Menjadi seorang Guru adalah panggilan hati. Dengan gaji yang tak banyak, tetapi banyak amanah. Itulah pilihan seorang gadis bernama Diajeng Rahayu. Putri dari seorang pedagang batik di pasar Klewer, dan lahir dari rahim seorang ibu yang kala itu berprofesi sebagai sinden, di sebuah komunitas karawitan.
Dari perjalanannya menjadi seorang guru bahasa Jawa, Diajeng dipertemukan dengan seorang murid yang cukup berkesan baginya. Hingga di suatu ketika, Diajeng dipertemukan kembali dengan muridnya, dengan penampilan yang berbeda, dengan suasana hati yang berbeda pula, di acara pernikahan mantan kekasih Diajeng.
Bagaimana perjalanan cinta Diajeng? Mari kita ikuti cerita karya Dede Dewi kali ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dede Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Khitbah itu Bukan Nikah
Pagi itu, Disebuah rumah elite di tengah kota, seorang laki-laki bertubuh tegap sedang menyisir rambutnya dengan sedemikian rupa. Ponselnya sedari tadi tampak bergetar diatas meja riasnya, tetapi laki-laki ini tak menghiraukannya, dia yakin bahwa itu adalah obrolan emak-emak di grup dikdasmen yang janjian untuk berangkat ke acara resepsi pernikahan salah seorang karyawan Dinas pendidikan yang sangat akrab dengan pria dewasa ini. Jika bukan karena sudah sangat akrab, dan sudah membantu banyak untuk kariernya, pria berusia matang ini merasa terpaksa untuk hadir ke acara resepsi ini. Karena pasti bahasan lama akan terulang kembali. Pertanyaan lama juga akan terulang kembali.
'Kapan nikah?'
'Ah, andai anak saya belum menikah, sudah saya jodohkan sama anda pak.'
'Saya ada anak gadis pak, berminat?'
'Jadilah mantu saya pak.'
Ah, semua pernyataan tersebut sudah terlalu kenyang dia rasakan, tetapi demi menjaga tali silaturahmi, dia rela hadir bersama ibu-ibu dikdasmen. Karena dia belum memiliki pasangan untuk menitipkan amplop.
Bahkan dia juga heran, kenapa kotak sumbangan nikah itu selalu di barisan perempuan? kenapa di barisan laki-laki tak pernah disiapkan kotak sumbangan? Apakah itu termasuk adat?
"Hisyam." panggilan sang bunda membuatnya menyudahi dandannya yang dirasa sudah cukup meyakinkan.
"Ya bunda?" jawab Hisyam. Setelah selesai memantas diri di depan cermin, Hisyam keluar kamar untuk memenuhi panggilan sang ibunda tercinta.
"Ada apa bunda?" tanya Hisyam keluar dari kamarnya.
"Nanti pulang jam berapa nak?" tanya bu Ijah.
"Ehm... belum bisa memastikan sih bun, tapi sepertinya sekitar dzuhur bun." jawab Hisyam.
"Oh, ya udah. Nanti abis dari gedung, mampir ke percetakannya mas Nuri ya, ambil undangannya. Ini bunda udah dikabarin, kalau undangannya sudah jadi." kata bu Ijah.
"Ya bu, InshaaAllah." jawab Hisyam.
"Oya, sekalian kamu hitung aja ya, kamu bagi dua. Nanti setengahnya, langsung kamu antar saja ke rumah pak Bari." lanjut bu Ijah.
"Hisyam ke rumah pak Bari, bun?" tanya Hisyam tidak yakin.
"Iya, kenapa?" tanya bu Ijah bertanya dengan malas. Bu Ijah tau sifat putranya yang paling susah kalau disuruh ke rumah orang yang ada gadisnya. Lebih-lebih, ini rumah calon istrinya.
Bukan, bukan Hisyam tak suka dengan Diajeng, justru karena rasa sukanya itu sudah level atas, dia takut tidak bisa mengontrol diri. Yang membuatnya ingin selalu bersamanya, ingin ngobrol bareng, ingin makan bareng, dan lainnya. Wajah Diajeng bagai ditempel di keningnya, yang membuatnya semakin jelas dengan kenampakan alam, makhluk ciptaan Allah bernama wanita.
Hisyam, dia juga laki-laki normal yang menyukai keindahan wanita, tak dipungkiri, Hisyam telah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis itu. Namun, syariat yang memintanya untuk menahan semua itu.
"Gapapa bunda " jawab Hisyam sambil menepis bayangan yang tak seharusnya dibayangkan olehnya.
"Untuk uangnya sudah bunda transfer ya nak. Bilang sama mas Nuri ya."
"Baik bunda... " jawab Hisyam.
Akhirnya Hisyam berangkat dengan mood yan,g kurang baik. Tetapi demi apa kata sang ibunda, dia iya saja.
💜💜💜💜💜💜
Diajeng sudah stay anggun di balik kemudinya. Kali ini tidak untuk mantan kekasihnya, ini adalah kali pertama dia akan kondangan tanpa pendamping, pasca ditinggal menikah sang kekasih hati.
Diajeng keluar dari mobilnya, saat melihat sosok orang yang dikenalnya berjalan melewati mobilnya yang terparkir.
"Raka." panggil Diajeng sambil berjalan melambai kepada Raka. Jariknya yang sangat sempit, membuatnya harus ekstra hati hati, dan ditambah sendal high hils nya yang juga menambah persentase kehati-hatiannya.
Orang yang dipanggil seketika menoleh, tampak raut wajahnya terkejut, tetapi seketika ditutupnya.
"Bu Ajeng?" gumam Raka.
Diajeng sudah mensejajari Raka dengan tas jinjing di tangannya.
"Hai, Ka. Apa kabar?" tanya Diajeng.
"Baik bu, Alhamdulillah. Bu Ajeng apa kabar?" tanya Raka dengan berusaha baik-baik saja pasca muncak waktu itu.
"Baik."
"Oya, Ka. Makasih ya udah nganterin undangannya ke rumah saya. Kata pak Bejo, kamu yang mengantar." kata Diajeng.
"Iya bu."
"Kenapa tidak masuk dulu waktu itu?" tanya Diajeng.
"Kebetulan, waktu itu saya datang bersamaan dengan waktu bu Ajeng di lamar. Jadi kalau saya mau masuk, rasanya kurang sopan bu." jawab Raka.
"O, begitu?"
"Oya, selamat ya, bu, sudah mau soul out." kata Raka sambil mencoba membuang pandangan dari Diajeng.
"Heheh, iya. Makasih ya Ka, saya ini... hanya dijodohin kok Ka." kata Ajeng dengan wajah sendu.
"Dijodohkan dengan yang terbaik, dan lebih baik, bukankah itu lebih baik bu?" tanya Raka.
"Iya sih..." jawab Diajeng menggantung.
"Kenapa tidak bareng mas nya bu?" tanya Raka.
"Kami baru khitbah Raka, belum menikah. Jadi kurang baik jika kita terlalu sering ke mana-mana bersama. Apalagi, untuk kondangan begini, lebih baik memang sendiri dulu. Baru abis halal, kami akan berdampingan." jelas Diajeng seperti yang dijelaskan oleh Hisyam saat Diajeng memintanya menemani ke acara resepsi ini.
"Oh, MaasyaaAllah." gumam Raka.
"Raka kok sendiri juga?" tanya Diajeng.
"Calon saya masih rahasia bu. Hehehe." jawab Raka.
"MaasyaaAllah, iya sih. lebih baik begitu." jawab Diajeng.
"Ya sudah, kita masuk yuk." lanjut Diajeng mengajak Raka masuk.
"Ehm... bu Ajeng duluan aja." jawab Raka sungkan.
"Kenapa? Takut ada yang marah ya?" goda Diajeng.
"Bukankah itu lebih tepat berlaku untuk bu Ajeng?" tanya Raka.
"Kalau saya sih, Alhamdulillah jika memang dia melihat. Nanti mau saya kenalkan." jawab Diajeng santai.
"Oh, begitu? Ehm, baiklah. Tapi tetap saja, bu Ajeng duluan saja." jawab Raka sungkan.
"Udah...ayo bareng aja." ajak Diajeng menarik lengan Raka.
💜💜💜💜💜💜
Maaf reader, baru up. dua malam belum bisa nyambi nulis. karena anak rewel, baru batuk pilek...
typo kah????