Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Panjang
Part 29
Tanpa ragu Ren melompat turun. Matanya langsung menyapu jembatan dan area sekitar secermat mungkin. Sementara Mirai mengikutinya dari belakang sambil merapatkan jaket, langkahnya limbung dan napasnya tak stabil. Masih segar dalam ingatannya betapa mengerikan zombie yang menyerangnya tadi.
Tidak ada tanda-tanda keberadaan Nero. Tidak tubuh, tidak jejak darah, bahkan tidak ada benda yang tertinggal. Seolah pria itu lenyap begitu saja ditelan dunia. Angin berembus pelan, membawa aroma sungai dan sayup deru arus di depan sana yang membuat dada Mirai semakin sesak.
Namun, ketegangan itu mendadak pecah oleh suara geraman berat yang berasal dari sisi lain jembatan. Dari balik reruntuhan pos penjaga yang roboh, sesosok zombie raksasa muncul perlahan. Tubuhnya besar, penuh luka bakar yang membusuk. Aromanya luar biasa memuakkan. Mata merahnya menyorot tajam mengancam. Zombie level tinggi.
Ren bertemu lagi dengan zombie itu. Terakhir kali ia berhasil lolos dengan melompat ke sungai juga. Tapi kali ini ia tidak sendirian. “Mundur!” serunya cepat, memberi tanda pada Mirai untuk menjauh tanpa melepaskan pandangan dari makhluk itu. “Zoro, jaga Mirai!”
Gadis itu terperangah, ingin menarik lengan Ren, memintanya untuk kabur saja. Tapi tak jadi melakukannya. Entah mengapa ia merasa pemuda itu telah berada di level yang berbeda.
Tanpa ragu, Ren melangkah maju. Katana ditarik dari punggung, tubuhnya tegap dan penuh percaya diri. Hanya dalam beberapa minggu yang intens melawan zombie membuatnya jauh lebih kuat. Skill Leon miliknya berkembang pesat, refleks, kekuatan otot, hingga kemampuan membaca gerak musuh kini nyaris sempurna. Pengamatan dan instingnya berpadu membaca gerakan, serangan akan datang menerjang dari kanan. Dan benar saja. Begitu makhluk itu melompat, Ren sudah menghindar terlebih dahulu. “Royal!” teriaknya.
Dari atas jeep, Royal telah membidik. “Tiga detik! Tahan dulu!”
Zombie itu menggeram. Seolah jengkel karena gagal mendapat mangsa.
Nobi melempar peledak kecil ke kaki zombie. Ledakan itu membuat makhluk itu terhuyung, memberi waktu bagi Royal untuk melepaskan satu tembakan tepat ke lututnya. Makhluk itu jatuh berlutut, meraung keras. Ren langsung melesat ke depan, menebas bagian dada, tapi tangan zombie yang sekeras baja menahannya. Tidak masalah. Ren melompat mundur, memberi sinyal pada Nobi.
“Nobi! Punggungnya!”
“Siap!” Nobi berlari cepat, menempelkan granat di punggung makhluk itu, lalu melompat mundur. “Done!”
BOOM!
Sebagian punggung zombie meledak terbakar. Makhluk itu berdiri sempoyongan, tapi belum tumbang.
“Royal, pengalih! Sekarang!” Dua peluru ditembakkan ke dadanya. Zombie menoleh, kehilangan fokus. Itu saatnya. Ren melompat, memutar tubuh di udara, dan katana meluncur tajam menghantam leher makhluk itu.
Craass!
Darah busuk menyembur. Dan kepala zombie terlempar ke udara, berguling di atas aspal. Tubuhnya berdiri kaku sesaat, lalu ambruk menimbulkan suara berat.
Hening. Hanya ada napas Ren yang tersengal.
Mirai melongo melihat betapa mudahnya mereka menaklukkan zombie gila itu. Padahal ia dan Nero saja sudah berada di antara hidup dan mati hanya mengatasi zombie kecil. Ini gak adil. Kenapa kami cepat bertemu dengan mereka, pikirnya getir.
Tanpa membuang waktu, Ren memberi aba-aba. “Ayo, cabut!”
Zoro langsung menyalakan mesin. Semua naik ke jeep lagi. Mereka segera tancap gas, meninggalkan jembatan dan kekacauan yang barusan terjadi sebelum zombie lain berdatangan.
Dalam perjalanan, suasana di dalam jeep lebih tenang. Fokus kini beralih pada pemulihan kondisi Mirai yang masih pucat dan kelelahan. Bajunya yang basah kuyup hampir mengering. Tapi pikirannya tak pernah kering dari Nero. Ia terus bertanya-tanya dalam hati, kemana pemuda itu menghilang. Matanya terasa berat, lantas terlelap dan tanpa sadar bersandar pada lengan Royal.
"Woops! Jangan sewot dulu kawan. Dia yang nempel duluan," ujarnya pada Ren.
Pemuda itu memberi tanda untuk bertukar tempat, dan membuat dirinya menjadi sandaran Mirai.
Perjalanan mereka bukan hanya untuk kembali ke shelter, tapi juga bagian dari misi menyisir area sekitar. Masih banyak pemain tercecer yang belum bergabung, dan setiap jiwa yang berhasil diselamatkan bisa menjadi kunci bertahan hidup di dunia game ini.
Malam itu mereka berkemah di tengah hutan yang sudah disteril oleh Ren. Tak ada zombie. Dalam tenda Mirai mengganti pakaian yang dipinjamkan Nobi padanya karena hanya dia yang membawa kaos ganti. Sisanya hanya para pria malas yang jarang mandi di kehidupan nyata.
Angin malam meniup pelan, membawa aroma asap kayu dari api unggun yang menyala tenang di tengah-tengah lingkaran kecil itu. Bara-bara kecil meletik pelan, sesekali menerangi wajah-wajah lelah dengan cahaya jingga yang hangat. Suasana hening dan agak canggung, meski bahaya sejenak menjauh.
Sementara Mirai sedang di dalam tenda, ke empat pria itu yang mengelilingi perapian memulai diskusi. "Dia bilang bisa operasi. Gak salah denger kan kita?" tanya Vanessa yang mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Gak salah kok, kita semua denger," sahut Nobi kalem.
"Rata-rata dokter di shelter tuh pada kagak bisa operasi, secara di real world mereka juga bukan dokter. Sekalinya ada dokter yang dari real world, malah cuma dokter gigi. Banyak pasien luka parah yang kurang ditanganin gimana semestinya, dari jahitan yang gak rapi, operasi kecil yang sering gagal. Yah, gimana lagi. Job mereka doang yang dokter, tapi mentalnya bukan. Bahkan ada yang pingsan waktu ngeliat darah ngucur," cerita Zoro.
"Ada dua macam hero nakes di game. Satu dokter umum, satu lagi perawat. Nih si Mirai dapat lencana Hero Daniella, hero rank ungu bukan? Kalo perawat kan rank biru," tanya Royal.
"Ada berapa orang yang dapet Daniella?" tanya Ren.
"Di rumah sakit Shelter sekitar empat puluh orang, kalo perawat ada enam puluhan, gak tau bakalan nambah lagi atau enggak."
"Lo dah periksa lencananya?" tanya Zoro pada Ren.
"Udah. Kalian masak gak inget, ada satu lagi hero job dokter," tandas Ren.
Royal pun terpikirkan sesuatu. "Eh, iya, ada! Hero yang baru dirilis."
"Siapa?" tanya Vanessa penasaran.
Sebelum Royal menjawab, Mirai sudah keluar dari tenda. Tanpa jaketnya, kaos Nobi tampak ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya yang luar biasa membuat para lelaki terpana. Diskusi mereka pun terputus di sana karena suasana berubah canggung.
Mirai melangkah pelan mendekati nyala api. Rambutnya yang biasanya dikuncir cepol dan tersembunyi di balik topi baseball kini terurai lepas, jatuh hingga ke pinggang. Siluet tubuhnya tampak lebih lembut dan feminin dari biasanya.
Tanpa banyak kata, ia berjongkok di dekat bara untuk mencuri sedikit kehangatan. Sebenarnya, ia lapar. Tapi semua perbekalannya tertinggal di mobil hitam itu. Ditatapnya Nobi yang duduk tak jauh darinya. "Makasih bajunya. Nanti gue cuci."
Seketika, Ren dan Royal yang duduk berdekatan langsung mengalihkan pandangan. Mungkin demi kesopanan, atau sekadar refleks canggung. Hanya Nobi dan Vanessa yang bertahan menatap ke arahnya.
Nobi, yang sejak tadi duduk sambil mengunyah sesuatu, langsung menjawab, "gapapa. Buat lo aja kaosnya. Lebih cocok lo yang pakai."
"Serius? Makasih." Mirai tersenyum kecil, lalu menoleh pada Vanessa yang dari tadi seperti ingin bicara tapi menahan diri.
Tatapan cowok cindo itu terlalu fokus, seolah sedang berjuang menelan kata-katanya sendiri.
"Ya?" tanya Mirai, heran.
"Me-melon," sahut Vanessa akhirnya, dengan gugup dan nada super tanggung.
Ren, yang duduk tepat di sebelah Vanessa, langsung menginjak kakinya tanpa ampun. Suara decakan dan desisan kesakitan terdengar samar.
"Aa-aaw! Mi-Mirai mau melon?" tanyanya asal, setengah panik.
Mirai menatapnya, bingung. "Emang ada?"
"Mana ada!" tandas Ren, sebal.
Vanessa mulai panik sendiri. "Eh, iya. Tadi kita nemunya kentang sama semangka. Se-semangka?!"pertanyaan itu seperti mencekik dirinya sendiri.
Ren memutar mata sambil menghela napas. "Udah, kasih aja yang lo masak tadi. Ya kali lo mo ngasih dia kentang mentah."
Vanessa bangkit cepat, hampir tersandung sleeping bag sendiri, dan langsung bergerak menuju arah peralatan masak.
Royal berdiri sambil meregangkan badan dan memutar bahu. "Kalo gitu ane bobo cantik dulu. Jaga stamina itu penting. Selamat malam, Neng Mirai. Tenang aja selama ada Babang Ren, Eneng teh pasti aman dari serigala berular kadut, hahaha."
Mirai menoleh, alis terangkat. "Serigala berular kadut?"
"Bener, tuh," sahut Nobi yang juga ikut berdiri. "Soalnya di clan yang otaknya waras cuma Ren."
Keduanya tertawa pelan dan menepuk bahu Vanessa yang sedang sibuk, sebelum akhirnya masuk ke dalam salah satu tenda yang sudah berdiri di dekat pepohonan.
Tak lama kemudian, Vanessa kembali dengan semangkuk sup hangat. Ia menyerahkannya ke tangan Mirai sambil menghindari kontak mata, lalu dengan langkah cepat menyusul dua rekannya masuk ke dalam tenda yang sama.
Sekarang, hanya Mirai dan Ren yang tersisa. Keduanya duduk dalam keheningan, hanya ditemani suara api yang sesekali berdesis karena kayu lembap.
"Makan. Nih, minumnya di sini." Ren menunjuk ke arah termos stainless yang berdiri tegak di dekat batu tempat ia bersandar.
"Iya. Makasih."