"Jika ada kesempatan kedua, maka aku akan mencintai mu dengan sepenuh hatiku." Kezia Laurenza Hermansyah.
"Jika aku punya kesempatan kedua, aku akan melepaskan dirimu, Zia. Aku akan membebaskan dirimu dari belengu cinta yang ku buat." Yunanda Masahi Leir.
Zia. Cintanya di tolak oleh pria yang dia sukai. Malam penolakan itu, dia malah melakukan kesalahan yang fatal bersama pria cacat yang duduk di atas kursi roda. Malangnya, kesalahan itu membuat Zia terjebak bersama pria yang tidak dia sukai. Sampai-sampai, dia harus melahirkan anak si pria gara-gara kesalahan satu malam tersebut.
Lalu, kesempatan kedua itu datang. Bagaimana akhirnya? Apakah kisah Zia akan berubah? Akankah kesalahan yang sama Zia lakukan? Atau malah sebaliknya.
Yuk! Ikuti kisah Zia di sini. Di I Love You my husband. Masih banyak kejutan yang akan terjadi dengan kehidupan Zia. Sayang jika dilewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#30
Gedung besar yang letaknya tak jauh dari taman kota. Zia merasa, lebih nyaman duduk di taman dari pada masuk ke dalam. Apalagi di saat hatinya sedang tidak bahagia. Duduk di taman adalah hal yang paling baik.
Zia berjalan pelan. Lalu, duduk di salah satu kursi yang ada di taman tersebut. Matanya melihat satu persatu tamu yang datang. Zia sontak menarik napas dalam secara perlahan.
"Hah ... pesta. Apa enaknya pesta? Berkumpul dengan banyak orang. Harus memperlihatkan wajah bahagia. Menyapa, tersenyum, seolah hidup tanpa beban. Padahal, kebanyakan senyum dan sapaan ramah itu hanya palsu belaka. Sungguh membosankan," gumam Zia pelan sambil melipat kedua tangan.
Zia mendongak. "Dari pada menghadiri pesta yang banyak kepalsuan, lebih baik menikmati keindahan alam. Langit malam sangat indah," ucapnya lagi.
Bicara pada diri sendiri. Itu cukup melegakan buat Zia. Menatap langit malam yang gelap, yang hanya di hiasi beberapa cahaya bintang. Lalu, menikmati udara sejuk malam yang menyapa dengan lembut.
"Langit malam. Walaupun terlihat gelap, tapi tetap saja indah."
"Langitnya indah? Tapi kenapa aku baru tahu kalau kamu suka menatap lagi sekarang?"
Sontak, suara yang datang barusan membuat Zia terkejut. Suara itu menganggu kenyamanan Zia saat menikmati suara. Zia pun langsung menoleh sambil membenarkan posisi duduknya.
"Yunan."
"Kenapa kaget? Aku terlihat menyeramkan?"
"Ah, maaf. Aku gak niat buat ganggu kamu. Tapi, karena aku penasaran dengan seorang gadis yang duduk sendirian, makanya aku datang."
"Kan agak aneh jika di pikir-pikir, Zia. Semua orang ada di aula pesta. Ya kamu malah di taman sendirian. Menikmati suasana malam yang gelap. Ada-ada saja."
Zia tidak berucap. Namun, gadis itu langsung beranjak dari duduknya. Sepertinya, Zia tidak ingin bicara dengan Yunan. Itu terlihat dari bibirnya yang tertutup dengan rapat, tapi kakinya malah beranjak untuk meninggalkan pria tersebut.
Cepat, Yunan menahan tangan Zia yang ingin berlalu. "Zia. Mau ke mana?"
"Aula pesta."
"Kenapa harus sekarang? Tadi, bukannya kamu bilang-- "
"Tadi dan sekarang itu berbeda. Permisi," ucap Zia sambil melepaskan tangan Yunan yang sedang menggenggam tangannya.
"Zia. Jangan pergi dulu. Ayo bicara!"
Zia menoleh. Tatapan mata mereka beradu. Sesaat lamanya, hanya sesaat saja. Karena detik berikutnya, Zia langsung mengalihkan pandangannya kembali.
"Maaf, sepertinya, tidak ada lagi yang bisa kita bicarakan. Bukankah semuanya sudah jelas, tuan muda?"
Deg. Jantung Yunan seolah berdetak tak beraturan. Dadanya tiba-tiba terasa kosong. Serangan rasa cemas yang sering ia rasakan di masa lalu, kini kembali menghantui hati.
"Zia, maaf. Aku yang salah. Tolong, jangan abaikan aku lagi. Berikan aku kesempatan kedua ya. Ku mohon."
Zia tersenyum kecil. "Tuan muda."
"Bukan, Zia. Jangan panggil aku dengan panggilan yang canggung itu. Panggil lah aku dengan panggilan kak Yunan. Aku selalu merindukan panggilan itu."
Zia melepas napas berat. Perlahan, dia pejamkan matanya sebentar. Dia ulangi menarik napas secara perlahan beberapa kali. Hatinya kini sedang berada dalam dilema. Sebagian hati sakit, sebagiannya lagi bahagia. Entahlah. Dia juga bingung harus fokus pada rasa yang mana untuk saat ini.
"Zia. Aku yang salah. Jangan marah padaku lagi. Aku sudah cukup terluka beberapa hari terakhir. Aku sudah cukup sakit saat menahan rindu."
"Kezia Launrenza. Sejujurnya, rasa cinta ku tidak pernah berubah sedikitpun. Rasa cinta itu masih tetap sama. Sejak di kehidupan yang lalu, hingga kehidupan sekarang. Rasa cinta itu masih sama besarnya untukmu, Zia."
"Kamu bohong, kak Yunan."
"Nggak. Aku gak bohong. Aku bersumpah, Zia."
"Jika kamu tidak bohong, kenapa kamu mengatakan kata-kata yang sangat menyakitkan hatiku hari ini? Dan kenapa kamu mengabaikan aku berulang kali? Saat itu, aku masih berpikir, bahwa karena kita tidak saling kenal, maka dari itu kamu dingin padaku. Tapi--"
Yunan langsung meraih tangan Zia.
"Zia. Aku yang salah. Ku mohon, maafkan aku. Aku yang memang pengecut. Karena aku tidak ingin melihat kamu menderita lagi, aku berniat untuk melepaskan dirimu seperti yang telah aku janjikan sebelum aku mati di kehidupan sebelumnya. Tapi, aku ... saat aku melihatmu menjauh, aku jadi semakin sadar, kalau aku tidak bisa melepaskan dirimu, Zia. Maafkan aku."
Air mata Yunan akhirnya jatuh. Ya, pria yang sangat dingin bahkan diyakini telah kehilangan emosi sejak mengalami kecelakaan. Tapi saat bersama Zia, dia bukan hanya memperlihatkan semua emosi yang dimiliki oleh manusia. Bahkan, dia juga bisa disebut sebagai lelaki yang cengeng. Tangisan bukan lagi hal yang memalukan untuk diperlihatkan.
Yunan pun langsung memeluk erat tangan Zia sambil menangis. "Berikan aku kesempatan satu kali lagi, Zia. Ku mohon."
"Tapi saat itu, saat ku pinta satu kali saja kesempatan untuk kita, kamu tidak memberikannya padaku, kak. Lalu sekarang, kenapa harus aku yang memberikannya padamu?"
"Aku yang salah, Zia. Ku mohon. Berikanlah aku satu kali saja kesempatan." Yunan langsung mendongak untuk melihat wajah Zia.
"Ah, tidak. Bukan seperti itu. Jika kamu tidak siap memberikan aku satu kesempatan. Maka aku akan menagih janji yang telah kamu buat sebelumnya."
"Janji?"
"Iya. Janji untuk mencintai aku di kehidupan ini. Aku sudah menunaikan janjiku padamu. Waktu itu, aku sudah melepaskan dirimu seperti janji yang telah aku ucap. Lalu sekarang, giliran kamu yang menepati janji itu. Katamu ingin mencintai aku dengan sepenuh hati. Maka berikan aku kesempatan untuk menjadi suami kamu lagi."
"Zia. Ku mohon."
Zia tidak langsung menjawab. Matanya menatap lekat wajah Yunan yang sedang mengiba. Pria itu terlihat seperti kelinci putih yang tak berdaya. Berusaha mencari pertolongan dengan mengharapkan belas kasih dari seseorang.
"Kak Yunan."
"Ku mohon, Zia. Ku mohon." Air mata itu mengalir secara perlahan.
Sungguh, hati Zia tidak lagi kuat untuk bertahan. Dia seka air mata itu dengan kedua tangannya. "Aku sudah berusaha sebelumnya. Tapi-- "
"Zia." Yunan langsung memeluk erat pinggang Zia. "Jangan tinggalkan aku lagi. Kali ini, walau mengulangi kesalahan yang sama seperti di kehidupan sebelumnya, aku juga rela."
"Aku mencintai dirimu, Zia. Sangat mencintai kamu."
Tangan Zia bergerak perlahan. Dia belai lembut rambut Yunan yang tebal nan lurus. "Maafkan aku."
"Jangan. Tolong jangan pergi." Yunan berucap dengan cepat.
Zia langsung melepaskan pelukan Yunan dari tubuhnya. "Barusan, aku mau ngomong apa?"
Yunan menatap Zia lekat dengan wajah penuh rasa sedih. "Jangan tinggalkan aku. Ku mohon."
"Aku ... sepertinya ... tidak berniat bicara begitu."
"Maksudnya?"
"Tadi, aku mau ngomong, maafkan aku. Baiklah, satu kesempatan untuk suamiku akan aku berikan. Tapi, sepertinya, tidak jadi sajalah."
"Hah? Jangan. Itu tidak adil buat aku. Tunggu! Barusan, kamu bilang apa?" Yunan menatap Zia lekat. Matanya penuh dengan rasa ingin tahu.