Demi menikahi wanita yang dicintainya, Arhan Sanjaya mengorbankan segalanya, bahkan rela berhutang banyak dan memenuhi semua keinginan calon mertuanya. Terbelenggu hutang, Arhan nekat bekerja di negeri seberang. Namun, setelah dua tahun pengorbanan, ia justru dikhianati oleh istri dengan pria yang tak pernah dia sangka.
Kenyataan pahit itu membuat Arhan gelap mata. Amarah yang meledak justru membuatnya mendekam di balik jeruji besi, merenggut kebebasannya dan semua yang ia miliki.
Terperangkap dalam kegelapan, akankah Arhan menjadi pecundang yang hanya bisa menangisi nasib? Atau ia akan bangkit dari keterpurukan, membalaskan rasa sakitnya, dan menunjukkan kepada dunia bahwa orang yang terbuang pun bisa menjadi pemenang?
Karya ini berkolaborasi spesial dengan author Moms TZ.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Cinta, Prasangka, dan Balas Dendam"
.
“Maaf," ucap Arhan ketika ia telah berada di dekat Budi yang sedang mencuci piring di wastafel.
“Apa?" Budi yang terkejut, menghentikan gerakan spons yang sedang berputar di atas piring. “Emm maksudku kenapa minta maaf?" Bertanya tanpa menoleh.
Arhan melingkarkan tangannya merangkul pundak sang sahabat. "Aku tidak ada perasaan apapun pada Mbak Laras. Percayalah!”
“Ap- apa maksudmu?" Budi menoleh cepat dengan wajah bersemu merah. Bukan tersipu, tapi malu. Apa jangan-jangan Arhan tahu kalau dia cemburu? Kegugupan tercetak jelas di wajah tampannya.
Arhan mengambil nafas dalam-dalam. “kalaupun misalnya Aku memiliki perasaan pada Mbak Laras, aku juga tidak akan menjadi seorang pengkhianat yang menikung sahabatku sendiri,” ucapnya tegas selalu menoleh hingga kedua mata mereka saling bertatapan.
“Kamu…? Kamu tahu?” Budi tak tahu mau berkata apa. Wajahnya tak lagi hanya bersemu merah, tapi benar-benar merah padam. Ternyata Arhan benar-benar tahu apa yang baru saja ia pikirkan.
Arhan mendengus. Mereka berteman sejak masih kecil, Bagaimana mungkin dia tidak tahu apa yang dirasakan oleh sahabatnya. Melepaskan rangkulan tangannya lalu menatap sahabatnya seraya berkacak pinggang.
“Dasar perjaka karatan,” Ejeknya. “Makanya, kalau suka itu ngomong sana, nanti disabet orang lain baru tahu rasa!” Bukan mendukung malah menakut-nakuti.
Budi menghela napas berat, mencampakkan spons di tangannya seolah sedang putus asa. Piring yang belum selesai ia bilas pun diletakkan lagi. Menatap Arhan dengan ragu. “Apa menurutmu dia akan menerimaku?"
Lagi-lagi Arhan menghela nafas. "Kalau tidak dicoba Bagaimana kamu bisa tahu?” ucapnya lalu kembali merangkul sahabatnya.
"Lagi pula, kalau aku lihat dari interaksi kalian setiap hari, aku merasa kalau sebenarnya dia juga suka sama kamu,” ucapnya memberi semangat.
“Benarkah?" Budi kembali menoleh menatap wajah sahabatnya. "Kamu merasa seperti itu?” Sedikit rasa tak percaya diri menghampirinya.
Arhan ikut menoleh hingga tatapan mereka kembali bertemu. "Kenapa tidak? Sahabat baikku ini seorang pria yang sopan, tampan, mapan. Sudah jelas menjadi idaman para wanita,” ucapnya.
"Ditambah lagi, dia jujur, baik hati, dan tidak sombong. Spesifikasi yang mana yang tidak membuat wanita jatuh cinta?"
Budi terdiam, tetapi kata-kata arhan walaupun ia tahu itu sengaja dilebih-lebihkan menumbuhkan sedikit rasa percaya dalam dirinya.
“Astagfirullah… Kalian sedang apa?!" Suara pekikan Rina membuat keduanya serempak menoleh. Gadis yang baru saja masuk ke area dapur itu menatap mereka berdua dengan dua mata mendelik menyelidik.
Arhan dan Budi saling pandang lalu menyadari bahwa posisi mereka memang berpotensi membuat orang salah paham. Keduanya serempak melepaskan rangkulan. “Hush hush, sana, jauh-jauh!" Arhan mendorong dada Budi.
"Yee… tadi yang main rangkul-rangkul siapa?!” Budi mendelik tidak terima.
“Mas…?” Rina menatap ke arah kakaknya dengan tatapan aneh. "Mas Arhan bukan karena dikhianati Mbak Nurmala lalu jadi…”
Arhan mengerutkan kening menunggu kelanjutan ucapan dari Rina. “Apa?" tanyanya dengan mata memicing.
“Mas Arhan nggak bel- lok, kan?" Suara Rina perlahan menjadi rendah sedikit ragu sekaligus takut pertanyaannya akan menyinggung perasaan kakaknya.
“What…?!” Arhan bergegas mendekat ke arah Rina lalu memiting leher gadis itu di bawah ketiaknya. “Bisa-bisanya kamu berpikir terus seperti itu terhadap Mas?!"
"Ampun…!” Rima berteriak mencoba melepaskan diri dari pitingan kakaknya. “Ampun Mas… ampun!” teriaknya. Namun, Arhan tak juga melepaskannya bahkan tangannya dengan jail menggelitik pinggang adiknya.
“Nih, rasain kamu!"
“Ampun, Mas… ampun!”
Bu Astuti yang sedang mencuci ikan di belakang spontan berlari mendekat mendengar teriakan Rina.
"Rina… Arhan…?!" pekiknya berusaha untuk memisahkan mereka. “Arhan, sudah, lepaskan adikmu!"
Budi yang melihat ketiganya tertawa terbahak-bahak dengan satu tangan di pinggang dan satu lagi memegangi perutnya yang terasa kaku.
Inilah potret keluarga yang selalu membuatnya merasa iri. Potret keluarga yang tak ia miliki karena sejak kecil dirinya hanya hidup dengan neneknya. Kedua orang tuanya meninggal ketika dirinya masih berusia 5 tahun. Dan dirinya benar-benar menjadi sebatang kara, ketika neneknya meninggal saat dirinya baru lulus SMA.
Setelah itu yang ia miliki hanya Arhan dan keluarganya. Mereka adalah tetangga yang memperlakukan dirinya lebih dari saudara. Itulah kenapa Budi selalu merasa, sebanyak apapun kebaikan yang ia lakukan terhadap Arhan, takkan pernah bisa membalas kebaikan mereka terhadap dirinya.
Bahkan tadinya pria itu sempat berpikir, jika seandainya Arhan memang memiliki perasaan terhadap Larasati, maka dirinya akan memilih mundur.
*
*
*
Restoran yang dikelola oleh Fadil dan Nurmala semakin sepi dari hari ke hari. Di meja kasir, tampak Fadil mengusap wajahnya frustasi. Ia keluar dari pekerjaannya sebagai staf sebuah perusahaan karena merasa restoran yang ia kelola bersama dengan Nurmala lebih menjanjikan. Lagi pula ia sudah lelah menjadi karyawan, bukankah lebih keren jika dirinya menjadi bos.
“Mbak, ini ayamnya sisa kemarin, ya? Kok alot gini dagingnya?" Suara komplain dari seorang pembeli bergema di ruangan yang memang tak lagi ramai.
“Emm… itu, anu…” pelayan yang sedang dikomplain juga tidak tahu harus menjawab apa.
Di meja kasir tangan Fadil terkepal lalu turun dari kursinya dan menghampiri mereka. "Apa maksud dari ucapan Ibu tadi?” Fadil berteriak tidak terima.
"Ini! Kenapa daging ayamnya alot seperti ini? Ini sisa kemarin yang digoreng lagi kan?” Wanita paruh baya itu menusuk ayam dengan garpu lalu menunjukkan ke arah Fadil.
Wajah Fadil merah padam. Dagangan kemarin banyak yang tidak habis, sangat sayang kalau kalau dibawa pulang oleh karyawan, atau diberikan kepada orang lain secara gratis. Dia saja membeli ayam-ayam itu menggunakan uang, enak saja mau dibagi-bagi. Itu sebabnya Fadil menyuruh pelayan untuk memanaskan dan menjualnya kembali.
“Ibu mau memfitnah kami ya? Apa mungkin sebenarnya Ibu ini adalah orang suruhan pemilik warung di sebelah sana untuk menghancurkan reputasi restoran kami?” Tentu saja Fadil tidak akan mengaku begitu saja.
Merasa tersinggung, ibu itu membanting garpu yang ada di tangannya dengan kasar, hingga ayam goreng yang tertancap dengan garpu terlepas dan terlempar ke lantai. Lantas ia berdiri dari duduknya menatap ke arah Fadil dengan tangan bersedekap dan dagu terangkat tinggi.
“Kamu ini ya. Pantas saja restoran ini sepi. Rupanya selain barang dagangan kalian yang tidak bermutu, juga sikapmu yang seperti ini terhadap pembeli.”
Rahang Fadil mengeras dengan jari telunjuk mengarah pada wajah ibu itu. "Kamu…!"
Namun si Ibu nampak tak gentar. “Menyesal aku mampir ke restoran ini!" Menyambar tasnya yang tergeletak di meja lalu berjalan keluar dengan raut kesal.
“Hraaaa…!”
Pyar!
Dalam sekejap apapun yang ada di atas meja terlempar dan jatuh terburai di lantai. Kemarahan Fadil sampai di ubun-ubun. Sementara pelayan yang sejak tadi berdiri tak jauh dari nya hanya bisa menunduk dengan wajah ketakutan.
"Bersihkan ini!” Fadil pergi setelah memberikan perintah. Keluar entah ke mana.
Pelayan mengangguk lalu bergegas ke belakang untuk mengambil alat kebersihan.
Di dalam ruang kerjanya, Nurmala menyaksikan kejadian itu lewat CCTV yang tersambung pada layar ponselnya. Wanita yang kemudian meletakkan dengan kasar ponselnya di sofa di sampingnya, selalu bersandar sambil merawat wajahnya kasar.
“Kenapa jadi seperti ini?" gumamnya. Hanya beberapa bulan saja ia benar-benar menikmati fasilitas yang ia rampas dari Arhan. Namun, berawal dari rumah yang dirampas secara paksa oleh Tuan Dargo, lalu mobil yang ditarik kembali oleh dealer, dan setelah itu kesialan demi kesialan terus mengiringi langkahnya.
“Apa ini balasan untukku?"