Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
“Pak Dokter! Pak Dokter!”
Suara teriakan keras terdengar di tengah malam, disertai ketukan pintu yang berulang-ulang menghentak kayu jati rumah Bagja.
Galuh yang sedang tertidur lelap langsung terbangun. Begitu juga dengan Bagja yang belum lama tidur. Keduanya saling melirik dan memastikan kalau suara tadi memang nyata.
Jam dinding bulat di ruang tamu menunjukkan pukul 22.15 WIB—waktu ketika biasanya semua orang sudah terlelap. Jadi, jarang sekali ada orang bertamu.
“Pak Dokter, gawat!” Suara itu kembali terdengar.
Tanpa pikir panjang, Bagja dan Galuh berlari ke pintu depan. Ketika pintu dibuka, mereka mendapati sosok Pak Camat berdiri dengan wajah pucat dan tubuh basah kuyup. Anehnya, malam itu tidak ada hujan turun. Nafas lelaki paruh baya itu tersengal, seakan baru saja menempuh perjalanan jauh.
“Ada apa, Pak Camat?” tanya Bagja cepat, sementara Galuh menatap dengan cemas.
“Kampung Cipasir ... terkena longsor. Kita membutuhkan tim medis, Pak,” jawabnya dengan suara bergetar.
Galuh spontan menutup mulut, menahan teriakan. “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” ucapnya lirih, hampir bersamaan dengan Bagja.
Desa Cipasir. Nama itu langsung terlintas di benak mereka dengan gambaran jalan berbatu licin, tanjakan curam, dan rumah-rumah bambu yang berdiri rapuh di lereng bukit. Desa itu memang berada di kawasan pegunungan, jauh dari keramaian, dan sulit dijangkau oleh kendaraan roda empat.
Bagja menepuk bahu Pak Camat dengan penuh hormat. “Bapak masuk dulu, biar saya bersiap-siap. Galuh, tolong buatkan kopi hangat untuk Pak Camat.”
“Iya, Aa.”
Galuh segera melangkah ke dapur. Jemarinya sedikit bergetar saat menyalakan kompor. Air mendidih di panci kecil terdengar seperti desis yang menambah suasana tegang. Tak butuh lama, secangkir kopi hitam pekat terhidang di ruang tamu, ditemani dua toples kecil berisi kue kering dan keripik pisang.
Pak Camat menyambutnya dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Bu.”
Galuh menatapnya penuh iba. “Pak, apakah tim SAR sudah sampai ke Cipasir?” tanyanya hati-hati.
“Sudah dihubungi, tapi perjalanan ke sana sulit. Mobil tidak bisa masuk. Mereka harus pakai motor trail atau naik kuda. Mungkin butuh waktu lama sebelum mereka sampai,” jelas Pak Camat.
Bagja yang sedang menyiapkan tas besar berisi peralatan medis menoleh, keningnya berkerut. “Kalau begitu, saya harus segera berangkat. Korban luka tidak mungkin menunggu terlalu lama. Kondisi jalan licin bisa memperburuk keadaan.”
Galuh mendekat, menahan lengan suaminya. “Aa setidaknya tunggu Ryan dan Dewa. Mereka bisa bantu bawa barang dengan motor.”
Bagja mengangguk singkat. “Iya, panggil mereka sekarang.”
Beberapa menit kemudian, Ryan dan Dewa sudah siap dengan jaket tebal dan motor masing-masing. Wajah mereka terlihat panik dan cemas.
“Kalau begini, kita harus bawa perlengkapan seadanya,” ujar Ryan.
Bagja menghela napas. “Betul. Perjalanan jauh, dan jalanan pasti becek. Kita hanya bisa mendirikan tenda darurat untuk pertolongan pertama. Untuk peralatan medis lengkap, terlalu berisiko dibawa sekarang.”
“Kalau begitu, aku juga ikut,” sela Galuh tegas. “Aku bisa membantu Aa merawat korban.”
Bagja menatap istrinya. Ada rasa khawatir, tetapi juga kagum atas keberaniannya. Akhirnya ia mengangguk. “Baik, tapi jangan jauh dariku.”
Perjalanan menuju Desa Cipasir terasa mencekam. Gelap gulita, hanya ditemani cahaya lampu motor dan suara hujan yang turun semakin deras di kawasan bukit. Jalan tanah liat berubah jadi lumpur licin, motor beberapa kali hampir tergelincir. Napas Galuh sesekali tercekat, tangannya erat memeluk pinggang Bagja dari belakang.
“Pegangan yang kuat, Lu. Jalannya curam,” ujar Bagja di sela suara mesin motor.
“Aku kuat, Aa. Jangan khawatir,” jawab Galuh, baginya jalanan seperti ini sudah biasa dia lewati.
Setelah satu jam lebih menembus medan sulit, akhirnya cahaya obor mulai terlihat di kejauhan. Mereka tiba di pinggiran Desa Cipasir. Di sana, puluhan warga berkumpul dengan wajah muram, sebagian menangis. Rumah-rumah bambu hancur tertimbun tanah. Suara tangisan anak-anak bersahutan dengan jeritan ibu-ibu yang kehilangan sanak keluarga.
“Pak Dokter, tolong anak saya!” seru seorang ibu sambil menggendong bocah kecil dengan kaki berdarah.
Bagja segera turun dari motor, membuka tas medis, dan memeriksa luka bocah itu. “Lukanya cukup dalam. Kita harus membersihkan dulu supaya tidak infeksi.”
Galuh mengeluarkan perban dan air bersih yang mereka bawa. Tangannya gemetar, tetapi ia berusaha tenang. Ia tahu malam ini mereka bukan hanya sekadar menolong, tapi juga menjadi harapan bagi warga yang kehilangan segalanya.
Ryan dan Dewa sibuk mendirikan tenda darurat di lahan kosong yang relatif aman dari longsoran susulan. Tak lama, beberapa anggota TNI datang membawa perlengkapan seadanya. Mereka mendirikan posko pengungsian dan dapur umum.
“Sulit melakukan pencarian di medan gelap seperti ini,” kata seorang komandan TNI sambil menyeka keringat yang bercampur air hujan di pelipisnya. “Kami hanya bisa menolong warga yang berhasil menyelamatkan diri.”
Galuh menatap pemandangan sekitar dengan hati teriris. “Coba kalau negara kita seperti Jepang atau Amerika, pasti punya banyak peralatan canggih untuk mengevakuasi korban,” gumamnya.
Dewa, yang baru saja selesai menyalakan lampu tenda, menyahut dengan nada getir, “Jangankan peralatan canggih, bikin jalan beraspal dan listrik masuk ke sini saja belum bisa. Lihatlah, masih gelap gulita.”
Memang benar. Desa Cipasir belum tersentuh aliran listrik. Semua penerangan bergantung pada lampu minyak dan obor. Rumah-rumah yang masih berdiri pun terlihat rapuh, seakan siap runtuh kapan saja.
Malam itu, Bagja dan Galuh bekerja tanpa henti. Mereka membalut luka, memberi obat, dan menenangkan warga yang histeris kehilangan keluarga. Sesekali Bagja menahan air mata saat mendengar cerita duka para korban. Namun, ia sadar, sebagai dokter ia harus tegar.
Galuh juga tak kalah sibuk. Meski lelah, ia tetap sigap membantu. Tangannya cekatan membuka perban, menyodorkan obat, dan menyeka keringat para korban.
Ketika fajar menyingsing, matahari perlahan muncul dari balik bukit, memperlihatkan pemandangan yang lebih memilukan. Tanah longsor menutup sebagian besar rumah di lereng. Pohon-pohon tumbang berserakan, sementara suara tangis keluarga yang kehilangan anggota tercinta masih terdengar memilukan.
Galuh menatap ke arah suaminya yang masih sibuk menangani korban. Hatinya dipenuhi rasa bangga sekaligus haru. Ia tahu, inilah jalan hidup mereka berbagi tenaga, ilmu, dan kasih sayang untuk orang lain, meski harus mengorbankan kenyamanan pribadi.
Sambil membantu seorang nenek renta yang kakinya terkilir, Galuh berbisik lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri, “Ya Allah, kuatkan kami untuk terus menolong mereka. Jangan biarkan kami menyerah di tengah jalan.”
Hari itu, Desa Cipasir bukan hanya kehilangan rumah, tapi juga sebagian dari jiwanya. Namun di tengah kepedihan, hadir cahaya harapan dalam wujud tenaga-tenaga kecil yang tulus mengabdi. Bagja, Galuh, Ryan, dan Dewa tahu bahwa perjuangan mereka masih panjang.
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....