

Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menyakiti? Membantu?

Perjalanan pulang dari mal terasa seperti perjalanan menuju tiang gantungan. Setiap lampu merah adalah jeda singkat yang menyiksa, memberiku waktu lebih untuk merenungi pengkhianatan yang baru saja kulakukan. Tas tangan di kursi penumpang sebelahku terasa memancarkan aura dingin. Di dalamnya, sebuah ponsel menyimpan rekaman suara tawa, harapan, dan rahasia adikku, sebuah bukti kejahatan yang akan kuserahkan pada penjahat yang menungguku di rumah.

Senyum Lika saat kami berpisah di showroom mobil kembali terbayang. Ia memelukku erat, berbisik terima kasih berkali-kali, sama sekali tidak tahu bahwa mobil mewah yang akan segera ia dapatkan adalah umpan untuk menjeratnya. Harga mobil itu adalah kebebasannya, mimpinya, hatinya. Dan aku adalah perantaranya.

Ketika gerbang rumah terbuka secara otomatis, jantungku mencelos. Mobil meluncur masuk ke garasi yang luas dan senyap. Aku mematikan mesin, namun tetap duduk terpaku di balik kemudi. Aku butuh beberapa detik untuk mengumpulkan sisa-sisa keberanianku, untuk mengenakan kembali topeng istri patuh yang sudah mulai retak.

Saat aku melangkah masuk ke dalam rumah, keheningan menyambutku. Namun aku tahu, aku tidak sendirian. Mataku langsung tertuju pada ruang kerja Aldo yang pintunya sedikit terbuka, memancarkan seberkas cahaya. Dia di sana. Menungguku.

Dengan langkah berat, aku mendekati pintu itu dan mengetuk pelan. Tidak ada jawaban. Aku mendorongnya lebih jauh. Aldo duduk di kursi kulitnya yang besar, membelakangiku, menatap jendela raksasa yang menyajikan pemandangan kota di sore hari. Di mejanya, hanya ada sebuah laptop yang menyala.

“Mas?” panggilku lirih.

Ia tidak berbalik. Hanya kepalanya yang sedikit miring, menandakan ia mendengar kehadiranku. “Duduk,” perintahnya. Suaranya datar, dingin, tanpa emosi.

Aku berjalan mendekat dan duduk di salah satu kursi tamu di hadapan mejanya. Aku meletakkan tas tanganku di pangkuan, memeluknya erat seolah itu bisa melindungiku.

“Bagaimana harimu?” tanyanya, masih tanpa menoleh.

Pertanyaan itu terdengar seperti basa-basi paling mengerikan yang pernah kudengar. “Baik, Mas.”

“Hanya baik?” Ia akhirnya memutar kursinya perlahan, menghadapku. Tatapannya tajam, menembus langsung ke dalam jiwaku yang gemetar. “Aku kira harimu akan sangat produktif.”

Aku menelan ludah. “Aku… sudah bertemu Lika.”

“Aku tahu,” jawabnya singkat. “Aku tidak bertanya apa yang sudah kamu lakukan. Aku bertanya apa yang kamu dapatkan.”

Tanganku yang berkeringat meremas tas lebih erat. “Dia… dia senang sekali soal mobil itu, Mas. Dia berterima kasih banyak sama kamu.”

Aldo tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah mencapai matanya. “Tentu saja dia senang. Anak mana yang tidak senang diberi mainan baru? Jangan buang-buang waktuku dengan laporan tidak penting, Aerra. Berikan aku intinya.”

Napasaku tercekat di tenggorokan. Ini saatnya. Aku harus menyerahkan adikku. “Lika… dia punya mimpi.”

“Semua orang punya mimpi,” potongnya tidak sabar. “Apa mimpinya?”

“Dia mau… melanjutkan sekolah desain busana di Paris setelah lulus.”

Aldo mengangkat sebelah alisnya. “Paris? Cita-cita yang manis. Apa lagi?”

“Itu saja yang penting, Mas.” Aku mencoba berbohong, mencoba menyelamatkan satu rahasia terakhir milik Lika.

Aldo mencondongkan tubuhnya ke depan, menumpukan sikunya di atas meja. Matanya menyipit. “Kamu pikir aku ini bodoh, Aerra? Seorang gadis muda yang punya mimpi besar biasanya punya pemicu. Dan pemicu itu sering kali adalah seorang pria. Siapa namanya?”

Darahku seakan berhenti mengalir. Bagaimana ia bisa tahu?

“Aku… aku tidak tahu maksudmu, Mas.”

“JANGAN BERBOHONG PADAKU!” bentaknya tiba-tiba. Suaranya menggema di ruangan kedap suara itu, membuatku tersentak kaget. Ia kembali bersandar di kursinya, merapikan dasinya seolah ledakan amarah itu tidak pernah terjadi. “Aku benci pengulangan. Aku mau tahu setiap detailnya. Sekarang.”

Aku tidak punya pilihan lain. Dengan tangan gemetar, aku membuka tas, mengeluarkan ponsel terkutuk itu, dan meletakkannya di atas meja kayu yang dingin.

“Apa ini?” tanya Aldo.

“Semua yang Mas mau ada di sini,” bisikku, nyaris tak terdengar. “Aku… aku merekamnya.”

Ekspresi Aldo berubah. Bukan terkejut, melainkan… puas. Seolah aku baru saja lulus dari sebuah ujian yang tidak kusadari sedang kujalani. Ia mengambil ponsel itu, membukanya dengan beberapa kali usapan, dan menemukan file rekaman suara.

Tanpa ragu, ia menekan tombol putar. Speaker ponsel itu diaktifkan dengan volume maksimal.

Suara ceria Lika langsung memenuhi ruangan. “…namanya Rian. Dia barista di kafe deket kampus… Orangnya baik banget, Mbak. Pinter, lucu lagi. Walaupun ya… dia bukan orang kaya raya kayak Mas Aldo…”

Aku memejamkan mata, tidak sanggup mendengar lebih jauh. Setiap kata yang keluar dari rekaman itu adalah cambukan bagi nuraniku. Aku mendengar Lika menceritakan mimpinya ke Paris, ketakutannya pada Ibu, dan permohonannya yang tulus agar aku menjaga rahasianya.

“…Mbak jangan pernah bilang ke Ibu atau Mas Aldo ya, Mbak. Plis. Ini rahasia kita berdua aja…”

Saat suara permohonan Lika berakhir, Aldo menghentikan rekaman itu. Hening. Keheningan yang lebih menakutkan dari bentakannya tadi. Aku membuka mata perlahan. Aldo menatap layar ponsel dengan ekspresi datar, seolah baru saja membaca laporan keuangan perusahaan.

“Rian,” gumamnya pada diri sendiri. “Seorang barista. Sangat mudah ditebak.”

Ia meletakkan ponsel itu kembali ke meja. “Pekerjaan yang bagus, Aerra. Kamu melakukan persis seperti yang kuminta.”

Pujiannya terasa seperti ludah di wajahku.

“Jadi… sekarang apa, Mas?” tanyaku takut-takut. “Apa yang akan kamu lakukan dengan informasi ini?”

Aldo menatapku dalam-dalam. “Informasi ini tidak ada gunanya jika hanya menjadi data. Informasi harus diubah menjadi aksi. Menjadi keuntungan.”

“Keuntungan?”

“Tentu saja,” katanya santai. “Adikmu, sama sepertimu, terlalu naif. Dia pikir cinta dan mimpi bisa membawanya ke mana-mana. Aku akan mengajarinya pelajaran berharga tentang realita.”

“Jangan sakiti dia, Mas. Ku mohon…”

Aldo tertawa pelan. Sebuah tawa kering tanpa humor. “Menyakiti? Aku tidak akan menyentuhnya seujung kuku pun. Justru sebaliknya. Aku akan membantunya.”

Aku menatapnya bingung. “Membantu?”

“Iya. Aku akan membantunya memilih. Antara mimpi konyolnya di Paris, atau cinta murahannya dengan seorang barista.” Ia berhenti sejenak, senyum licik terukir di bibirnya. “Tapi dia tidak akan bisa memiliki keduanya. Dan yang akan memaksanya memilih… adalah kamu.”

Jantungku serasa diremas. “Aku? Apa maksudmu?”

“Sederhana.” Aldo berdiri, berjalan mengitari meja dan berhenti tepat di belakang kursiku. Aku bisa merasakan hawa dingin dari tubuhnya. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, berbisik tepat di telingaku. Kata-katanya menusuk jantungku.

“Besok, mobil barunya akan diantar. Saat dia sedang bahagia-bahagianya, kamu datang. Berikan dia dua pilihan. Pilihan pertama, aku akan membiayai seluruh sekolahnya di Paris, bahkan memberinya apartemen mewah di sana dan uang saku bulanan yang lebih dari cukup.”

Napasaku tertahan. Itu adalah tawaran yang mustahil ditolak oleh Lika.

“Terdengar bagus, bukan?” lanjut Aldo, seolah bisa membaca pikiranku. “Tapi tentu saja, ada syaratnya.”

“Apa syaratnya?” tanyaku gemetar.

“Syaratnya, dia harus memutuskan pacarnya, si barista itu. Hari itu juga. Dan menghapus semua jejak tentang pria itu dari hidupnya selamanya. Itu pilihan pertama.”

“Lalu… pilihan kedua?”

Aldo menegakkan tubuhnya. Aku menoleh ke belakang untuk menatapnya. Wajahnya tampak kejam di bawah cahaya lampu kerja.

“Pilihan kedua,” katanya dengan nada ringan yang dibuat-buat, “dia boleh melanjutkan hubungannya dengan Rian. Dia boleh hidup bahagia selamanya dengan cinta sejatinya itu. Tapi…”

“Tapi apa, Mas?” desakku.

Senyumnya melebar, menampilkan deretan gigi yang rapi dan sempurna. Senyum seorang predator yang telah berhasil menyudutkan mangsanya.

“Mobil barunya akan ku tarik kembali. Semua fasilitas yang pernah Ibu dan Lika dapatkan dariku akan berhenti total. Dan aku akan pastikan barista itu kehilangan pekerjaannya. Bukan hanya di kafe itu, tapi di kafe mana pun di kota ini. Aku akan membuatnya menjadi pengangguran yang tidak akan pernah bisa memberikan kehidupan layak untuk adikmu.” Ia berhenti sejenak, menatapku lurus di mata. “Jadi, Aerra. Kamu yang akan menghancurkan hatinya. Pilihan ada di tanganmu, hancurkan mimpinya, atau hancurkan cintanya.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!