Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cairan dendam
Mobil hitam Aldrich meluncur di jalanan yang mulai kembali padat. Audy duduk di kursi penumpang, masih dengan wajah manyun dan tangan terlipat di dada. Sementara Aldrich di balik kemudi tampak terlalu menikmati pemandangan sebelahnya itu.
“Berhenti senyum-senyum seperti itu, Pak. Saya masih jengkel, tahu tidak?”
Aldrich melirik, senyum tengilnya semakin menjadi, “jengkel karena ban bocor atau karena harus satu mobil denganku?”
Audy mendengus, “dua-duanya.”
“Hmm… tapi jika aku tidak datang, kau bisa telat. Daddy-mu pasti senang jika tahu kau diantar bos tampan dan baik hati sepertiku,” sindir Aldrich sambil menahan tawa.
“Pak Aldrich!” Audy hampir berteriak, “saya bisa naik taksi tadi jika Bapak tidak sok pahlawan!”
“Pahlawan?” Aldrich menaikkan alis, “aku lebih suka disebut penyelamat si cantik yang nyaris menangis di pinggir jalan.”
Audy spontan melotot, “saya tidak menangis! Saya hanya... ya… kesal saja!”
“Uh-huh,” gumam Aldrich pura-pura percaya. “Next time, jika banmu bocor lagi, bilang saja mau dijemput. Aku senang melihatmu panik.”
“Pak?!” Audy mengibaskan tangan ke arah Aldrich, “siapa juga yang mau dijemput?!”
Aldrich terkekeh, “aku tahu kau suka berpura-pura jutek agar tidak ketahuan manisnya.”
Audy hampir tersedak udara, “astaga, Bapak itu jika bukan bos saya, sudah saya suruh turun di lampu merah.”
“Sayangnya aku bosmu, jadi kau tidak bisa melakukan itu.” Aldrich melirik dengan tatapan nakal, “lagipula, ku rasa, kau itu terlihat lucu sekali jika sedang ngambek.”
“Lucu kepala Bapak!” Audy menatap keluar jendela, berusaha keras menahan senyum yang mulai muncul di ujung bibirnya.
Sepanjang perjalanan, suasana di mobil dipenuhi adu mulut kecil, tawa tertahan, dan keheningan canggung sesekali.
......
Saat mobil memasuki area parkir kantor, Audy sudah bersiap dengan wajah datarnya lagi—mode “asisten profesional” diaktifkan.
Namun, begitu mereka melangkah keluar mobil dan menuju lift khusus eksekutif, napas Audy tercekat.
Di depan pintu lift berdiri seorang wanita elegan dengan dress krem dan tas branded di lengannya. Rambutnya tersanggul rapi, aura anggun dan berwibawa menyelimuti seluruh penampilannya.
Helena.
Audy langsung merasa lututnya melemah.
“Pagi, Mama,” sapa Aldrich dengan nada santai tapi tetap sopan.
“Pagi, sayang. Eh—Audy?” ucap Mama Aldrich sambil menatap ke arah Audy, matanya mengamati dengan lembut.
“Ah—iya, Ma. Selamat pagi,” jawab Audy cepat sambil menunduk hormat. Dalam hati, ia sudah berdoa supaya bumi menelannya bulat-bulat saat itu.
Helena tersenyum, “kalian berdua datang bersama?”
Senyum tengil itu muncul lagi di wajah Aldrich, “iya, Ma. Sekalian mampir sarapan tadi.”
Audy nyaris tersedak udara. Sarapan?! Sarapan apa?! pikirnya panik.
Lift berdenting terbuka, dan ketiganya masuk. Ruangan kecil itu mendadak terasa sesak.
Aldrich berdiri di tengah, sementara Audy di sisi kanan, Mamanya di sisi kiri.
Begitu pintu lift menutup, Audy menoleh sekilas ke arah Aldrich dan menyikut pinggangnya diam-diam.
“Sakit!” bisik Aldrich, menahan tawa.
“Rasakan!” desis Audy ketus.
Helena menatap keduanya lewat pantulan pintu lift yang mengkilap, “kalian ini… seperti pasangan muda yang sedang ribut manja, ya?”
Wajah Audy langsung memanas, sementara Aldrich justru tertawa kecil.
“Begitulah, Ma. Kadang dia cerewet sekali, tapi justru itu yang membuat hari-hariku tidak membosankan.”
Audy benar-benar ingin menenggelamkan diri saat itu juga, “Aldrich ini memang suka bercanda, Ma.”
Helena terkekeh kecil, “lucu sekali kalian ini.”
Lift berdenting lagi. Pintu terbuka menuju lantai ruangan Aldrich.
Begitu Helena melangkah keluar duluan, Audy kembali menyikut lengan Aldrich dengan lebih keras.
“Kalimat barusan itu—saya akan membalasnya di ruang kerja nanti, Pak,” bisiknya tajam.
Aldrich menatapnya sekilas, senyumnya kembali muncul pelan-pelan.
“Boleh. Tapi pastikan tidak ada bekas cinta tambahan setelahnya, ya.”
Audy spontan menatapnya tajam. “Pak Aldrich!!!”
Tapi Aldrich hanya berjalan santai di depan, sambil berkata pelan, “kopi hitam tanpa gula nanti, ya. Aku butuh yang kuat pagi ini… setelah malam singkat kemarin.”
Audy menatap punggung pria itu dengan wajah nyaris meledak.
Antara ingin menjerit, melempar sepatu, dan—anehnya—tersenyum.
......
Audy berdiri di pantry dengan wajah yang benar-benar tidak ramah. Wajahnya menekuk, tangan kirinya menopang pinggang, sementara tangan kanan mengaduk kopi hitam tanpa gula di dalam gelas kaca.
Sendok kecil itu berputar cepat, menimbulkan suara cling-cling-cling yang seolah menggambarkan isi hatinya—kesal, lelah, dan... entah, mungkin sedikit malu.
“Hitam tanpa gula,” gumam Audy, menirukan nada santai Aldrich tadi, “ya ampun... ini bukan kopi, ini cairan dendam.”
Tepat saat ia menuang kopi ke cangkir bergaya klasik milik Aldrich, Nadine masuk dengan tumbler ungu di tangannya.
“Sepagi ini wajahmu sudah seperti awan mau hujan, Audy,” sapa Nadine santai sambil membuka dispenser.
Audy mendengus tanpa menoleh, “pagi yang harusnya biasa, tapi jadi mimpi buruk. Lagi-lagi gara-gara dia.”
“Pak Aldrich lagi?” Nadine menyipit, “aku heran, Audy. Setiap hari kau mengeluh, tapi setiap hari juga kau kuat, bahkan semakin kuat bertahan kerja di bawahnya. Jika aku jadi kau, aku sudah resign lalu buka usaha sendiri.”
Audy memutar bola mata, “lagipula, siapa yang bisa menjamin bos di tempat lain tidak lebih menyebalkan?”
Nadine menahan tawa, “tapi wajahmu itu loh, Audy, seperti siap terjun ke ring tinju.”
Audy menghela napas panjang, “jika aku terus di sini lebih lama, sepertinya aku bisa naik tensi. Belum lagi... aduh, sebaiknya jangan diingat lagi!”
Nadine mengernyit curiga, “hmm? Jangan-jangan semalam…”
“Stop!” potong Audy cepat, sambil menaruh cangkir di nampan dengan agak kasar, “aku hanya makan malam bersama Pak Aldrich dan klien, titik. Sudah, tidak usah kepo!”
Nadine terkekeh kecil, mengangkat tangannya menyerah, “baiklah, baiklah. Tapi serius, Audy, kau itu harus lebih sabar. Pak Aldrich itu kan seperti magnet untuk masalah.”
Audy menatap jam tangannya dan langsung panik, “astaga, sudah sepuluh menit! Jika aku tidak muncul sekarang, bisa-bisa dia menelepon dan menyuruhku membuat kopi sambil lari keliling kantor.”
“Pergilah sana, sebelum dia menambah pekerjaan aneh-aneh,” ucap Nadine sambil menutup tumblernya.
Audy hanya mendengus, mengambil nampan berisi kopi lalu melangkah cepat keluar pantry, tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer—tak tak tak—irama khas asisten yang sedang menahan amarah.
......
Begitu pintu ruangan Aldrich terbuka, aroma parfum elegan menyeruak. Helena masih duduk manis di sofa tamu ruangan itu, sementara Aldrich sendiri tengah berbicara santai dengannya.
“Permisi, Pak, ini kopinya,” ucap Audy sopan sambil meletakkan cangkir di meja kerja Aldrich.
“Oh, pas sekali,” kata Aldrich santai, “Mama baru saja mengajak kita makan siang nanti. Di luar, di tempat favorit Mama.”
Audy hampir menjatuhkan nampan, “k-kita?”
Helena tersenyum ramah, “iya, sayang. Kau ikut ya, Audy. Sekalian biar Mama bisa kenal lebih dekat dengan orang yang setiap hari menemani Aldrich kerja.”
Audy hampir kehilangan kata-kata, “eh, saya—itu—”
“Dia pasti senang, Ma,” potong Aldrich cepat, dengan senyum licik yang disembunyikan rapi.
Audy melirik tajam ke arahnya, tapi tentu tak bisa menolak di depan sang mama.
“Baiklah, Tante… eh, Mama,” jawabnya akhirnya dengan senyum kaku.
Helena tampak puas, “bagus. Mama ke butik dulu ya, nanti kita bertemu jam dua belas.”
Aldrich mengangguk, “baik, Ma. Hati-hati di jalan.”
Begitu pintu tertutup dan Mama Aldrich benar-benar pergi, Audy berbalik ke arah Aldrich dengan tatapan siap perang.
“Bapak sengaja, ya?” suaranya menahan emosi.
Aldrich menyandarkan tubuh di kursinya, menatapnya santai, “sengaja apa?”
“Mengajak saya makan siang di depan Bu Helena. Mau saya pingsan lagi, begitu?”
Aldrich tertawa pelan, matanya penuh godaan, “tenang saja, kau sudah latihan semalam. Aktingnya sudah bagus.”
“Pak Aldrich!” Audy nyaris melempar sendok kopi ke arahnya, “saya sumpah, jika ini jebakan sosial lagi, saya resign!”
Aldrich menaikkan satu alis, pura-pura serius. “Jika kau resign, siapa yang akan membuat kopi seenak ini untukku setiap pagi?”
Audy menatapnya lama, lalu mendengus kesal, berbalik menuju pintu sambil bergumam,
“Semoga kopinya kepahitan dan membuat dia batuk tiga hari.”
Sementara itu, di balik meja, Aldrich hanya tersenyum lebar.
Dan entah kenapa, pagi itu kantornya terasa jauh lebih hidup daripada biasanya.