Juara Pertama "Lomba Menulis Novel Cerita Seram" yang diadakan oleh Noveltoon.
Mbah Arni dan suaminya bersahabat dengan seorang penari tradisional. Saat menginap di rumah Mbah Arni, penari itu tiba-tiba lenyap ditelan bumi.
Semenjak hilangnya penari itu, setiap malam Mbah Arni merasa ada yang berkelebatan di sekitar rumahnya. Terlebih, ketika suaminya sudah meninggal dan Mbah Arni tinggal sendirian, bayangan itu semakin intens mengganggu perempuan tua itu.
Apa yang terjadi dengan penari itu? Mengapa sahabat lain Mbah Arni yang bernama Lastri memilih mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri?
Mengapa Imran dan Parto takut dengan Mbah Arni?
SEASON KEDUA
Imran yang baru masuk SMP bertemu dengan seorang gadis misterius yang hanya ia temui di hari pertama ia bersekolah.
Ke mana perginya gadis itu?
Mengapa nama gadis itu sama dengan nama teman kedua orang tuanya yang tewas kecelakaan puluhan tahun yang lalu?
Apa yang dilakukan ayah Imran dan teman-temannya ketika SMP?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 4 SERAMNYA RUMAH PAK SATAR
Juwari dan Satuni adalah kakak beradik teman sekolah dan juga teman mengajiku. Juwari kelas lima, sekelas dengan Parto, satu tingkat di atasku. Sedangkan Satuni dua tingkat di bawahku. Di antara murid-murid Mbah Nur, rumah mereka berdualah yang terjauh. Saking jauhnya, setiap pulang mengaji, mereka dijemput oleh ayah mereka, Pak Satar.
Jalan menuju rumah Juwari, kalau dari langgar melewati beberapa tempat yang terbilang angker, yaitu rumpun bambu di timurnya rumah Pak Suwarno, kuburan di sebelah gedung SD, rumpun bambu di depan rumah Mbah Arni, dan sebuah gedung KUD tua. Untuk berangkat mengaji, mereka tidak pernah diantar karena pada jam-jam sore masih banyak orang yang lalu lalang di jalan yang mereka lewati.
Mereka selalu tiba di langgar paling awal, dibandingkan anak yang lain. Suatu hari, karena Juwari terlalu asyik bermain layangan akhirnya mereka berangkat saat langit sudah surup. Tepat saat azan Maghrib dikumandangkan, mereka baru sampai di rumpun bambu timurnya rumah Pak Suwarno. Saat itulah Satuni melihat sesosok wanita berbaju putih sedang duduk di atas pohon bambu yang tumbuh ke samping. Merekapun lari terbirit-birit ke arah utara menuju langgar.
Sudah beberapa hari ini kedua kakak beradik tersebut tidak mengaji di langgar. Konon Bu Satar diganggu hantu kelapa. Sebagai temannya, aku dan Parto merasa kesepian kalau tidak ada mereka di langgar. Di sekolah, aku mati-matian merayu mereka untuk mengaji, tetapi mereka kekeh menolak karena kasian dengan ibunya. Akhirnya, sepulang sekolah aku dan Parto ikut mereka pulang ke rumahnya untuk bertemu Bu Satar.
"Bu Satar, bolehkah Juwari dan Satuni mengaji lagi di langgar?" ujarku. Bu Satar menarik napas panjang.
"Biar mereka libur dulu ya, Le. Saya masih takut kalau malam-malam ditinggal sendirian di rumah," jawab Bu Satar pelan.
"Kami siap mengantar mereka pulang, jadi Pak Satar tidak usah menjemput Juwari dan Satuni," jawab Parto.
"Kalian yakin?" tanya Bu Satar.
"Eeee ... yakin ... yakin," jawabku setelah kakiku diinjak oleh Parto. Aku dan Parto tersenyum penuh kepalsuan kepada Bu Satar. Di dalam hati kami, sebenarnya ada rasa keraguan yang sangat besar, akan tetapi demi teman oke sajalah.
"Gimana, Ri?" tanya Bu Satar kepada Juwari.
"Lebih baik begitu, Bu. Kalau terlalu lama libur mengaji aku takut ketinggalan banyak ilmu tajwid dari Mbah Nur," jawab Juwari.
"Oke, kalau begitu besok kalian sudah boleh mengaji. Dengan catatan kalian harus serius belajar mengajinya, nggak boleh bergurau terus!"
"Horeeeeee ..."
Malam harinya, waktu mengaji aku melapor kepada Mbah Nur bahwa Juwari dan Satuni mulai besok akan mengaji kembali dan pulangnya aku dan Parto yang akan mengantar mereka pulang.
"Terimakasih, ya. Mbah percaya sama kalian berdua. Semoga kelak murid-murid Mbah semua akan menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah," ujar Mbah Nur.
"Aaamiiiin," jawabku.
Keesokan harinya
Selesai salat Isya berjamaah, kamipun berpamitan kepada Mbah Nur.
"Hati-hati ya, Le. Jangan lepas dari sholawat!"
"Inggih, Mbah"
Kamipun berangkat mengantar Juwari dan Satuni pulang. Kami berjalan beriringan, Juwari dan Satuni di depan, sedangkan aku dan Parto di belakang. Suasana gelap gulita karena memang listrik belum ada di kampung kami. Untunglah tadi Parto membawa senter merek Ev****** milik bapaknya. Mungkin karena ada rasa was-was, kami berjalan agak cepat terutama ketika melewati rumpun bambu di timurnya rumah Pak Suwarno. Pandangan kita fokus ke depan, tidak berani menoleh karena takut melihat sesuatu yang tak diinginkan.
Ketika melewati jalan di samping kuburan, Satuni semakin merapatkan tubuhnya ke kakaknya. Sementara aku juga tak kalah tegangnya dengan Satuni, tetapi aku menguatkan diriku sendiri dengan mengingat pesan Mbah Nur bahwa tempat kesukaan setan itu bukanlah kuburan, melainkan pasar. Makanya ketika masuk ke pasar, kita harus berdoa terlebih dahulu supaya tidak kalap melihat dagangan orang. Entah mengapa mensugesti diri seperti itu sedikit mengurangi rasa ketakutanku.
Akhirnya kami sampai di dekat rumpun bambu di depan rumah Mbah Arni. Rumah Mbah Arni letaknya duapuluh meter dari jalan, dan letaknya agak tinggi, pagarnyapun rimbun sekali serta pintu rumahnya selalu tertutup, alhasil keberadaan rumah tersebut tidak menambah keberanian bagi orang yang melewati rumpun bambu ini. Jika malam sudah menjelang jarang sekali orang yang mau lewat di rumpun bambu ini.
Konon, pernah ada bapak-bapak dari kampung sebelah lewat di sini naik sepeda pancal. Ketika asik memancal, tiba-tiba beberapa pohon bambu roboh ke jalan, bapak-bapak tersebut berusaha meminggirkan bambu-bambu tersebut untuk bisa lewat, tetapi karena kesulitan akhirnya ia memutuskan untuk memikul sepedanya saja melewati bambu yang roboh. Baru saja ia akan memikul sepedanya, ia terkejut karena pohon bambu yang roboh itu sudah hilang dari pandangan. Dengan masih penuh tanda tanya ia pun mulai mengayuh sepedanya kembali tetapi sepedanya terasa menjadi sangat berat, seolah-olah ada yang membonceng atau menarik dari belakang. Ketika ditoleh tidak ada siapa-siapa, akhirnya ia pun memancal sepedanya kuat-kuat namun sepeda tetap bergerak lambat. Ketika ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengayuh sepedanya, tiba-tiba sepedanya menjadi ringan secara mendadak. Akhirnya iapun tidak bisa mengendalikan laju sepeda dan masuk ke dalam got di depan rumah Mbah Arni.
Tidak cukup sampai di situ, ketika ia berusaha bangun ada tangan yang menariknya ke atas. Ia bergegas naik. Pikirnya, ada orang yang sedang berusaha menolong. Tetapi ternyata setelah diamati dengan seksama, sosok tersebut adalah kuntilanak. Iapun lari ketakutan ke arah timur sambil berteriak-teriak minta tolong, si Kunti tertawa-tawa melengking di belakangnya.
Mengingat cerita tersebut membuat bulu kudukku merinding.
[Sreeeeng]
Seperti ada yang meniup leher bagian belakangku. Semerbak bau bunga melati tiba-tiba menyeruak di hidungku. Sepertinya bukan hanya aku yang merasakannya, ketiga temanku juga. Kami mempercepat langkah meninggalkan rumpun bambu tersebut. Alhamdulillah kita sudah cukup jauh dari tempat itu. Aroma bunga melati mulai menghilang.
Tinggal satu lagi area seram yang akan kita lalui sebelum sampai di rumah Pak Satar, yaitu gedung KUD tua yang saat ini sudah ada di depan. Kami semakin mempercepat langkah melewati gedung KUD tersebut. Aura keanehan mulai kurasakan, seperti ada suara kaki yang meniru derap langkah kami. Ketika kami bergerak maju, suara langkah kaki itu seperti tertinggal di belakang, tetapi ketika telinga kami merasa suara itu menjauh, tiba-tiba langkah kaki itu mendekat kembali, begitu seterusnya berulang-ulang suara kaki itu mengeras dan melemah dengan sendirinya. Dan dalam rasa ketakutan kami yang memuncak, terdengar suara geraman dari dalam gedung KUD tua tersebut. Kami pun berlari menuju rumah Pak Satar.
"Ada apa kok lari-lari?" tanya Pak Satar. Kami mengatur napas yang masih tersenggal, beberapa detik kemudian baru Parto menjawab.
"Tidak ada apa-apa, Pak. Kami hanya main kejar-kejaran tadi."
"Iya, main kejar-kejaran, Pak" tambah Juwari.
Tanpa direncanakan, kamipun berbohong kepada Pak Satar karena kami tahu kalau kami mengatakan yang sejujurnya, tentunya beliau akan melarang aku dan Parto untuk mengantar anak-anaknya lagi. Dan otomatis kedua kakak beradik itu kembali akan diliburkan mengaji. Kami tidak mau hal itu terjadi, jadi kami harus bisa meyakinkan Pak Satar bahwa kami baik-baik saja. Bahkan ketika Pak Satar menawarkan untuk mengantar kami pulang, kami menolaknya dengan senyuman kepalsuan.
Kamipun berpamitan pulang kepada Pak Satar.
Selangkah meninggalkan rumahnya, kami menunggu Pak Satar kembali menawarkan diri untuk mengantar kami. Tetapi, hingga kami berdua agak jauh meninggalkan rumahnya, tawaran kedua tersebut tidak kunjung diberikan. Sungguh kami berdua benar-benar menyesal atas penolakan kami tadi dan sekarang kami harus menghadapi semuanya berdua saja.
Kami saling bergandengan dengan erat, lebih erat dari dua sejoli yang sedang dilanda cinta. Bedanya, kalau mereka berbunga-bunga, kalau kami sama-sama membayangkan ada beberapa sosok menyeramkan sedang menunggu kami di gedung KUD tua, di depan rumah Mbah Arni, dan di rumpun bambu timurnya rumah Pak Suwarno.
-Bersambung-
pak rengga melecehkan mita karna minta cantik dan makaya ada cerita anak dilecehkan saat masuk ruang lab pak rengga, mita hamil dan pak rengga gak mau tanggung jawab makanya dia coba bunuh Mita dgn menabrak mita
baru beberapa chapter aja udah buat sakit jantung
ARWAH BUNUH DIRI