NovelToon NovelToon
High School Iyuna

High School Iyuna

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Genius / Teen Angst / Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Menjadi NPC / Romansa
Popularitas:903
Nilai: 5
Nama Author: Anggara The Blukutuk³

Setelah berhasil kabur dari Ayah angkatnya, Iyuna Marge memutuskan untuk bersekolah di sekolah elite school of all things Dengan Bantuan Pak kepala yayasan. Ia dengan sengaja mengatur nilainya menjadi 50 lalu mendapat kelas F. Di kelas F ia berusaha untuk tidak terlihat mencolok, ia bertemu dengan Eid dan mencoba untuk memerasnya. Begitu juga beberapa siswa lainnya yang memiliki masa lalu kelam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggara The Blukutuk³, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sherin dan Eid

Setelah pembelajaran jam ketiga selesai, bel istirahat berbunyi memecah keheningan ruang kelas. Suara bel itu disambut oleh keributan kecil: kursi berderit, tas dibuka, dan suara tawa pelan dari sudut-sudut kelas yang kini dipenuhi semangat anak-anak SMA.

Di pojok ruangan, Iyuna duduk tenang di kursinya yang menghadap ke jendela. Tangannya yang lentik memegang sebuah sandwich dengan hati-hati, membawanya pelan ke bibir mungilnya. Ia menggigit roti itu perlahan, rahangnya bergerak kecil saat mengunyah, “awm~ awm~ awm~”. Tatapannya kosong, menerobos kaca jendela yang sedikit buram karena embun, menatap ke halaman sekolah yang dipenuhi siswa-siswi lain berlalu-lalang. Bayangan pohon dan gedung-gedung di kejauhan seperti kabur di balik lamunannya.

Langkah kaki terdengar mendekat dari arah belakang, pelan dan sedikit ragu. Seseorang berdiri tepat di samping mejanya, tubuhnya tampak kaku, seperti sedang menahan napas.

"Anu, apa kau mau bergabung dengan grup belajarku?" suara itu keluar lirih, penuh kegugupan. Eid berdiri di sana, jari-jarinya saling bertaut, matanya sesekali melirik ke lantai, ke Iyuna, lalu ke tangannya sendiri.

Iyuna hanya menatapnya sejenak sembari mengunyah, pipinya bergerak perlahan, ekspresinya tetap datar dan tak terbaca. Setelah menelan dengan tenang, ia menjawab pendek, “tidak.”

"Me-mengapa?" Tanya Eid lagi, suaranya nyaris tenggelam oleh kebisingan luar ruangan. Bahunya sedikit menegang, napasnya memburu pelan menanti respons lebih lanjut.

"Jika kau ingin merekrut orang, kumpulkan keberanianmu," ucap Iyuna santai, sebelum kembali menggigit sandwich-nya. “Awm³~” Suara kunyahan halus kembali terdengar, mulutnya bergerak perlahan saat sandwich itu hampir habis.

Eid terdiam. Kepalanya menunduk, tatapannya tertuju ke telapak tangannya sendiri. Ia membuka dan mengepalkan telapak itu beberapa kali, seolah mencoba membaca sesuatu dari garis-garis yang terukir di sana. "Keberanian ya?" gumamnya lirih, seperti mencatat kata itu ke dalam dirinya sendiri.

Bel masuk berbunyi. Suaranya membelah obrolan dan istirahat para siswa. Satu per satu siswa masuk kembali ke kelas, suara derit kursi dan langkah kaki memenuhi ruangan. Suasana mulai riuh oleh percakapan seputar ujian yang diumumkan kemarin. Ada yang gelisah, ada yang mengeluh, dan ada pula yang sudah mulai panik.

Bu Rheina masuk dengan langkah tegap. Sepatunya berketuk ringan namun pasti di lantai keramik. Ia membawa beberapa lembar kertas dan clipboard di tangannya. Dengan satu tepukan keras, suasana kelas mendadak senyap.

"Oh iya, omong-omong kelas ini belum membentuk pengurus kelas, yah?" tanyanya, tatapannya menyapu seluruh ruangan dari satu siswa ke siswa lainnya.

“Baiklah!” serunya lagi, kali ini dengan semangat. Ia menepuk tangannya, menciptakan suara yang tajam memantul dari dinding ke dinding. "Mari kita tentukan siapa ketua dan wakil kelas!" lanjutnya, senyum semangatnya mengembang lebar.

Beberapa siswa saling pandang, ada yang tertawa pelan, ada juga yang langsung menunduk agar tidak ditunjuk.

Seorang siswi mengangkat tangannya dengan percaya diri. Gerakan anggun itu disertai dengan ayunan rambut panjang berwarna coklat tua yang mengkilap, mengikuti gerakan tubuhnya.

"Saya bersedia," ucapnya tenang.

“Wah, Sherin!” komentar Bu Rheina senang. “Baiklah, tunjuk seseorang untuk menjadi wakilmu, yah!” Ia membuat gestur menunjuk ke seluruh kelas.

Sherin Donovania — gadis dengan pesona cerdas dan tenang itu — dikenal hampir semua siswa. Rambutnya yang halus seolah selalu tertata sempurna, dan posturnya tegap seperti sudah terbiasa tampil di depan banyak orang. Ia dikenal populer, baik di SMP maupun sekarang. Namun, ada bayang-bayang gelap dari masa lalunya — skandal yang menyeretnya jatuh hingga masuk ke kelas F, jauh dari ekspektasi orang-orang. Trauma itu masih membekas, membentuknya menjadi pribadi yang lebih tertutup, meski ia masih jauh dari sedingin Iyuna.

Sherin memutar pandangan ke sekeliling kelas, matanya tajam dan penuh pertimbangan. Saat tatapannya berhenti di satu titik, ia mengangkat tangan dan menunjuk lurus tanpa ragu.

“Kau, Eid West.”

“He? Aku?” suara Eid terkejut keluar, tubuhnya membeku di balik buku yang sedang ia baca. Matanya membelalak, kaget oleh penunjukan mendadak itu.

Sherin hanya mengangguk, “Iya, kau. Siapa lagi yang bernama Eid di sini selain kau?” Nada suaranya dingin, sedikit menggoda dengan tatapan menyipit.

“B-baiklah,” jawab Eid dengan gugup. Ia menoleh ke samping, tangannya gemetar menutup buku dengan hati-hati. Nafasnya terasa berat, seolah menahan sesuatu yang ingin keluar.

Iyuna masih dengan posisi yang sama sejak awal — tatapannya kosong ke luar jendela, dagunya bertumpu pada telapak tangan. Embusan napas pelan meninggalkan jejak uap tipis di kaca jendela, menciptakan kabut bundar yang perlahan memudar.

“Hei! Fokus jika ada orang yang menjelaskan di depan!” suara pelan namun tegas terdengar dari samping. Eid menyenggol bahunya sedikit ke arah Iyuna, menatapnya dengan ekspresi khawatir.

Iyuna menoleh perlahan, matanya kosong. “Eh? Oh iya, maaf,” ucapnya datar, lalu kembali menatap ke depan. Bahunya tegak, namun terlihat kaku dan penuh tekanan.

“Apa kalian semua setuju?” tanya Bu Rheina, tangannya terentang, mencari jawaban dari wajah-wajah di kelas.

“Kalau Sherin mah, setuju ajah,” sahut Arga sambil melipat tangan di dada. Ia bersandar santai ke belakang, dua kaki kursinya terangkat seolah sedang di ayunan.

Sherin kembali duduk. Roknya menyapu lembut permukaan meja saat tubuhnya berputar anggun menghadap ke depan. Ia merapikan rambutnya dengan satu sapuan tangan, lalu menyilangkan kaki.

Arga memang satu SMP dengan Sherin, namun tidak tahu sedikit pun tentang masa lalu gadis itu. Ia hanya tahu sosok Sherin sebagai gadis pandai yang sedikit arogan — dan itu sudah cukup baginya.

“Baiklah, kalau begitu pelajaran kita mulai yah,” ucap Bu Rheina sambil membuka bukunya. Gerakan tangannya cepat, berpengalaman, dan langsung mengarahkan fokus kelas ke materi.

Waktu berlalu. Pelajaran berganti, halaman demi halaman buku dibuka dan ditutup, hingga akhirnya bel pulang berbunyi. Suara nyaringnya menggema di seluruh lorong, menandai akhir hari sekolah.

Kelas kembali dipenuhi suara ribut. Kursi-kursi berderit, tas-tas dibuka tergesa, dan siswa-siswa bersiap pulang. Di tengah keramaian itu, Eid berdiri dan memukul meja pelan dengan telapak tangan.

“Teman-teman!” panggilnya, tapi suaranya terlalu pelan — tenggelam di antara suara tas diseret dan buku dibanting.

Iyuna melirik dari tempat duduknya. Sudut bibirnya terangkat tipis, membentuk senyuman samar. Matanya menatap Eid, menyipit perlahan seperti menyimpan makna tertentu.

Sherin yang memperhatikan situasi itu segera berdiri, tangannya terangkat tinggi ke atas. “Teman-teman!” serunya nyaring, menyita seluruh perhatian dalam hitungan detik. Suaranya membelah kegaduhan, dan seketika kepala-kepala berputar ke arahnya.

“Mari kita dengarkan usulan dari salah satu teman kita,” ucapnya tegas. Tangannya menunjuk ke arah Eid dengan gerakan mantap dan elegan.

Eid menelan ludah. Jantungnya berdetak kencang, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Jemarinya meremas ujung seragamnya yang kusut, lalu mencoba bicara.

“Anu, bagaimana kalau kita adakan grup belajar untuk meminimalisir resiko nilai dibawah 50?” Ucapnya, suaranya bergetar tapi jelas, menyampaikan maksudnya dengan segenap keberanian yang telah ia kumpulkan.

“Bruh, dia benar-benar mengikuti saranku,” gumam Iyuna pelan, melirik tajam ke arah Eid. Matanya menyipit, dagunya sedikit terangkat. Ada kilatan puas yang tersembunyi di balik wajah dinginnya.

1
Jumpri Cry
lanjut
SukiDenial
Mcnya keren. Dan ada banyak fanservicenya😍. Iyuna itu waifu ku banget titik🤬
Dimas Saputra
lanjut thor, dan Saling suport
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!