Aleena seorang gadis muda yang ceria dan penuh warna. Dia memiliki kepribadian yang positif dan selalu mencoba melihat sisi baik dari setiap situasi. Namun, hidupnya berubah drastis setelah ibunya meninggal. Ayahnya, yang seharusnya menjadi sandaran dan sumber kekuatan, menikah lagi dengan wanita lain, membuat Aleena merasa kehilangan, kesepian, dan tidak dihargai.
Pertemuan dengan Axel membawa perubahan besar dalam hidup Aleena. Axel adalah seorang pria yang tampaknya bisa mengerti dan memahami Aleena, membuatnya merasa nyaman dan bahagia. Namun, di balik hubungan yang semakin dekat, Aleena menemukan kenyataan pahit bahwa Axel sudah menikah. Ini membuat Aleena harus menghadapi konflik batin dan memilih antara mengikuti hatinya atau menghadapi kenyataan yang tidak diinginkan.
Yuk simak kisah mereka....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScorpioGirls, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menginap Di Apartemen
Di tengah kegelapan malam yang menusuk tulang, Aleena berdiri sendirian di atas jembatan dengan hati yang hampa, tujuan yang tidak pasti, dan rasa kesepian memenuhi rongga dada. Hanya gemuruh sungai yang berbicara di bawahnya, seperti hati yang sedang murung. Perlahan hujan turun membasahi pakaiannya, sepertinya langit ikut bersedih. Tapi, tidak menyentuh hatinya yang sudah beku. Pandangan kosong membentang ke dalam keheningan malam seperti laut yang tidak bertepi.
Axel dan Marcel yang kebetulan lewat di atas jembatan dalam perjalanan pulang, tidak sengaja melihat sosok Aleena yang berdiri sendirian di atas jembatan.
"Bos, bukankah dia?" pertanyaan Marcel membuyarkan lamunan Axel, yang kemudian menatap ke arah Aleena dengan tatapan tajam.
"Dia siapa?" Axel bertanya dengan nada kesal, seolah tidak sabar dengan pertanyaan Marcel.
"Dia, gadis yang ada di bar tadi," Marcel menjelaskan sambil menunjuk Aleena. Mereka bisa mengenali pakaian yang dikenakan Aleena, celana hitam dan jaket kulit yang sama saat mereka melihatnya di bar tadi.
"Jangan-jangan dia mau bunuh diri, Bos," Marcel berseloroh, membuat Axel panik dan langsung bereaksi.
"Stop!" titah Axel. Axel turun dari mobil, meraih payung yang memang selalu tersedia di dalam mobil, dan bergegas menghampiri Aleena.
Axel berlari menuju Aleena dengan langkah cepat, dan payung di tangan kanannya. Sedangkan Marcel mengikuti di belakangnya, penasaran dengan reaksi bosnya. Saat Axel mendekati Aleena, dia bisa melihat betapa sedihnya ekspresi gadis itu. Sedangkan Aleena tidak menyadari kehadiran Axel dan Marcel, dia terlalu tenggelam dalam kesedihannya sendiri.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Axel bertanya dengan nada lembut, mencoba membangunkan Aleena dari lamunannya. Aleena terkejut dan menoleh ke arah Axel, mata merah dan bengkak karena menangis.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Axel mengulangi pertanyaannya, sambil membuka payung untuk melindungi Aleena dari hujan. Aleena tidak menjawab, hanya menatap Axel dengan mata kosong.
Axel merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Aleena. Dia memutuskan untuk tidak memaksakan Aleena berbicara, dan malah menawarkan untuk mengantarnya pulang. "Kamu tidak bisa berdiri di sini sendirian di tengah hujan. Ayo, aku antar kamu pulang," kata Axel dengan nada yang lembut dan perhatian. Bahkan dia membuka jas yang di kenakan lalu membalut tubuh Aleena dengan jas itu.
Aleena tidak menolak tawaran Axel, malah dia mengangguk lemah dan membiarkan Axel menuntunnya menuju mobil. Marcel membuka pintu mobil dan Aleena masuk ke dalam, diikuti oleh Axel. Marcel kemudian masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah pengemudi.
"Rumah kamu di mana?" tanya Axel.
Aleena menunduk, "Saya tidak mau pulang ke rumah. Ke hotel terdekat saja," jawabnya lirih. Pengakuan Aleena membuat Axel menoleh padanya dengan penuh kekhawatiran. Dia sudah bisa sedikit menebak bahwa Aleena pasti menghadapi masalah dengan keluarganya.
"Ke apartemen, Cel," titah Axel kepada Marcel. Aleena tidak protes, dia memang tidak memiliki tujuan lain. Tidak ada salahnya ikut dengan mereka untuk sementara waktu. Saat ini, dia hanya ingin mengikuti arus dan tidak memikirkan bagaimana hidupnya lagi. Dengan hati yang berat, Aleena membiarkan dirinya dibawa ke apartemen Axel.
Di sepanjang perjalanan, keheningan yang mencekam memenuhi kabin mobil, hanya suara deru mesin yang terdengar. Namun, di dalam hati Aleena dan Axel, ada perasaan yang berbeda. Aleena merasa lelah dan tidak berdaya, sementara Axel merasa khawatir dan ingin melindungi Aleena dari masalah yang sedang dihadapinya.
Axel sesekali melirik Aleena yang duduk di sebelahnya, melihat ekspresi sedih di wajahnya. Dia ingin memeluknya, memberinya pelukan hangat dan menghiburnya. Namun, dia menahan diri, tidak ingin membuat Aleena merasa tidak nyaman.
Sementara itu, Aleena merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Dia merasa sedih dan putus asa, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Namun, dia merasa sedikit lebih tenang dengan adanya Axel di sampingnya. Dia merasa bahwa Axel peduli padanya, dan itu membuatnya merasa sedikit lebih baik.
Tidak membutuhkan waktu lama, mereka tiba di tempat tujuan. Setelah keluar dari mobil, mereka langsung masuk ke dalam apartemen. "Kamu boleh pulang sekarang," titah Axel kepada Marcel. Marcel tersenyum mengejek dan mengangguk, "Siap, Bos." Dengan senyum nakal, Marcel membalikkan badan dan meninggalkan apartemen, meninggalkan Aleena dan Axel berdua saja.
Axel menutup pintu apartemen dan menoleh pada Aleena, yang terlihat lelah dan sedih. Lalu dia mengantar Aleena masuk ke sebuah kamar yang nyaman dan tenang. "Kamu bisa berganti pakaian di sini, dan pilih saja di lemari yang cocok buat kamu," katanya dengan lembut. Dan Aleena mengangguk lemah, masih terlihat lelah dan sedih. Kemudian Axel meninggalkannya sendirian di kamar agar bisa berganti dengan lebih nyaman.
"Panggil aku jika kamu butuh sesuatu," katanya sebelum menutup pintu kamar. Sedangkan Aleena lagi-lagi mengangguk.
Saat menunggu Aleena selesai berganti, Axel menghubungi Marcel melalui telepon. "Cel, selidiki gadis yang tadi."
Marcel menjawab, "Siap, Bos. Aku akan mencari informasinya sekarang juga." Dengan itu, Axel menutup telepon dan menunggu Marcel memberikan hasilnya.
Setelah membersihkan diri, Aleena bergegas mencari pakaian ganti di lemari Axel. Namun, saat membuka lemari, dia terkejut melihat bahwa semua isi lemari adalah pakaian laki-laki. Aleena sedikit bingung, tidak tahu apa yang harus dipakai. Setelah mencari-cari, dia akhirnya memilih kaos oblong warna hitam dan celana training putih yang terlihat paling nyaman. Dengan pakaian baru, Aleena merasa sedikit lebih baik.
Aleena keluar dari kamar dan mencari keberadaan Axel. Dia akhirnya menemukannya di ruang tamu, sedang duduk di sofa sambil menatap layar ponsel dengan ekspresi dingin yang familiar. Saat Aleena muncul, Axel langsung menoleh dan ekspresi dinginnya sedikit melunak, meskipun senyumannya tetap jarang terlihat. "Sudah selesai berganti," katanya, memperhatikan pakaian yang Aleena kenakan dengan tatapan yang tajam namun tidak menyinggung.
Aleena tersenyum kecil, merasa sedikit tidak nyaman dengan pakaian laki-laki yang terlalu besar untuknya. "Ya, aku memakai pakaianmu karena tidak ada pilihan lain," jawabnya dengan nada yang ringan.
Axel mengangguk singkat, tanpa banyak bicara, tapi Aleena bisa merasakan perhatian yang tersembunyi di balik sikap dinginnya. "Makan atau minum sesuatu?" tanyanya singkat, menunjukkan bahwa dia peduli tanpa perlu banyak kata-kata.
Aleena mengangguk, merasa lapar setelah sekian lama tidak makan dengan baik. "Ya, terima kasih," jawabnya, duduk di sebelah Axel di sofa.
Axel kemudian bangkit untuk mengambilkan makanan dan minuman untuk Aleena, gerakannya efisien dan tanpa banyak basa-basi, tapi Aleena bisa merasakan bahwa Axel melakukan semua itu karena benar-benar peduli padanya. Sementara Aleena menunggu dengan sabar, dia merasa sedikit lebih nyaman berada di dekat Axel, meskipun sikap dinginnya masih sangat terlihat.
Axel kembali dengan nampan berisi spaghetti dan jus jeruk, menunjukkan bahwa dia memang sudah mempersiapkan makanan untuk Aleena sebelumnya. Aleena langsung menyantap spaghetti dengan lahap, tanpa sedikit pun merasa malu atau jaim. Axel memperhatikan Aleena dengan tatapan yang tajam, dan kali ini, dia tidak bisa menyembunyikan senyum kecil di wajahnya. "Dasar, kucing kecil. Makan pun liar seperti itu," katanya dengan nada yang lembut, tapi sedikit bernada menggoda.
Aleena tidak peduli dengan komentar Axel, dia terlalu sibuk menikmati makanan yang lezat. Setelah beberapa kali menggigit spaghetti, Aleena baru menyadari bahwa Axel sedang menatapnya dengan senyum. Dia langsung merasa sedikit malu, tapi tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan di wajahnya. "Kenapa?" tanyanya dengan mulut yang masih berisi spaghetti. Axel hanya mengulum senyum lalu menggelengkan kepala, "Tidak apa-apa, lanjutkan saja makanmu." Aleena tersenyum dan melanjutkan makannya, merasa nyaman berada di dekat Axel meskipun dia terus digoda.
Aleena merasa tidak percaya melihat Axel tersenyum. "Apa aku sedang bermimpi? Dia benar-benar tersenyum?" batinnya, mata terbelalak dengan takjub. Saat itu juga, Aleena merasa ketampanan Axel meningkat beberapa kali lipat, dan hatinya berdebar lebih kencang. "Wajahnya yang biasanya terlihat dingin dan serius, sekarang terlihat sangat berbeda," pikirnya, merasa semakin terpikat pada sosok yang sedang duduk di depannya. Aleena tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Axel, seolah-olah tersihir oleh senyum yang jarang terlihat itu.
Axel menggoyangkan tangannya di depan wajah Aleena, yang sedang melamun dengan mulut sedikit terbuka. Aleena terkejut dan langsung menoleh ke arah Axel, wajahnya memerah karena merasa ketahuan.
"Kenapa?" tanya Axel dengan nada yang datar, tapi ada sedikit kesan menggoda di balik matanya.
Aleena mencoba untuk menutupi keterkejutannya, "Ah, tidak apa-apa," jawabnya cepat, mencoba untuk terlihat biasa saja meskipun hatinya masih berdebar kencang. Axel memandang Aleena dengan tatapan yang tajam, seolah-olah dia tidak percaya dengan jawaban Aleena. Tapi dia tidak mengejar topik itu lebih lanjut, dan malah mengalihkan perhatian ke piring Aleena yang sudah kosong.
"Sudah selesai?" tanya Axel, sekedar basa basi. Sedangkan Aleena mengangguk dengan cepat, lalu meminum jus jeruknya hingga setengah gelas, menikmati rasa manis dan segar dari minuman itu.
Setelah Aleena selesai, Axel mengantarnya ke kamar untuk tidur. Saat mereka berdiri di depan tempat tidur, Aleena menoleh pada Axel dan bertanya, "Om tidur di mana?" pertanyaan itu keluar dengan nada yang polos, tanpa beban, menunjukkan ketertarikan Aleena pada rencana Axel untuk malam itu.
Axel memandang Aleena dengan ekspresi yang tidak banyak berubah, tapi ada sedikit kesan lembut di matanya. "Aku akan tidur di sofa," jawabnya singkat, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Aleena mengangguk, meskipun ada sedikit rasa penasaran di dalam hatinya tentang jawaban Axel.
Aleena pun tidur di atas tempat tidur Axel, merasa nyaman di bawah selimut yang hangat. Sementara itu, Axel memutuskan untuk tidur di sofa yang ada di dalam kamar itu, bukan di ruang tamu. Sofa itu cukup panjang dan empuk, memungkinkan Axel untuk berbaring dengan nyaman meskipun tidak selebar tempat tidur. Dengan lampu yang sudah dimatikan di gantikan dengan lampu tidur yang redup, kamar itu menjadi remang-remang terkesan romantis.
Aleena yang memang sudah lelah menangis, tidak membutuhkan waktu lama untuk tertidur. Lain halnya dengan Axel yang belum bisa tidur, pikirannya masih terjaga. Saat itu, ponselnya berdering dengan suara notifikasi pesan masuk. Dia segera membuka pesan tersebut dan ternyata dari Marcel tentang identitas Aleena. "Aleena Putri Mahardika," gumam Axel sambil membaca informasi singkat yang dikirimkan Marcel.
Sepertinya Axel mengenali siapa ayah Aleena, dan wajahnya menunjukkan sedikit perubahan ekspresi. Setelah selesai membaca, dia meletakkan ponselnya di atas meja. Kemudian menoleh pada Aleena yang sudah tidur nyenyak. Dia pun berdiri dan menghampiri Aleena, lalu memperbaiki selimut yang dikenakan Aleena dengan gerakan yang lembut. "Tidur pun, dia liar," ujarnya dengan senyum kecil, menunjukkan kesan sayang yang tersembunyi.
Axel melabuhkan kecupan di dahi Aleena tanpa ragu. Aleena yang terusik, tiba-tiba menarik lengan Axel sambil memanggil, "Ibu..." dengan nada yang rancu. Gerakan itu membuat Axel terjatuh di atasnya. Dengan sekuat tenaga, dia menahan tubuhnya agar tidak menimpa Aleena sepenuhnya. Kini wajah mereka cukup dekat. Dia dapat melihat dengan jelas indahnya ciptaan Tuhan di hadapannya; bibir tipis yang merah merona, hidung mancung, mata bulat dengan bulu mata lentik, kulit wajah putih mulus, dan rambut panjang yang lembut.
Sebagai laki-laki normal, siapa yang tidak bergejolak saat intim begini, ingin rasanya melabuhkan ciuman pada bibir mungil Nang cerewet itu. Namun, dia berusaha sekuat tenaga menahannya karna dia masih ingat batasan. Perlahan dia mencoba melepaskan genggaman tangan Aleena. Kini usahanya tidak sia-sia, akhirnya dia bisa menjauh dari tubuh Aleena. Dan kembali berbaring di sofa.
Gaskeun 🔥🔥