menikah dengan laki-laki yang masih mengutamakan keluarganya dibandingkan istri membuat Karina menjadi menantu yang sering tertindas.
Namun Karina tak mau hanya diam saja ketika dirinya ditindas oleh keluarga dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. mulai selingkuh
Di kampung halaman Karina, kedua orangtuanya duduk termenung di teras rumah, menikmati hembusan angin sore yang sejuk dan menyegarkan. Suasana yang tenang dan damai membuat mereka merasa nyaman dan santai.
"Pak..." panggil ibu Karina dengan nada yang lembut.
"Iya, Bu..." jawab bapak Karina dengan nada yang sama lembutnya, menunjukkan bahwa mereka berdua sedang menikmati momen yang tenang dan nyaman bersama.
Ibu Karina menatap ke arah jauh, wajahnya tampak khawatir dan cemas. "Kok ibu jadi kepikiran Karina ya, Pak. Setelah mendengar cerita dari tetangga Karina kemarin, ibu jadi kepengen lihat keadaan Karina secara langsung, Pak. Sudah lebih dari 2 tahun ibu tidak melihatnya. Biar bagaimanapun, Karina itu anak kita satu-satunya."
Pak Rahmat, bapak Karina, menghela napas panjang, wajahnya tampak berat dan sedih. "Bapak juga kepikiran anak itu, Bu. Bapak cuma masih kecewa dengan keputusan Karina. Coba saja dulu anak itu nurut sama kita," ucapnya dengan nada yang sedih dan menyesal.
"Tapi pak..."
Ibu Karina ingin melanjutkan pembicaraan, tapi Pak Rahmat memotongnya dengan nada yang tegas namun lembut. "Sudahlah, Bu. Kalau memang ingin bertemu dengan Karina, setelah panen kita kesana ya. Kita bawakan juga hasil panen buat Karina nanti."
Wajah Pak Rahmat tampak sedikit lembut, menunjukkan bahwa ia juga merindukan Karina dan ingin bertemu dengannya. Ibu Karina tersenyum lega, merasa bahwa suaminya telah memahami keinginannya untuk bertemu dengan anak mereka.
Bu Indri tersenyum cerah, wajahnya tampak bahagia dan lega. "Yang bener, Pak? Bapak nggak bohong kan? Ibu benar-benar merindukan anak itu," ucapnya dengan nada yang penuh harap.
Pak Rahmat hanya mengangguk, tidak menjawab dengan kata-kata. Ia kemudian berdiri dan mempersiapkan diri untuk pergi ke gudang. Meskipun hanya hidup di kampung, orangtua Karina termasuk orang yang cukup berada. Pak Rahmat merupakan juragan beras di kampungnya, memiliki sawah berhektar-hektar dan banyak karyawan yang bekerja pada pak Rahmat.
"Iya, Bu, yasudah Bapak mau ke gudang dulu sebentar. Ada yang mau ambil beras sore ini," ucap Pak Rahmat sambil berjalan menuju gudang, meninggalkan Bu Indri yang masih tersenyum cerah dan berharap untuk bertemu dengan anaknya, Karina.
Bu Indri mengucapkan salam perpisahan kepada suaminya, "Iya, Pak, hati-hati. Ibu juga mau menyiapkan makan malam dulu." Ia kemudian berpaling dan memasuki dapur, siap untuk memulai persiapan makan malam yang lezat. Sementara itu, Pak Rahmat berjalan menuju gudang, siap untuk menyelesaikan tugasnya sebelum kembali ke rumah untuk menikmati makan malam bersama istri tercinta.
****
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, Karina langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Ia merasa lelah dan sedih, sehingga tidak ingin keluar dari kamar. Sudah terhitung dari jam 1 siang sampai sekarang jam setengah 5 sore, Karina belum juga keluar dari kamar, hanya terbaring di tempat tidur dan memikirkan tentang kedua orangtuanya.
"Bapak, Ibu... Aku rindu," gumam Karina dengan suara yang pelan dan sedih. "Aku ingin pulang dan bertemu kalian, tapi aku malu. Kalian sudah tidak menganggapku anak." Ucapan itu terucap dari hati Karina yang sedih dan rindu.
Seharian ini, Karina hanya memikirkan tentang kedua orangtuanya. Setelah mendengar ucapan Bu Ratih tadi pagi, tiba-tiba saja Karina merasa rindu dan sedih. Ia merasa bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, yaitu kasih sayang dan pengakuan dari kedua orangtuanya.
Selama menikah dengan Rudi, Karina belum pernah bertemu dengan orangtuanya. Rasa malu dan takut dianggap tidak pantas lagi sebagai anak, membuatnya menjauhkan diri dari kedua orangtuanya.
Dalam kesunyian kamar, Karina terjebak dalam lamunan yang dalam, memikirkan tentang kehidupan masa lalunya dan hubungannya dengan orangtuanya.
Tiba-tiba, suara keras pintu yang digedor-gedor mengagetkan Karina dari lamunannya. "Dokkk.. Dokkkk.. Dokkkk.." Suara itu terdengar keras dan tidak sabar, membuat Karina merasa terkejut dan penasaran tentang siapa yang berada di balik pintu itu.
"Astaga ya ampun, bisa nggak sih mereka semua tidak menggangguku untuk hari ini saja," gumam Karina dengan nada kesal dan frustrasi. Ia merasa terganggu dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun, terutama setelah mendengar kabar tentang orang tuanya tadi pagi.
Tiba-tiba, suara keras dan tidak sabar dari luar kamar membuat Karina merasa terkejut. "Karina, keluar kamu! Ngapain saja dari tadi siang dikamar hah?" Suara itu terdengar seperti Bu Marni, mertuanya.
Dengan malas dan tidak bersemangat, Karina akhirnya keluar dari kamar. Ia tidak ingin membuat situasi menjadi lebih buruk dan membuat Rudi semakin marah. Dengan langkah yang perlahan dan tidak berenergi, Karina membuka pintu kamar dan keluar, siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. "Ceklek.." Suara pintu yang terbuka terdengar keras dan kering.
"Heh, kamu itu nggak lihat jam? Ini sudah hampir jam 5, sebentar lagi suamimu pulang. Tapi kamu masih males-malesan dikamar. Baju belum diangkat, Rumah juga belum disapu. Harusnya jadi istri itu sudah rapi dan cantik kalau suami mau pulang," kata Bu Marni dengan nada yang tinggi dan menghardik.
Namun, diluar dugaan Bu Marni, Karina tidak menjawab ocehan mertuanya. Ia tidak membalas kata-kata Bu Marni, tidak meminta maaf, dan tidak berusaha menjelaskan diri. Sebaliknya, Karina memilih untuk langsung pergi begitu saja, meninggalkan Bu Marni yang terkejut dan heran.
Bu Marni tentu saja heran dengan kelakuan menantunya. Biasanya, Karina akan selalu menjawab jika Bu Marni sudah marah-marah, tapi tidak kali ini. Karina seolah-olah tidak peduli dengan omelan Bu Marni dan memilih untuk mengabaikannya. Bu Marni merasa tidak mengerti dengan perilaku Karina yang tiba-tiba berubah.
Karina langsung mengangkat baju dan membereskan rumah, meskipun sedang tidak bersemangat. Ia terlihat seperti robot yang hanya melakukan tugas-tugas rutin tanpa ada semangat dan gairah.
Rina, adik ipar Karina, menyaksikan adegan itu dengan rasa penasaran. Ia melihat ibunya, Bu Marni, sedang memarahi Karina, tapi Karina tidak menjawab dan hanya melakukan tugas-tugas rumah tangga dengan diam-diam.
"Bu, Mbak Karin kenapa sih? Tumben diem aja. Biasanya juga nyapu pun sambil ngomel-ngomel, ceramah nggak jelas," tanya Rina dengan nada penasaran, mencoba memahami apa yang terjadi dengan Karina.
Bu Marni mengendikkan bahunya dengan nada yang tidak peduli. "Mana ibu tau. Kesambet kali mbakmu itu," ucapnya dengan nada yang singkat, lalu pergi ke depan untuk menutup warung.
Rina mendengar ucapan ibunya dan merasa tidak percaya. "Hah, kesambet? Masa sih mbak Karin kesambet?" Rina bergidik ngeri dan memilih pergi, tidak ingin mendengar lagi omelan ibunya tentang Karina.
Rina langsung masuk ke dalam kamarnya, menutup pintu dengan lembut. Rani, adik kembar Rina, yang memang sekamar dengan Rina, penasaran dengan kelakuan kembarannya itu. Ia melihat Rina yang terlihat gelisah dan penasaran, lalu bertanya dengan nada yang lembut, "Kamu kenapa, Rina? Ada apa?"
"Eh, kamu tahu nggak, Ran? Kata Ibu, Mbak Karina kesambet," ucap Rina dengan nada yang pelan dan sedikit takut.
Rani mengernyitkan keningnya, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Rina. "Kesambet bagaimana maksudnya? Jangan aneh-aneh deh," tanyanya dengan nada yang penasaran.
Rina melihat sekeliling kamar, seolah-olah takut ada yang mendengar percakapannya. "Kesambet setan, Ran, serius. Kalau nggak percaya, lihat aja sendiri. Nih, ya, biasanya Mbak Karin kan kalau beres-beres rumah suka sambil ngomel-ngomel. Tapi sekarang enggak loh, bahkan nggak nyuruh aku bantuin dia," jelas Rina dengan nada yang sedikit takut dan penasaran.
Rani mendengarkan penjelasan Rina dengan mata yang lebar dan penasaran, seolah-olah tidak percaya apa yang didengarnya.
"Masa sih?" Rani bertanya dengan nada yang penasaran dan tidak percaya.
"Iya, kalau nggak percaya lihat saja sendiri," jawab Rina dengan nada yang meyakinkan.
Karena penasaran, Rani mengikuti saran Rina untuk melihat sendiri. Ia berjalan menuju ruang keluarga, mencari keberadaan Karina. Saat melihat Karina sedang duduk di ruang keluarga, Rani memberanikan diri untuk mendekati Karina. Ia berjalan pelan-pelan, tidak ingin mengganggu Karina yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Rani berhenti di depan Karina dan memandangnya dengan mata yang penasaran, mencoba memahami apa yang terjadi dengan Karina.
Rani berdiri di depan Karina, memandangnya dengan mata yang penasaran. "Mbak.." panggilnya dengan nada yang lembut.
Karina mengangkat kepala, menatap Rani dengan mata yang terlihat sedih. "Hemmm," jawabnya dengan nada yang pelan.
Rani tidak puas dengan jawaban Karina, sehingga ia bertanya lagi. "Mbak Karin lagi apa?" tanyanya dengan nada yang penasaran.
Karina menghela napas panjang, seolah-olah merasa lelah dan tidak ingin berbicara. "Memang kamu nggak bisa lihat mbak sedang apa?" tanyanya dengan nada yang sedikit kesal.
Rani menatap Karina dengan mata yang tidak mengerti. "Sedang lipat baju," jawabnya dengan nada yang polos.
Karina menatap Rani dengan mata yang terlihat sedikit kesal. "Terus, kenapa masih tanya?" tanyanya dengan nada yang sedikit tajam.
Rani bertanya dengan nada yang penasaran dan sedikit takut, "Emt, mbak Karin nggak lagi kesambet kan?" Ia menatap Karina dengan mata yang lebar, mencoba memahami apa yang terjadi dengan Karina.
Karina menghentikan aktivitasnya, menatap Rani dengan mata yang terlihat sedikit heran. "Kesambet?" ulangnya dengan nada yang tidak mengerti.
Rani mengangguk dengan cepat, seolah-olah ingin menguatkan pendapatnya. "Kata Rina mbak kesambet. Mbak dimarahin ibu cuma diem saja," jelasnya dengan nada yang penasaran.
Karina masih menatap Rani dengan mata yang terlihat sedikit heran, seolah-olah tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Rani. Rani melanjutkan penjelasannya, "Biasanya kan mbak Karin kalau sedang beres-beres rumah pasti sambil ngomel. Terus kalau lihat aku atau Rina nganggur selalu maksa suruh bantuin." Rani menatap Karina dengan mata yang penasaran.
"Iya sih, tadi mbak sempet kesambet setan, tapi sekarang sudah pergi setannya," kata Karina dengan nada yang santai dan sedikit humoris.
Rani terlihat lega dan senang mendengar kabar tersebut. "Yang bener, mbak? Syukurlah kalau setannya sudah pergi," ucapnya dengan nada yang lega.
Karina kemudian berpaling dan menatap Rani dengan mata yang penasaran. "Kamu lagi belajar?" tanyanya dengan nada yang santai.
Rani menggelengkan kepala dengan cepat. "Enggak, mbak," jawabnya dengan nada yang polos.
Karina tersenyum dan memberikan perintah kepada Rani. "Yasudah, kalau begitu ini kamu terusin lipat baju! Mbak mau ngerjain yang lainnya," ucapnya dengan nada yang santai.
"Loh, kok jadi aku sih, mbak?" Rani bertanya dengan nada yang tidak puas, merasa bahwa Karina tidak adil.
"Ya, terus siapa? Jangan sampai mbak kesambet setan bar-bar ya. Bisa-bisa nanti nyakar muka kamu yang ada," jawab Karina.
Rani merasa kesal dan tidak puas dengan jawaban Karina. "Ih, nyebelin banget sih mbak Karin," ucapnya sambil memonyongkan bibirnya, menunjukkan bahwa ia tidak senang dengan perlakuan Karina.
Rani merasa bahwa dirinya telah terjebak dalam situasi yang tidak diinginkan. Ia merasa bahwa Karina tidak adil dan bahwa ia telah salah mengikuti ucapan Rina. Sekarang, ia harus menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Karina, yaitu melipat baju. Dengan tidak bersemangat, Rani akhirnya menyelesaikan pekerjaan tersebut, merasa bahwa ia tidak memiliki pilihan lain.
****
Lisa berdiri di pinggir jalan, menunggu kedatangan Rudi dengan sabar. Setelah kejadian pertama kali mereka berdua pulang bersama, hubungan mereka semakin dekat dan intim. Kini, hampir setiap hari mereka berdua pulang bareng, menikmati waktu bersama yang semakin lama semakin berharga.
Rudi meminta Lisa menunggu di tempat yang agak jauh dari kantor, untuk menghindari prasangka dan kecurigaan dari rekan-rekan kerjanya. Lisa memahami keinginan Rudi dan menunggunya di tempat yang telah ditentukan.
Saat Rudi tiba, Lisa tersenyum dan merasa gembira. "Ayo naik!" ucap Rudi dengan nada santai. Lisa mematuhi ajakan Rudi dan naik ke atas motor, siap untuk melakukan perjalanan pulang bersama.
Setelah Lisa naik ke atas motor, Rudi segera melajukan motornya dengan kecepatan sedang, menembus jalanan yang mulai ramai dengan kendaraan lainnya.
"Pak Rudi, kita mampir makan dulu yuk," ajak Lisa dengan nada yang ceria dan menggoda. "Didepan sana ada tempat makan yang baru buka, dan katanya makanannya enak."
Rudi menoleh ke belakang, menatap Lisa dengan mata yang sedikit ragu-ragu. "Maaf, Lis, aku nggak bisa," jawabnya dengan nada yang sopan namun tegas.
Lisa tidak menyerah, ia terus mengajak Rudi untuk mampir makan. "Kenapa, pak? Karena istrinya ya? Kan pak Rudi bisa alasan lembur gitu," kata Lisa dengan nada yang sedikit berkelakar. "Ayolah, pak, sekali-kali kita mampir makan dulu." Lisa menatap Rudi dengan mata yang manis dan menggoda, berharap Rudi akan luluh dan mengabulkan ajakannya.
Rudi nampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk dan mengatakan, "Yasudah, kita mampir makan dulu."
Lisa tersenyum puas dan mengucapkan, "Nah, gitu dong, pak." Dibalik tubuh Rudi, Lisa tersenyum penuh makna, seolah-olah merasa telah berhasil mempengaruhi Rudi.
Saat Rudi fokus mengemudikan motornya, Lisa semakin berani mengeratkan pelukannya di belakang Rudi. Ia merasa lebih nyaman dan dekat dengan Rudi, dan tidak ragu-ragu menunjukkan perasaannya.
Motor Rudi kemudian belok ke arah tempat makan yang Lisa maksud, sebuah restoran kecil yang terletak di pinggir jalan. Lisa merasa gembira dan bersemangat, menantikan momen makan bersama Rudi yang semakin dekat dan intim.
Rudi menunjukkan keraguan saat melihat kerumunan orang di depan restoran. "Ini rame banget, Lis. Takutnya orang yang mengenal kita ada yang lihat," katanya dengan nada yang khawatir.
Lisa tersenyum dan menggelengkan kepala. "Ya ampun, pak Rudi, ya jelas rame dong. Kan ini tempat makan baru beberapa hari buka, banyak yang penasaran karena katanya makanan disini enak-enak. Selain itu banyak diskon juga," jelasnya dengan nada yang santai dan bersemangat.
Rudi masih terlihat khawatir, tapi Lisa segera menenangkannya. "Tapi bapak tenang saja, kalau ada yang kenal sama kita dan melihat kita, bilang saja kalau kita itu rekan kerja. Sudah, ayo pak, kita masuk," ajak Lisa sambil menggeret tangan kiri Rudi dan membawanya masuk ke dalam restoran.
Di dalam restoran, Lisa mencari meja kosong dan untungnya masih ada satu meja yang kosong. Ia segera menarik Rudi ke arah meja tersebut dan mereka berdua duduk dengan santai, siap untuk menikmati makanan dan waktu bersama.
Lisa dan Rudi duduk dengan santai di meja yang telah mereka pilih, menunggu pesanan mereka. Mereka memesan makanan yang paling laku di restoran tersebut, yaitu beef steak yang lezat dan menggugah selera.
Saat menunggu pesanan, Rudi mengeluarkan ponselnya dan memulai mengetik pesan. "Sebentar, aku kirim pesan untuk istriku dulu," katanya kepada Lisa, yang mengangguk dengan pemahaman.
Rudi mengetik pesan dengan cepat, "Karina, hari ini aku harus lembur. Ada sedikit masalah di kantor." Ia kemudian mengirimkan pesan tersebut dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku.
Tak lama kemudian, seorang waiters datang membawa pesanan mereka. "Permisi, ini pesanannya. Silahkan dinikmati," ucapnya dengan senyum ramah, sebelum meninggalkan mereka untuk menikmati makanan.
"Enak ya, pak, steaknya," ucap Lisa begitu mencicipi makanannya, dengan mata yang terlihat puas dan senang.
Rudi mengangguk dengan senyum, menunjukkan bahwa ia juga menikmati makanannya. "Iya, menurutku ini juga enak rasanya," katanya dengan nada yang santai.
Lisa kemudian menatap Rudi dengan mata yang penasaran, seperti ingin bertanya sesuatu yang penting. "Pak, boleh aku bertanya sesuatu sama pak Rudi?" tanyanya dengan nada yang sopan dan hormat.
Rudi menatap Lisa dengan mata yang penasaran, menunjukkan bahwa ia siap untuk mendengarkan pertanyaan Lisa. "Mau tanya tentang apa?" tanyanya dengan nada yang santai dan terbuka.
"Apakah pak Rudi tidak punya perasaan apapun sama aku? Maksudnya, perasaan antara seorang pria dan wanita," tanya Lisa dengan nada yang lembut dan penasaran, menatap Rudi dengan mata yang terlihat serius.
Rudi terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan Lisa, namun ia segera mengumpulkan pikirannya dan menjawab dengan nada yang sopan. "Kamu tau sendiri kan, kalau aku sudah memiliki istri," katanya dengan nada yang santai, namun terlihat sedikit tegang.
Lisa tidak menyerah, ia malah menggeser kursinya mendekat ke arah Rudi, sehingga jarak antara mereka berdua semakin dekat. "Aku tau itu, bahkan semua orang kantor pun juga sudah tau," kata Lisa dengan nada yang lembut, namun terlihat sedikit berani. "Tapi kalau pak Rudi juga memiliki perasaan sama aku, tentu aku mau jadi yang kedua. Asal pak Rudi tau, sejak awal aku sudah menaruh hati kepada bapak."
Rudi terlihat terkejut dan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Maksud kamu, kita selingkuh gitu?" tanyanya dengan nada yang tidak percaya.
Lisa mengangguk dengan lembut. "Iya, bisa dikatakan begitu, pak. Apalagi aku tau kalau di pernikahan pak Rudi belum juga diberikan momongan," katanya dengan nada yang lembut dan sedikit berani.
Rudi terlihat sedikit terganggu dengan pengakuan Lisa, namun ia tidak segera menjawab. Ia terlihat sedang mempertimbangkan perasaannya sendiri, dan benih-benih rasa nyaman yang semakin timbul saat bersama dengan Lisa.
Lisa melanjutkan pengakuannya dengan nada yang lebih berani. "Kalau bapak juga memiliki perasaan denganku, aku mau menjadi selingkuhan pak Rudi. Bahkan jika pak Rudi menginginkan aku menjadi istri kedua pun aku juga siap."
Rudi menatap Lisa dengan mata yang tajam, ingin memastikan bahwa Lisa tidak berbohong atau berubah pikiran. "Apa kamu yakin dengan apa yang kamu ucapkan barusan?"
Lisa tidak terlihat ragu-ragu atau takut, ia malah menatap Rudi dengan mata yang tegas dan berani. "Tentu saja aku yakin, pak. Kalau pak Rudi bagaimana?"
Rudi masih terlihat ragu-ragu, ia masih menimbang-nimbang antara mengiyakan atau menolak. Dinilai dari sudut manapun, Lisa memang begitu cantik dan mempesona. Keindahan wajahnya, bentuk tubuhnya yang proporsional, dan kepribadiannya yang menarik, membuatnya menjadi wanita yang sangat diinginkan. Laki-laki mana yang bisa menolak kecantikan Lisa? Rudi sendiri tidak bisa menyangkal bahwa ia juga terpesona oleh keindahan Lisa.
Rudi menatap Lisa dengan mata yang lembut. "Jujur saja, aku juga mulai nyaman denganmu, Lis. Mungkin kita bisa mencoba berhubungan secara sembunyi-sembunyi," katanya dengan nada yang santai, namun terlihat sedikit ragu-ragu.
Lisa tersenyum manis, merasa gembira dan puas dengan jawaban Rudi. "Berarti sekarang kita berpacaran ya, pak? Boleh aku panggil sayang?" tanyanya dengan nada yang ceria dan bersemangat.
Rudi mengangguk, seolah-olah ingin mengkonfirmasi pernyataan Lisa. "Boleh, tapi kalau diluar kantor dan sedang tidak ada orang lain saja ya,"
Lisa tertawa dan mengangguk, merasa senang dan puas dengan kesepakatan mereka. "Baik, pak. Aku akan mengingatnya," katanya dengan nada yang manis dan bersemangat. Ia kemudian memanggil Rudi dengan sebutan yang lebih intim. "Sayang, aku senang sekali kita bisa berpacaran."
Lisa kemudian memeluk lengan Rudi dengan mesra, Ia ingin menunjukkan perasaannya yang tulus dan hangat. Lisa menekan wajahnya ke bahu Rudi, sehingga Rudi dapat merasakan hangatnya napas Lisa.
Rudi pun membalas pelukan Lisa dengan mengelus-elus punggung Lisa dengan lembut. Ia membiarkan tangan-tangannya bergerak perlahan-lahan di atas punggung Lisa, sehingga Lisa dapat merasakan sentuhan yang hangat dan nyaman.
"Loh, bukannya itu Rudi, suaminya mbak Karina, kan?" ucap seseorang yang berada di meja agak jauh dari meja yang Rudi tempati, dengan nada yang penasaran dan sedikit heran.
Bersambung...
lanjut Thor, penasaran!
wong data semua dari kamu