NovelToon NovelToon
“Suara Hatiku Jadi Takdir Istana”

“Suara Hatiku Jadi Takdir Istana”

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Transmigrasi ke Dalam Novel / Bullying dan Balas Dendam / Pembaca Pikiran
Popularitas:18.3k
Nilai: 5
Nama Author: inda

Lian, gadis modern, mati kesetrum gara-gara kesal membaca novel kolosal. Ia terbangun sebagai Selir An, tokoh wanita malang yang ditindas suaminya yang gila kekuasaan. Namun Lian tak sama dengan Selir An asli—ia bisa melihat kilasan masa depan dan mendengar pikiran orang, sementara orang tulus justru bisa mendengar suara hatinya tanpa ia sadari. Setiap ia membatin pedas atau konyol, ada saja yang tercengang karena mendengarnya jelas. Dengan mulut blak-blakan, kepintaran mendadak, dan kekuatan aneh itu, Lian mengubah jalan cerita. Dari selir buangan, ia perlahan menemukan jodoh sejatinya di luar istana.

ayo ikuti kisahnya, dan temukan keseruan dan kelucuan di dalamnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Kabut pagi menggantung tebal di atas sungai, dinginnya menusuk kulit seperti ribuan jarum halus. Empat sosok penunggang kuda melangkah perlahan, napas kuda terlihat jelas di udara beku. Suara pelan tapak kuda di tanah lembap menjadi satu-satunya irama yang mengisi kesunyian.

Lian menarik tudung mantelnya lebih rapat. Embun menggantung di ujung rambutnya, dingin merembes sampai ke tulang. Namun matanya tetap awas, berulang kali melirik kiri dan kanan. Sejak penyergapan di hutan bambu, ia tahu perjalanan mereka tak akan lagi tenang.

Chen Yun menunggang kuda di sampingnya, tubuh tegapnya sedikit condong ke depan. Mata elangnya menyapu pepohonan lebat. “Ada jejak baru,” gumamnya sambil menunjuk tanah. “Lima orang. Berat badannya cukup seimbang. Mereka lewat sebelum fajar.”

“Pemburu lagi?” tanya Liu Ning di depan, suaranya rendah namun penuh kewaspadaan.

“Bisa jadi,” jawab Chen Yun singkat.

Yuyan yang sudah sejak tadi gelisah di atas kudanya menghela napas panjang. “Kenapa mereka bisa terus menemukan kita? Rasanya mereka tahu jalan kita bahkan sebelum kita memilihnya.”

Lian terdiam. Suara hatinya bergetar "Kalau begitu, ada mata-mata di sekitar kita… atau mungkin ada yang sudah menjual informasi."

Liu Ning, Chen Yun,dan Yuyan menoleh ke arahnya, seolah menyadari sesuatu. Namun ia hanya mengangguk, tidak mengucap sepatah kata pun.

---

Menjelang siang, mereka tiba di sebuah desa kecil di lembah. Atap rumah-rumah jerami tampak miring, jalan tanah penuh lumpur, dan wajah penduduk terlihat letih. Bau obat-obatan basi bercampur dengan aroma bubur encer menyambut mereka.

Seorang anak kecil berlari melewati kuda mereka, batuk keras hingga tubuh mungilnya terguncang. Ibunya segera memeluknya, menunduk takut ketika melihat rombongan asing.

“Kasihan sekali…” bisik Yuyan. “Mereka bahkan tidak punya tenaga untuk sekadar menatap kita.”

Lian turun dari kudanya. Ia meraih kantong kain berisi botol ramuan, lalu menghampiri si anak. “Boleh aku lihat?” tanyanya lembut.

Sang ibu ragu, tapi tatapan mata Lian begitu tulus. Perlahan ia mengangguk.

Lian membuka mulut si anak, memeriksa lidahnya, lalu memegang nadi mungilnya. “Demam parah. Tubuhnya melemah karena makanan terlalu sedikit.” Ia cepat-cepat meramu akar kering dengan air hangat dari kantong kulit.

Setelah diberi minum, si anak perlahan berhenti batuk, meski wajahnya masih pucat. Ibunya menangis sambil berlutut. “Terima kasih… terima kasih, Nona…”

Warga sekitar mulai mendekat, berbisik-bisik. Beberapa membawa anak sakit, beberapa lagi menunjukkan luka lama yang bernanah. Dalam sekejap, Lian dikerumuni banyak orang.

Chen Yun segera maju, berdiri melindungi dari belakang. “Beri ruang! Biarkan ia bekerja!” suaranya tegas, membuat orang-orang mundur setapak.

Liu Ning memandangi kerumunan itu. Wajah-wajah letih berubah penuh harapan hanya karena satu perempuan sederhana memberikan obat. Kalau saja… kelak aku bisa memimpin mereka dengan adil, mungkin kerajaan ini tak akan sekarat seperti sekarang.

Tanpa sadar, Lian membatin, "Rakyat ini tidak butuh kata-kata manis, mereka hanya butuh pemimpin yang benar-benar peduli."

Liu Ning yang berdiri tak jauh menegang. Ia mendengar jelas suara hati itu, seakan menusuk langsung ke dadanya. "Tangannya mengepal. Aku… akan jadi pemimpin itu."

--

Mereka memutuskan bermalam di desa itu. Warga memberikan sebuah gudang tua untuk dipakai, meski mereka sendiri kekurangan. Lian membagi-bagikan ramuan sederhana, Yuyan membantu mencatat kebutuhan obat. Chen Yun menjaga pintu, sementara Liu Ning ikut memotong kayu dan menimba air hal yang membuat warga semakin heran sekaligus kagum.

Di dalam gudang, Lian duduk menatap api kecil. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya tak bisa tenang. Tiba-tiba, saat menatap Chen Yun yang sedang menajamkan pedang di sudut, sebuah penglihatan datang begitu saja.

Kabut perang. Darah membasahi tanah. Chen Yun berdiri di depan pasukan besar, bendera bertuliskan lambang keluarga Chen berkibar gagah. Namun wajahnya penuh luka, dan di belakangnya seorang lelaki tua Jenderal Chen tersenyum bangga

Lian terkejut. Ia memalingkan wajah, menekan dadanya. "itu… masa depan?"

Chen Yun mendongak, merasa tatapan Lian padanya barusan bukan tatapan biasa. “Ada apa?” tanyanya pelan.

Lian buru-buru menggeleng. “Tidak… hanya lelah.”

Tapi suaranya bergetar. Dalam hati ia berkata: Kalau memang itu masa depanmu, Chen Yun… maka aku akan mencari cara agar kau tidak mengulang takdir pahit ayahmu.

Chen Yun sempat menatap lama. Meski ia tak mendengar isi hati itu, entah mengapa dadanya hangat, seakan ada sesuatu yang mengikat.

---

Malam semakin larut. Yuyan menyusup ke penginapan kecil di ujung desa. Ia berpura-pura sebagai pelayan, mendengarkan percakapan para pedagang. Dari situ, ia menangkap kabar mengerikan, Menteri Cun baru saja mengirim seratus pemburu bayaran untuk menyisir jalur menuju Gunung Qifeng.

Yuyan kembali dengan napas terengah. “Mereka… mereka sudah di depan kita! Kalau kita lewat jalan utama, pasti terjebak.”

Liu Ning mengerutkan dahi. “Kalau begitu, kita harus lewat jalur hutan barat. Walau lebih sulit, setidaknya musuh tidak menyangka.”

Chen Yun mengangguk. “Aku tahu jalannya. Ayah dulu sering melatih pasukan bayangan lewat sana.”

Lian menatap mereka, hatinya berdesir. Seolah semua jalur ini sudah ditentukan… seperti papan catur besar yang sedang bergerak.

---

Keesokan paginya, mereka melanjutkan perjalanan melalui jalur barat. Jalanan terjal, akar-akar pohon mencuat, dan kabut tebal membuat pandangan terbatas.

Saat mereka menyeberangi jembatan kayu tua di atas jurang, tiba-tiba sebuah anak panah melesat dan tertancap di tanah, nyaris mengenai kaki kuda Liu Ning.

“Berhenti!” seru Chen Yun. Ia segera menarik pedangnya.

Dari balik pepohonan, muncul lima pria berpakaian lusuh, namun cara mereka bergerak jelas bukan orang biasa. Mata mereka tajam, tangan mereka terlatih memegang senjata.

Liu Ning mengangkat pedang. “Musuh?”

Pria paling depan menggeleng perlahan. “Kami bukan musuh. Kami… adalah pasukan bayangan Jenderal Chen.”

Chen Yun tertegun. “Kalian… masih hidup?”

Pria itu tersenyum pahit. “Banyak yang mati. Sisanya bersembunyi. Tapi kami mendengar kabar… bahwa putra jenderal masih hidup. Maka kami datang, ingin melihat dengan mata sendiri.”

Mereka semua menunduk dalam-dalam. Tapi mata sang pemimpin penuh keraguan. “Namun… bagaimana kami tahu kalian benar-benar layak diikuti? Bagaimana kami tahu ini bukan jebakan?”

Suasana menegang. Liu Ning melirik Lian. Lian hanya menggenggam erat ramuan di tangannya, lalu tanpa sadar membatin, "Jika mereka benar-benar tulus, mereka akan tahu siapa musuh sebenarnya. Waktunya akan datang."

Pria itu menegang. Entah kenapa, ia mendengar gema suara itu di hatinya. Tatapannya langsung berubah gentar. Ia memandang Lian lama, lalu menunduk. “Kami… mengerti. Kami akan mengikutimu, Putra Jenderal, tapi buktikan bahwa jalanmu benar.”

Chen Yun mengepalkan tinjunya. “Aku akan buktikan. Demi ayah, demi rakyat.”

Untuk pertama kalinya, mereka tak hanya berjalan berlima. Bayangan masa depan mulai mengambil bentuk.

Bersambung

1
Cindy
lanjut kak
Srimulyani
wah cinta segiempat Cen Yun banyak saingan
hani chaq
orang licik ga akan bertahan lama karna bakal termakan balik dengan kelicikannya
hani chaq
jodohnya kian dekat.....ayo semangat berjuang setiap keburukan pastilah akan kalah
hani chaq
emang seorang yg kuat harus berjodoh ma yg lebih hebat
hani chaq
masih menjadi teka teki siapa jodoh pedang langit
hani chaq
ini baru tambah asik.mantap polllll..... pokoknya
hani chaq
jgn biarkan ke4 org itu ada yg hilang.ayo.....kalian bisa
hani chaq
ayolah chen....ajari lian bela diri.seenggaknya bisa buat lebih bermanfaat
nara 🇮🇩 🇹🇼
bearti lian tak berjodoh denga kaisar liu ning,,kalau lian ketemu dengan pemilik pedang langit feng xuan,,
hani chaq
sayang sekali yg cewek2 pd ga bisa bertarung
hani chaq
benar2 jodohnya lian
kaylla salsabella
wah kasihan nanti Liu ning klu kian nikah sma pewaris satu nya
Tiara Bella
makasih Thor up nya....sangat menghibur berasa nnton dracin.... semangat ya
ᵉᶠ ↷✦; 𝓔 𝓵 𝓵 𝓮 ❞
berada selalu disisi nya untuk menuju kebahagiaan
ᵉᶠ ↷✦; 𝓔 𝓵 𝓵 𝓮 ❞
wahhh, seperti harapan ku dong /Applaud/
seorang kaisar yang sangat berwibawa yang akan menjadi jodoh nya Lian
ᵉᶠ ↷✦; 𝓔 𝓵 𝓵 𝓮 ❞
Lian bobo' cantik, sementara keluarga nya kelimpungan nyariin /Facepalm/
ᵉᶠ ↷✦; 𝓔 𝓵 𝓵 𝓮 ❞
penyesalan mu telat raja, Lian udah menutup hati nya untuk istana xu
ᵉᶠ ↷✦; 𝓔 𝓵 𝓵 𝓮 ❞
kabulin dong yang mulai, biar Lian bisa buat gebrakan baru
ᵉᶠ ↷✦; 𝓔 𝓵 𝓵 𝓮 ❞
pintar, Lian sang jenius baru muncul 🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!