sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 28
Arga melangkah menuju ujung gedung tempat kelas semester empat berada. Langkahnya terasa berat. Sesampainya di sana, perkuliahan sudah usai. Ia mendekati beberapa mahasiswa yang tampak berkelompok di depan kelas.
Satu per satu teman Irma ia tanyai, namun hasilnya nihil. Tak satu pun dari mereka mengetahui keberadaan adik bungsunya itu. Arga menelan kekecewaan yang membuat dadanya berdebar keras. Rasa bersalah menggelayuti pikirannya.
“Kenapa selama ini aku terlalu cuek sama adikku sendiri?” gumamnya lirih sambil meremas rambut.
Ingatan masa lalu melintas jelas di benaknya. Ia teringat saat Ibu Mega sempat berselisih dengan Melati gara-gara Melati menegur Irma agar kuliah dengan benar. Waktu itu, Melati memegang bukti bahwa Irma belum membayar uang kuliah—padahal uang sudah diberikan oleh Arga.
Entah bagaimana, Irma tetap bisa menunjukkan kwitansi pembayaran dari pihak kampus. Karena itulah Arga memarahi Melati, menuduhnya menebar fitnah. Namun kini, kenyataan justru menunjukkan bahwa Melati benar sejak awal: Irma memang belum membayar kuliah.
Beberapa kali pula Arga teringat pertengkaran antara Melati dan Irma. Melati sering menasihati adiknya itu agar menjaga pergaulan, tapi Irma selalu merasa diawasi dan tersinggung. Akhirnya, seluruh keluarga memihak Irma.
“Tidak sekolah tinggi, jangan sok atur hidup orang,” begitu kata Ibu Mega waktu itu—kalimat yang masih terngiang di kepala Arga.
Arga mengusap wajahnya, lalu melangkah lesu meninggalkan kelas semester empat. Ia berjalan menuju parkiran dan berdiri di samping mobilnya. Baru saja hendak membuka pintu, seorang wanita muda—seumuran Irma—datang menghampirinya.
“Dengan Kak Arga, ya?” ucapnya hati-hati.
Arga menoleh. “Ya, ada apa?” tanyanya.
“Kakak sedang mencari Irma?”
Arga mengangguk cepat. “Kamu tahu di mana dia?”
Wanita itu menatapnya mantap. “Aku tahu keberadaan Irma, tapi ada syaratnya.”
Arga menarik napas dalam. “Oke, berapa yang kamu mau?”
Wanita itu menggeleng. “Bukan uang syaratnya, Kak.”
“Lalu apa?”
“Janji dulu mau ikuti syaratku.”
Arga menghela napas, mulai kesal. “Ya, aku janji. Apa syaratnya?”
“Janji Kakak enggak akan memarahi Irma nanti.”
Arga mengernyitkan dahi. “Kenapa?”
“Tolong, Kak. Aku mohon. Jangan marahi Irma, baru aku kasih tahu di mana dia.”
Arga menatap gadis itu lama. “Dia adikku. Kalau aku marah, itu tandanya aku sayang.”
“Tapi kali ini, tolong… jangan marahi dia,” ujarnya sungguh-sungguh.
Arga akhirnya mengangguk. “Baik. Aku janji. Sekarang tunjukkan tempatnya.”
“Aku boleh ikut naik mobil Kakak?” tanya gadis itu.
“Silakan.”
Arga membuka pintu penumpang, lalu duduk di kursi pengemudi dan menyalakan mesin.
“Namamu siapa?” tanya Arga memecah keheningan.
“Sinta, Kak.”
Itu menjadi percakapan pertama dan terakhir di perjalanan itu, karena setelahnya Arga hanya fokus mengikuti arah yang ditunjukkan Sinta.
“Parkir di sana, Kak,” ujar Sinta sambil menunjuk ke sebuah ruko tua dengan lahan parkir sempit.
“Irma tinggal di sana?” tanya Arga heran.
Sinta menggeleng. “Bukan, Kak. Mobil enggak bisa masuk ke kontrakan Irma.”
Arga mengerutkan dahi. Setahunya, Irma adalah anak yang manja, tak terbiasa hidup mandiri—apalagi di tempat kumuh seperti itu.
Arga keluar dari mobil, mengikuti Sinta yang berjalan di depannya sebagai pemandu jalan. Mereka memasuki sebuah gang sempit yang hanya cukup untuk satu motor. Bau pesing bercampur bau sampah menusuk hidung. Arga spontan menutup hidungnya, merasa tidak nyaman.
Rasa heran menyelinap di pikirannya. Bisa-bisanya Irma tinggal di lingkungan seperti ini, batinnya.
“Itu kontrakannya, Kak,” ucap Sinta pelan sambil menunjuk ke arah sebuah rumah petak di ujung gang. Cat dindingnya sudah mengelupas, tampak kusam dan tak terawat. Kontrakan itu lebih sepi dibandingkan rumah-rumah di sekitarnya.
Arga melangkah mendekat, diikuti Sinta. Baru beberapa langkah dari pintu, seseorang keluar dari dalam rumah. Arga tertegun. Itu Irma.
Namun, sosok yang kini berdiri di hadapannya sangat berbeda dengan Irma yang ia kenal tiga bulan lalu. Gadis itu mengenakan daster lusuh, rambutnya berantakan, dan yang paling mencolok—perutnya tampak buncit. Irma belum menyadari kehadiran Arga hingga suara berat itu memanggilnya.
“Irma,” ucap Arga pelan.
Irma menoleh. Wajahnya langsung pucat. Tatapannya penuh ketakutan, tubuhnya gemetar hebat. “Ka… Kak Arga, kenapa ke sini?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
“Irma, kenapa dengan kamu?” tanya Arga, nadanya bergetar menahan amarah dan cemas.
Air mata Irma menggenang. “Kak, tolong… maafkan aku,” katanya lirih.
Kata-kata itu menampar hati Arga. Amarah yang semula membuncah seketika mereda, berganti iba. Ia memperhatikan Irma dengan seksama—wajah tirus, mata cekung, lingkar hitam di bawah mata, dan kulit yang tampak kusam. Ia tampak lebih tua dari usianya.
Arga melangkah mendekat, lalu meraih bahu Irma dan memeluknya erat. Air mata yang sejak tadi Irma tahan akhirnya tumpah. Ia menangis tersedu-sedu di dada kakaknya.
Selama dua menit mereka berpelukan dalam diam. Setelah tangisan Irma mulai reda, Arga melepaskan pelukannya perlahan. Ia menggandeng Irma masuk ke dalam kontrakan itu.
Ruangan di dalam tampak kumuh, cat dindingnya pudar, dan udara terasa pengap. Mereka duduk di atas karpet plastik bermotif Spiderman yang sudah bolong-bolong.
“Ada apa dengan kamu, Irma?” tanya Arga lembut. “Dan di mana suamimu?”
Irma terisak, suaranya pelan. “Pacarku… dia tidak mau tanggung jawab, Kak.”
Rahang Arga mengeras. Tangannya mengepal kuat. “Siapa orangnya?”
Irma terdiam, menunduk.
“Katakan, Irma,” suara Arga meninggi. “Biar Abang kejar orangnya.”
Irma menggeleng cepat. “Jangan, Kak. Kalau aku menuntut tanggung jawabnya, semuanya bisa berantakan.”
“Berantakan bagaimana?”
Irma menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Kita bisa perang saudara, Kak.”
“Maksud kamu?” Arga menatap heran.
“Sudahlah, Kak. Aku cuma ingin hidup tenang.”
“Bagaimana aku bisa tenang kalau kamu hamil dan tinggal di tempat seperti ini?” sergah Arga. “Katakan siapa yang sudah berbuat begini padamu.”
Hening. Yang terdengar hanya suara napas Arga yang memburu dan sesenggukan Irma.
Akhirnya Irma berbisik lirih, “Toni, Kak.”
“Toni?” Arga mengulang dengan nada tak percaya. “Siapa dia?”
Irma menunduk. “Dia anak Mas Anton, suami Kak Risma.”
Mata Arga membulat, mulutnya terbuka. “Bukankah Mas Anton itu bujangan waktu menikah dengan Kak Risma?”
Irma menggeleng pelan. “Tidak, Kak. Mas Anton sudah punya anak dan istri sebelum menikah dengan Kak Risma.”
“Kurang ajar!” geram Arga. Rahangnya menegang, dadanya naik turun menahan emosi.
Irma kembali menangis. “Kak, tolong jangan teruskan masalah ini. Demi keutuhan keluarga kita.”
“Maksudmu?”
“Toni mengancam. Kalau aku menuntut, dia akan menyuruh Mas Anton menceraikan Kak Risma,” isaknya.
Arga terdiam lama. Ia menatap sekeliling kontrakan—dinding bolong, udara pengap, dan karpet lusuh tempat adiknya duduk memegangi perutnya yang mulai membesar.
“Tapi Irma,” ucap Arga akhirnya, “ini tidak bisa dibiarkan. Aku akan menuntut tanggung jawab dari Toni.”
Irma menatapnya dengan mata basah. “Jangan, Kak… lebih baik aku mati daripada keluarga kita hancur karena aku.”