Pernikahan Briela dan Hadwin bukanlah hubungan yang didasari oleh perasaan cinta—
Sebuah kontrak perjanjian pernikahan terpaksa Briela tanda tangani demi kelangsungan nasib perusahaannya. Briela yang dingin dan ambisius hanya memikirkan keuntungan dari balik pernikahannya. Sedangkan Hadwin berpikir, mungkin saja ini kesempatan baginya untuk bisa bersanding dengan wanita yang sejak dulu menggetarkan hatinya.
Pernikahan yang disangka akan semulus isi kontraknya, ternyata tidak semulus itu. Banyak hal terjadi di dalamnya, mulai dari ketulusan Hadwin yang lambat laun menyentil hati Briela sampai rintangan-rintangan kecil dan besar terjadi silih berganti.
Akankah benar-benar ada cinta dari pernikahan yang dipaksakan? Ataukah semuanya hanya akan tetap menjadi sebuah kontrak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI HOTEL BERSAMA—
Briela menyipitkan kedua matanya, berharap agar pandangannya fokus pada satu titik. Pandangannya kabur, padahal wanita itu sangat berharap dapat mengenali sang penolong untuk sekadar mengucapkan terima kasih dengan benar.
Tidak peduli lagi, siapapun orangnya Briela harus berterima kasih. Briela melepaskan diri dari rengkuhan tangan kekar yang semula menopang tubuhnya.
Briela mencoba berdiri tegak namun tetap saja tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri, tubuhnya bagaikan jeli kenyal ketika di sentuh dengan ujung sendok.
Briela mencoba membungkuk, meski tentu saja tubuhnya tetap bergerak ke sana ke mari.
"Terima kasih Tuan, atas bantuannya." Beruntung indera penciumannya masih berfungsi, meski ia tidak dapat melihat dengan jelas siapa penolongnya tetapi, aroma aquatic dari parfum yang menyeruak dari tubuh orang yang membantunya tentu saja membuat Briela yakin jika orang tersebut adalah seorang pria.
Pria itu tersenyum kecil, lalu dengan sebelah tangan yang masuk ke dalam saku celana ia mengikuti Briela yang kembali menyeret langkahnya.
Langkah Briela terseok-seok menuju meja counter. Meski dengan susah payah akhirnya Briela sampai di tempat duduknya. Briela menatap sahabatnya yang tertidur pulas— ya, tentu saja dengan pandangannya yang kabur itu.
"Hei, Jen. Bangunlah! Jangan tertidur di sembarang tempat! Pindahlah ke kasurmu sendiri!" Briela menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya dengan cukup keras.
Jennifer berhasil bangun, wanita itu tersenyum pada Briela. Memamerkan deretan giginya yang putih tanpa ragu. Lalu beranjak, ia membawa tubuhnya ke meja kosong di dekat meja counter dan ambruk di meja.
"Nah, begitu lebih baik," ucap Briela, menyangka jika Jennifer sudah pindah ke tempat yang tepat. Ia mengambil tas kecilnya mengambil sejumlah uang lalu menyerahkannya pada bartender.
Briela berniat kembali membawa tubuhnya namun kepalanya kembali berputar, wanita itu oleng. Beruntungnya ia kembali di tangkap oleh pria yang tadi sempat menolongnya.
"Oh, terima kasih sudah menangkapku. Tapi, aku bisa sendiri." Briela menepis lengan pria yang menolongnya.
"Diamlah, aku akan membantumu! Aku bukan orang jahat." Suara rendah dan sedikit serak milik pria itu seolah menghipnotis Briela. Ia tidak lagi berontak.
Pria itu terdengar menghubungi seseorang. Samar-samar Briela mendengar nama Jennifer disebut, namun Briela tidak lagi memiliki kekuatan untuk mempedulikan hal-hal kecil itu. Kepalanya terus berputar meski tubuhnya sudah dijaga sepenuhnya dalam dekapan pria di belakangnya.
Pria itu membawa Briela masuk ke dalam mobil. "Katakan di mana alamatmu! Aku akan mengantarmu." Pria itu berucap sambil melepas tas selempang milik Briela yang semula ia kalungkan di lehernya.
Briela samar-samar mendengarnya, namun rasanya seperti mimpi. Briela tidak benar-benar yakin jika ada yang mengajaknya bicara. Ia semakin tenggelam dalam tidurnya.
Pria itu mendengus— bukan kesal maupun marah. Ia hanya merasa bingung harus mengantar Briela ke mana.
"Kelinci kecil yang merepotkan," gumamnya pelan.
Pria itu melajukan mobilnya, membelah jalanan kota New York yang masih ramai mengingat itu sudah lewat tengah malam. Kepalanya menoleh pada Briela yang tertidur pulas, napas halus Briela terdengar begitu menggelitik indera pendengarannya.
Pria itu kembali tersenyum kecil. Ia merasa beruntung tidak jadi meneguk minumannya.
Di depan sebuah hotel, pria itu menghentikan mobilnya. Ia turun dan membuka pintu di mana Briela berada. Pria itu membopong Briela tanpa membangunkannya. Briela sendiri tampaknya begitu nyaman dengan perlakuan itu.
Setelah menyerahkan mobilnya pada petugas valet. Pria itu membawa Briela ke meja resepsionis, untuk memesan kamar. Tidak butuh waktu yang lama untuk proses check in bagi pria itu, sepertinya dia adalah salah satu tamu VIP di sana.
Pria itu membaringkan Briela di kasur king size yang nyaman dan empuk. Briela menggeliat, begitu pria itu melepaskan high heels yang melindungi kakinya.
Pria itu menarik dasinya hingga melorot, tubuhnya terasa panas. Ia mengusap kasar wajahnya usai memperhatikan Briela yang tertidur lelap di atas kasur. Wanita itu benar-benar tidak waspada sedikit pun.
Pukul enam pagi ketika pria itu membuka matanya— ia tertidur di sofa, entah sejak kapan. Sekilas menatap Briela yang masih tertidur lalu beranjak menuju kamar mandi.
"Kau sudah bangun?" tanya Pria itu pada Briela yang masih duduk di atas ranjang, wanita itu terlihat memegangi kepalanya. Pengar setelah mabuk, tentu saja tidak akan mudah hilang meski sudah di bawa tidur.
Briela mendongak lalu seketika matanya membulat, menatap pria dengan handuk yang hanya melindungi bagian bawahnya. Briela berteriak, suaranya yang memekik benar-benar menyakiti gendang telinga.
Pria dengan rambut yang setengah basah itu tersadar saat satu butir air menetes dari helai rambutnya. Ia memeriksa tubuhnya sendiri lalu menyambar setelan kantor yang ia letakkan di punggung sofa.
Pria itu kembali menghampiri Briela yang masih berada di tempat tidur begitu ia memakai pakaian lengkapnya. Ia mendehem pelan.
Briela mendongak, ia kembali terkejut namun tidak ada teriakan seperti sebelumnya. Hanya tatapan tidak percaya yang tergambar jelas di wajahnya.
"Hadwin?"
"Ya. Baguslah jika kau masih mengenaliku." Hadwin membawa tubuhnya ke sofa dan duduk dengan menyilangkan kaki.
"Tentu aku mengenalimu." Briela bangkit dari tempat tidur lalu berdiri mematung, sedangkan Hadwin hanya mengulas senyum kecil di wajah cerahnya. "Tapi— apa ini? Bagaimana aku bisa berakhir bersamamu? Di kamar— umm, hotel?" Briela mengedarkan pandangannya.
"Jangan katakan! Kita melakukan sesuatu ... "
Hadwin tersenyum smirk, "Hei ayolah, lihat penampilanmu! Kau pikir pakaianmu masih akan tetap sama seperti semalam jika kita melakukan sesuatu?"
Briela mengecek penampilannya. Tentu saja, masih sama seperti semalam. Hanya beberapa bagian dari gaunnya saja yang tampak sedikit kusut.
Ah, benar juga. Pakaianku masih sama seperti semalam.
"Semalam ... " gumam Briela. Ia teringat sesuatu. Lalu menutup mulutnya. Ia menatap Hadwin dengan panik. "Aku meninggalkan Jennifer di bar ... "
"Bukan kau yang meninggalkannya, tapi aku." Hadwin menyela ucapan Briela. "Kau bahkan tidak sadar saat aku membawamu kemari," lanjut Hadwin.
"Sama saja. Mengapa tidak membawanya bersama kita?"
"Buat apa? Membawamu seorang diri saja sudah sangat merepotkan, ditambah satu orang lagi— aku tidak sudi." Hadwin kembali melempar senyum smirk.
"Aku sudah memanggil manajernya, dia pulang dengan selamat. Tenanglah!"
Briela membuang napas lega. "Aku pikir dia akan mengalami kesulitan gara-gara aku." Briela menghempaskan bobot tubuhnya di atas sofa, di samping Hadwin.
Beberapa saat keduanya ditelan keheningan. Canggung. Briela yakin jika dulu maupun sekarang ia tidak sedekat itu dengan Hadwin hingga mampu menjadikan alasan bagi Hadwin untuk berbagi kamar dengannya.
Ia sendiri bahkan sama sekali tidak mengingat apapun sejak semalam. Ia hanya mengingat seseorang menolongnya saat hampir terjatuh di toilet dan ... sekali lagi di dekat meja counter. Siapa yang menolongnya bahkan Briela sendiri tidak tahu. Yang ia ingat hanyalah aroma aquatic. Tunggu— aroma aquatic?
Tiba-tiba Briela mencium aroma aquatic yang pekat dari sampingnya. Briela menghirup napas dalam, bahkan lebih seperti mengendus. Briela mencoba memastikan aroma yang ia cium saat ini juga semalam berasal dari Hadwin.
Briela membulatkan matanya, tersadar sepenuhnya jika orang yang menolongnya tidak lain adalah Hadwin.
"Briela, bagaimana jika kita menikah?" tanya Hadwin tiba-tiba.
sekertaris keknya beb. ada typo.