NovelToon NovelToon
Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Hazelnutz

Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.

Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.

Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.

Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?

silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Sarapan pagi di rumah Cromwel selalu terlihat rapi. Meja panjang dengan taplak putih bersih, hidangan tersusun cantik: roti panggang, selai, telur rebus, hingga sup hangat. Lampu kristal di langit-langit memantulkan cahaya keemasan, menambah kesan elegan pada ruangan.

Daniel duduk tegak di kursinya, kemeja abu muda tersemat rapi, dasinya terikat sempurna. Ia memang selalu terlihat seperti itu—tenang, berwibawa, penuh wibawa seorang kakak tertua. Tangannya meraih cangkir kopi, ia menyesap sedikit sebelum menaruhnya kembali.

“Aku berangkat lebih dulu,” ucapnya sambil melirik jam di pergelangan tangan. Suaranya tenang namun tegas, khas Daniel. “Ada rapat penting di kantor pagi ini. Ela, jangan lupa sarapanmu dihabiskan, jangan terlalu terburu-buru.”

Eleanor yang sejak tadi hanya menatap piringnya, mengangkat wajah dan tersenyum tipis.

“Iya, Kak Dan. Hati-hati di jalan,” jawabnya lembut.

Daniel berdiri, merapikan jas hitamnya, lalu berjalan menghampiri Eleanor. Ia menepuk pelan bahu adik tirinya itu, gerakan sederhana tapi terasa hangat. “Jangan terlalu banyak pikiran. Hari ini akan baik-baik saja.”

Eleanor mengangguk, meski hatinya tetap terasa berat. Sejenak, ia membiarkan dirinya menikmati ketenangan yang selalu dibawa Daniel setiap kali berbicara.

Tak lama setelah Daniel keluar, Dominic bersandar santai di kursinya. Berbeda jauh dengan kakaknya, ia hanya mengenakan kemeja putih dengan kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Rambutnya agak berantakan, tapi justru membuatnya terlihat semakin mencolok.

“Aku juga harus pergi,” katanya sambil berdiri malas-malasan, satu tangan menyelip di saku celana. “Ada urusan di luar yang harus kuselesaikan.”

“Urusan?” Ibunya mengangkat alis, suaranya terdengar curiga.

Dom menyeringai, ekspresinya penuh percaya diri. “Santai saja, bukan sesuatu yang buruk. Lagipula, aku bukan anak kecil lagi.”

Sebelum pergi, ia menoleh ke arah Eleanor. “Ela, jangan sampai ketiduran di kelas. Kalau sampai aku dengar kau tidur di tengah pelajaran lagi, aku sendiri yang akan menyeretmu pulang.” Nada suaranya setengah menggoda, setengah mengancam, tapi jelas ada rasa peduli di dalamnya.

Eleanor menunduk, senyum malu tersungging di bibirnya. “Aku akan berusaha, Kak Dom.”

Dom terkekeh, lalu melambaikan tangan seadanya sebelum berbalik dan melangkah pergi.

Begitu suara langkah Daniel dan Dominic menghilang di balik pintu besar rumah, keheningan langsung menyelimuti ruang makan. Suasana hangat yang tadi sempat terasa kini berganti menjadi dingin dan menyesakkan.

Eleanor masih menunduk, matanya terpaku pada sisa makanan di piring. Ia tak berani bergerak sebelum mendengar suara yang ia tunggu-tunggu… atau lebih tepatnya, suara yang ia takuti.

Benar saja.

“Dasar anak manja,” suara ibu tirinya terdengar tajam, sangat berbeda dengan nada manis yang tadi ia gunakan di depan kedua putranya. “Kau duduk saja diam, menatap piringmu, menunggu mereka memperhatikanmu. Kau pikir sampai kapan bisa terus bersembunyi di balik kasih sayang Daniel dan Dominic?”

Eleanor menggenggam garpunya erat-erat, menunduk lebih dalam. “Aku tidak bermaksud begitu, Ibu,” ucapnya pelan.

Wanita itu berdiri, hak sepatunya mengetuk lantai marmer dengan keras. Ia berjalan mendekati Eleanor, membungkuk sedikit agar wajah mereka sejajar. Tatapannya menusuk.

“Ingat baik-baik, kau hanya numpang di keluarga ini. Kalau bukan karena ayah mereka, aku tidak akan sudi merawatmu. Jadi jangan pernah membuat malu nama Cromwel di luar sana. Mengerti?”

Eleanor menelan ludah, lalu mengangguk patuh. “Iya, Ibu.”

Senyum sinis terbit di bibir wanita itu. Ia berdiri kembali, lalu meraih cangkir tehnya dengan anggun, seolah tak pernah mengucapkan kata-kata kejam barusan.

“Bagus. Sekarang cepat bereskan dirimu. Sopir sudah menunggu untuk mengantarmu ke sekolah. Jangan membuatnya lama menunggu.”

Eleanor berdiri perlahan, kursinya bergeser mengeluarkan bunyi gesekan halus. Ia menunduk dalam-dalam, lalu berjalan keluar ruang makan. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena terburu-buru, tapi karena ketakutan yang selalu menyelimuti setiap kali ia ditinggal berdua dengan ibu tirinya.

Saat langkahnya menjauh, Eleanor menggenggam tasnya erat-erat.

Andai Ayah masih ada… mungkin semuanya tidak akan seperti ini.

Udara pagi terasa segar ketika Eleanor melangkah keluar rumah besar keluarga Cromwel. Di depan pintu, sebuah mobil hitam sudah menunggu dengan mesin menyala tenang. Pak Anton, supir keluarga yang sudah bekerja puluhan tahun, segera turun dan membukakan pintu belakang.

“Selamat pagi, Nona Ela,” ucapnya sopan dengan senyum ramah.

Eleanor membalas dengan anggukan kecil dan senyum lembut. “Pagi, Pak Anton.” Ia masuk ke dalam mobil, duduk rapi dengan tas di pangkuan.

Mobil mulai melaju perlahan meninggalkan halaman rumah. Sejenak, keheningan memenuhi kabin. Namun Pak Anton, yang sudah terbiasa melihat tingkah laku penghuni rumah itu, akhirnya membuka suara.

“Bagaimana pagi Anda, Nona? Semoga tidak terlalu berat,” tanyanya hati-hati, sambil tetap fokus ke jalan.

Eleanor menoleh ke jendela, menatap pepohonan yang berderet di sepanjang jalan. Bibirnya membentuk senyum samar. “Baik, Pak. Tidak ada yang berbeda.”

Pak Anton menghela napas kecil. Nada suaranya tetap tenang, tapi ada rasa kasihan terselip di sana. “Nona Ela selalu menjawab begitu. Padahal saya tahu, tidak semua pagi di rumah itu menyenangkan.”

Eleanor terdiam. Matanya memandangi pantulan wajahnya sendiri di kaca jendela. Setelah beberapa detik, ia tersenyum kecil, mencoba terdengar meyakinkan.

“Tidak apa-apa, Pak Anton. Selama aku masih punya sekolah untuk kudatangi, aku sudah cukup bersyukur.”

Supir tua itu menoleh sekilas melalui kaca spion, menatap gadis itu dengan iba. Ia tahu betul sifat sang nyonya rumah, betapa dinginnya wanita itu pada Eleanor. Tapi baginya, Eleanor tetaplah putri bungsu keluarga Cromwel—manis, sopan, dan penuh kesabaran.

Mobil hitam elegan itu berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Sontak, beberapa siswa yang sedang nongkrong di dekat sana langsung melirik penasaran.

“Eh, tuh… Eleanor Cromwel dateng,” bisik seorang siswi sambil mendorong pelan temannya.

“Gila, Dia cakep banget. Kayak artis, sumpah,” sahut yang lain dengan nada kagum.

Seorang siswa cowok menyilangkan tangan, menatap dengan nada setengah iri. “Ya iyalah, anak orang kaya. Tiap hari dianterin mobil keren gitu. Hidupnya enak banget, nggak kayak kita yang naik motor.”

“Enak apanya,” celetuk yang lain, pura-pura acuh. “Cantik sih, tapi kelihatan dingin banget. Kayak nggak peduli sama orang sekitar.”

Meski begitu, hampir semua mata tetap mengikuti gerak Eleanor.

Gadis itu turun dengan tenang, menunduk sedikit sebelum melangkah. Senyum sopan ia berikan pada Pak Anton yang masih menunggu di kursi kemudi. “Terima kasih, Pak. Hati-hati ya.”

“Selalu, Nona Ela, semoga hari anda menyenangkan.” jawab Pak Anton hangat sebelum mobil kembali melaju pergi.

Langkah Eleanor melewati gerbang membuat beberapa siswa otomatis memberi jalan. Ia tahu ada banyak bisikan di belakangnya, tapi memilih tetap menunduk, tidak menanggapi apa pun.

Bagi Eleanor, sekolah adalah satu-satunya tempat ia bisa merasa “bebas” dari rumah. Tapi kebebasan itu tetap membawa beban lain, sorotan mata yang tidak pernah berhenti mengikuti ke mana pun ia pergi.

Koridor sekolah sudah ramai dengan siswa yang lalu-lalang. Suara tawa, langkah kaki, dan obrolan berbaur jadi satu. Namun seketika suasana itu agak mereda ketika Eleanor berjalan melewati mereka.

Beberapa siswi otomatis berbisik sambil melirik ke arahnya.

“Itu dia, Eleanor Cromwel…”

“Cantik parah, sumpah.”

“Ya ampun, jalannya aja anggun gitu.”

Cowok-cowok yang nongkrong di dekat loker pun nggak ketinggalan pasang mata.

“Buset, aura dia beda banget.”

“Pantesan semua orang ngomongin, tiap dia lewat kayak slow motion.”

Eleanor menunduk sedikit, berusaha tidak menatap balik. Ia sudah terbiasa jadi pusat perhatian, tapi tetap saja perasaan canggung itu nggak pernah hilang. Langkahnya tetap tenang hingga akhirnya ia sampai di kelas.

Kelas sudah cukup ramai ketika Eleanor masuk. Suara obrolan bercampur tawa memenuhi ruangan. Begitu ia melangkah masuk, beberapa kepala otomatis menoleh, seperti biasa. Ada yang hanya melirik sekilas, ada pula yang terang-terangan menatap lama.

Eleanor menarik napas dalam, lalu menuju bangku kosong di dekat jendela. Ia lebih suka duduk di sana, tenang, tidak terlalu mencolok.

Baru saja ia meletakkan tas, seorang siswi dengan rambut dikuncir dua duduk di sebelahnya sambil tersenyum lebar. “Hai! Lo Eleanor kan? Tapi boleh nggak gue panggil lo Lala aja? Soalnya… nama Eleanor tuh kayak keren banget gitu, jadi gue takut kalo manggilnya salah. Hehe.”

Eleanor sempat terkejut, tapi kemudian tersenyum tipis. “Hm… iya, nggak apa-apa. Panggil aja Lala kalau kamu mau.”

Mata siswi itu berbinar. “Asiiik! Gue Bella, Bella Helios. Jangan ilfeel ya kalo gue agak bawel. Soalnya kata orang, gue tuh nggak bisa diem.”

Eleanor terkekeh kecil, suara tawa yang jarang keluar darinya. “Aku nggak masalah kok.”

Baru beberapa menit kenal, Bella langsung nyerocos lagi. “Eh, sumpah deh, lo tuh cantik banget, Lala. Pantesan tadi di gerbang semua orang pada nengok ke lo. Gue aja yang cewek sampe bengong.” Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri dramatis. “Gila, jangan-jangan lo bidadari nyasar ya?”

Eleanor geleng-geleng, pipinya memerah. “Kamu lebay banget.”

“Lebay tanda sayang,” sahut Bella cepat sambil nyengir.

Tiba-tiba suara tawa kecil terdengar dari deretan kursi depan. Seorang siswi berambut pirang menoleh sambil menyilangkan tangan di dada. Veronica Jackson. Senyumnya tipis, tapi matanya penuh sinis.

“Dari tadi ribut banget sih. Baru masuk kelas udah kayak pasar. Apalagi kamu, Bella. Biasa aja kali, nggak usah heboh sama orang yang baru datang.”

Bella langsung mendengus, matanya melotot kecil. “Ih, Ver, lo sirik ya? Gue kan cuma ngobrol sama Lala, bukan ngajak lo. Santai aja napa.”

Veronica mengangkat alis, menatap Eleanor dari ujung kepala sampai kaki. “Lala, ya? Panggilannya lucu juga. Semoga aja nggak cuma cantik doang, tapi juga pinter. Di sekolah ini, nama besar keluarga aja nggak cukup.”

Eleanor menunduk, tidak ingin memperpanjang masalah. Tapi Bella menepuk meja pelan, lalu menyandarkan tubuh ke kursinya dengan wajah menantang.

“Tenang aja, Ver. Gue rasa Lala bisa lebih dari cukup buat nunjukin siapa dia. Lo tunggu aja.”

Suasana mendadak hening beberapa detik, sebelum bel masuk berbunyi. Veronica akhirnya memalingkan wajah dengan senyum tipis, sementara Bella langsung menoleh ke Eleanor, berbisik, “Udah deh, nggak usah dipikirin. Orang kayak dia emang hobi nyari panggung.”

Eleanor mengangguk kecil. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa sedikit lega punya seseorang di sisinya.

Bel tanda pelajaran berbunyi. Suasana kelas perlahan mereda ketika seorang guru matematika masuk sambil membawa beberapa buku tebal.

“Selamat pagi, anak-anak.”

“Pagi, Pak,” jawab siswa serempak, meski sebagian masih setengah malas.

Guru itu menaruh bukunya di meja, lalu menatap seluruh kelas. “Hari ini kita akan mulai dengan sedikit latihan. Saya ingin tahu sejauh mana kemampuan kalian. Siapa yang bisa menjawab soal ini?”

Ia menuliskan sebuah soal panjang di papan tulis. Beberapa siswa langsung mengeluh lirih. Bella yang duduk di sebelah Eleanor menyikut pelan.

“Duh, mati gue. Baru pagi udah dikasih beginian. Lala, lo ngerti nggak?” bisiknya.

Eleanor menatap papan tulis sebentar. Ia sebenarnya cukup cepat paham soal semacam itu, tapi ia ragu untuk angkat tangan. Ia tak suka jadi pusat perhatian lebih dari yang sudah ia dapatkan.

Namun, guru itu menoleh ke arahnya.

“Eleanor Cromwel, mungkin kamu bisa mencoba?”

Kelas langsung bergemuruh kecil. Beberapa siswa menoleh, jelas penasaran. Eleanor sempat menelan ludah, tapi akhirnya ia berdiri perlahan, berjalan ke papan tulis.

Dengan langkah tenang, ia mulai menuliskan jawabannya. Gerakannya rapi, tulisannya jelas. Hanya butuh beberapa menit sebelum ia menyelesaikan soal itu dengan sempurna.

“Jawaban yang bagus,” komentar guru itu sambil mengangguk puas. “Tepat sekali.”

Seketika ruangan dipenuhi bisikan.

“Wah, dia pinter juga ternyata.”

“Cantik, kaya, pinter lagi. Komplit banget tuh.”

“Gila, nggak nyangka sih.”

Bella langsung menepuk meja pelan, menatap Eleanor dengan mata berbinar. “Woooow, Lala! Lo keren banget! Sumpah, gue langsung ngefans.”

Eleanor kembali duduk dengan pipi agak memerah. “Nggak juga, cuma kebetulan ngerti.”

Tawa kecil Bella meletup. “Ih, merendah banget lo. Kalo gue sih udah langsung sombong satu kelas.”

Namun, tidak semua orang terlihat senang. Veronica yang duduk di bangku depan hanya melirik sekilas sambil menyunggingkan senyum tipis. Tangannya meremas pulpen hingga bunyinya terdengar jelas.

“Hah… paling juga cuma sekali doang bisa jawab,” gumamnya, cukup keras untuk terdengar oleh beberapa orang.

Bella langsung menoleh sinis. “Ih, Ver, lo sirik aja kan? Kalo nggak bisa jawab ya jangan nyinyir. Sakit hati gapapa, tapi jangan nunjukin ke seluruh dunia.”

Beberapa siswa di sekitar tertawa kecil mendengar komentar Bella. Veronica menoleh tajam, tapi sebelum sempat membalas, guru sudah melanjutkan pelajaran.

Eleanor hanya bisa duduk diam, menatap keluar jendela. Ia tidak pernah mencari perhatian, tapi entah kenapa perhatian itu selalu saja datang padanya.

Bel pulang berbunyi. Siswa-siswi berhamburan keluar kelas dengan wajah lega. Eleanor merapikan bukunya perlahan, sementara Bella langsung menepuk pundaknya.

“Lala, bareng gue yuk pulangnya. Gue kan belum sempet nanya tadi—lo ngerti semua pelajaran Pak Surya nggak? Gue sumpah, tadi otak gue udah ngehang,” celoteh Bella sambil nyengir.

Eleanor tersenyum tipis. “Lumayan ngerti sih. Tapi kalau ada yang bingung, tanya aja. Kita bisa belajar bareng nanti.”

“Waaah, serius? Aduh gue makin cinta deh sama lo. Udah cantik, pinter, baik lagi. Nanti kalo ada Oppa Jungkook atau Oppa Kai liat lo, fix langsung rebutan.” Bella langsung ngehalu, tangannya sampai menutup pipinya sendiri.

Eleanor menahan tawa kecil. “Bella…” suaranya lembut, tapi matanya jelas geli mendengar celotehan itu.

Mereka berdua berjalan beriringan ke arah gerbang. Namun, sesampainya di depan, suasana mendadak berubah. Semua siswa yang tadinya sibuk ngobrol, langsung terdiam. Pandangan mereka terarah ke satu titik.

Di sana, tepat di depan gerbang sekolah, berdiri seorang pria tinggi dengan motor Harley Davidson hitam mengilap. Helm masih di tangannya, kemeja putihnya sedikit berantakan dengan dua kancing atas terbuka. Kacamata hitam tergantung santai di kerah.

Dominic Cromwel.

Dengan gaya cuek khasnya, ia menyalakan motor, suara mesin menggelegar dan langsung menarik perhatian semua orang. Tatapannya mencari sosok adiknya, dan begitu melihat Eleanor, ia langsung bersuara lantang.

“Ela! Ayo, cepat naik!”

Seketika seluruh siswa ternganga. Ada yang berbisik kagum, ada pula yang menatap iri.

“Gila… itu kakaknya?”

“Naik Harley, cuy! Cool banget.”

“Badboy vibes abis.”

Bella sampai melongo. “LA-LA… ITU… itu kakak lo?! Seriusan gue nggak kuat! Dia lebih hot dari Kai sumpah!” bisiknya setengah histeris.

Eleanor merasa pipinya memanas. Semua mata tertuju padanya lagi, dan kali ini karena kakaknya yang datang dengan gaya mencolok. Dengan senyum canggung, ia cepat-cepat menghampiri Dominic.

Tanpa banyak bicara, ia menerima helm dari kakaknya, memakainya dengan buru-buru, lalu naik ke motor Harley itu. Suara bisik-bisik di belakangnya semakin ramai.

Dominic menoleh sekilas, sebuah senyum nakal terulas di wajahnya sebelum ia menarik gas. Motor itu melaju meninggalkan gerbang, sementara tatapan iri dan kagum masih tertinggal di belakang.

Hati Eleanor berdebar kencang. Bukan hanya karena laju motor sang kakak, tapi juga karena sekali lagi, ia menjadi pusat perhatian semua orang.

1
Nanabrum
Ngakakk woyy😭😭
Can
Lanjuuutttt THORRRRR
Andr45
keren kak
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭
Andr45
wow amazing 🤗🤗
Can
Lanjut Thor
Cikka
Lanjut
Ken
Semangaaat Authooor, Up yang banyakk
Ken
Udah ngaku ajaaa
Ken
Jangan tidur atau jangan Pingsan thor😭😭
Ken
Nahh kann, Mulai lagiii🗿
Ken
Wanita Kadal 02🤣🤣
Ken
Bisa hapus karakter nya gak thor🗿
Ken
Kan, Kayak Kadal beneran/Panic/
Ken
Apaan coba nih wanita kadal/Angry/
Vytas
mantap
Ceyra Heelshire
gak bisa! mending balas aja PLAK PLAK PLAK
Ceyra Heelshire
apaan sih si nyi lampir ini /Panic/
Ceyra Heelshire
wih, bikin novel baru lagi Thor
Hazelnutz: ehehe iyaa😅
total 1 replies
RiaChenko♥️
Rekomended banget
RiaChenko♥️
Ahhhh GANTUNGGGGG WOYYY
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!