"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 | KESEMPATAN KEDUA
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
…
Ancamanku berhasil menaklukkan Klara, membuatnya merengut dan mendesah pasrah dengan bibir yang terapit segaris, kemudian kedua tangannya diangkat sebagai tanda menyerah. “Oke, oke! Aku berhenti untuk hari ini, tapi aku pinjam matamu lagi, ya!”
Klara menyentuh kepalanya sendiri dengan ujung dua jemari dari tangan kirinya – telunjuk dan jari tengah. Alisnya saling bertaut sok serius, kemudian tangan kanannya bergerak menutup pandanganku.
“Dengan kekuatan bulan, aku akan—”
Mataku berputar malas di balik telapak tangan Klara, masih saja dia luncurkan candaan kekanakan andalannya ini. Dengan enek kusingkirkan tangannya yang menghalangi penglihatan, “ganti candaanmu! Cara ini sudah basi. Bahkan anak kecil pun tak melakukannya lagi.”
“Eh, apa iya? Anak kecil mana yang kau lihat?”
Dibanding meladeni Klara, aku lebih pilih melempar pandangan ke luar jendela kelas dengan satu tangan yang menopang dagu, jenuh. Ucapan pamitnya yang beralasan harus pergi meninggalkan kelasku karena sebentar lagi bel akan berbunyi pun enggan kutanggapi.
Kriing. Kriing.
Itu dia suara alarm belajarnya, dan sekarang tinggal menunggu kehadiran guru Biologi.
Merenung, pikiranku kembali diselimuti pertanyaan-pertanyaan terkait hal yang jadi perbincangan antara aku dan Klara beberapa menit lalu. Bibirku bergerak-gerak ringan, sesekali kugigit bagian dalam pipiku.
Sebenarnya, kan, masalah Zofan dan Sora, tentang apa pun itu, bukan urusanku. Tapi, kenapa aku malah sok ingin tahu dan kepo sampai bertingkah seperti ini? Seharusnya, aku biasa saja.
Tidak ada alasan kenapa pikiran seperti itu bisa terlintas dalam benakku.
…
Hari demi hari berganti, musim santai pun tak luput berganti menjadi musim ujian pertengahan semester, dan aku mulai kembali terbiasa dengan kesendirianku. Biar lah Zofan dan Sora mau melakukan apa, mau menjauhiku sampai ke planet lain juga bukan urusanku.
Kan, sedari awal, aku memang tak punya hubungan apa-apa dengan mereka, bahkan sebagai teman pun tidak. Kami hanya tiba-tiba saja berinteraksi seakan mengenal dekat, padahal aku hanya jadi sukarelawan untuk urusan pribadi Zofan.
Jadi, tak heran juga kalau tiba-tiba kembali asing. Kertas-kertas yang kupikir akan bermanfaat untukku itu, pun, ternyata tak ada artinya bagiku.
Soal-soalnya memang sulit, tapi tak ada yang ‘baru’, aku tetap bisa mengerjakan semuanya tanpa perlu membongkar pasang rumus. Tak ada yang begitu spesial.
Memang itu yang kukatakan, tapi berbeda dengan hatiku. Tapi, ah, sudah lah. Abaikan saja kondisi hatiku. Lagipula, dari dulu aku hanya mengandalkan otak, kenapa sekarang perlu peran hati?
Sudah lah, hatiku, kau istirahat saja dulu. Nikmati kekosonganmu. Belum saatnya kau beraksi, belum saatnya kau berperan.
Mari kita kembali seperti Natarin yang dulu, yang teman-temanku tahu.
Natarin yang bermulut manis pada teman-temannya, tapi begitu hambar senyumannya untuk laki-laki. Natarin yang selalu riang dan santai dengan setiap perempuan, namun juga canggung berkedok judes begitu dihadapkan dengan lelaki.
Seorang Natarin yang selalu dibuat sibuk dan keasikan hanya dengan dunianya sendiri. Dunia yang penuh ribuan – jutaan angka dalam penglihatan.
Ya, seperti itu saja. Itu saat-saat paling damai dalam hidupku, walau sedikit abu-abu.
Lagipula, ini waktu yang sangat tepat untuk menyibukkan diri. Lusa sudah memasuki minggu ujian.
Aku sudah harus pontang-panting mendalami berbagai mata pelajaran dan kisi-kisi yang diperkirakan berpeluang tinggi menjadi bekal ujian nanti, terutama untuk mata pelajaran yang paling sulit masuk ke dalam kepalaku, biologi dan bahasa!
“Natarin.”
Begitu, lah, teman-teman. Setiap kita mulai menginjak masa tenang, pasti di situ lah akan terjadi sesuatu yang tak diharapkan, yang tak diduga, seolah dunia tak betah melihat kita menjalani hidup dengan lancar dan penuh khidmat.
“Nat, dengarkan aku.” Kalimat itu sepertinya tak asing di telingaku. Kapan, ya, aku mendengarnya?
Tangan yang ukurannya sedikit lebih besar dari tanganku muncul dari belakang dan meraih lenganku, menariknya tak terlalu kuat, tapi cukup untuk membuat posisiku berbalik menghadap ke arahnya. Mataku hanya menilik tajam, lalu kutepis tangannya yang mencengkeram, “jangan sentuh! Siapa, kau?!”
Wajahnya seperti anak anjing yang baru dibentak. “Apa kau amnesia, sampai tak mengingat laki-laki setampan, sekeren, dan sehebat aku?”
Huh, ekspresi dan omongannya benar-benar bertolak belakang. Apa dia tak tahu bagaimana raut wajahnya yang mengkhianati mulut remix-nya?
Harusnya dia sambil bercermin ketika bicara seperti itu, agar bisa sekalian mengatur ekspresi yang lebih sesuai. Kalau begini, kan, hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.
“Oh, aku memang tak ingat siapa kau, sih. Apa kau orang penting? Dua minggu ini aku merasa sangat tenang, tak ada satu laki-laki pun yang bicara padaku.”
Zofan mencebik bibirnya, sinar matanya meredup.
Saat kuputar kembali posisi membelakanginya, langkah kaki Zofan dengan cepat membawanya berdiri menutup jalanku.
Setelah memastikan aku berhenti dan tak melawan dengan kedua tangannya yang merentang lebar, dia mengusap kikuk belakang kepalanya, dan sekarang arah matanya menurun, menghindari kontak mataku. “Kalau kau marah padaku, aku … minta maaf. Aku tak bermaksud … untuk … menggantungkanmu begitu saja.”
Oh, jadi dia sadar dengan atmosfir yang menyelimuti kami saat ini?
“Aku … ah, bagaimana, ya, mengatakannya. Pokoknya, ada sesuatu yang terjadi, dan itu membuatku sempat terkendala untuk bisa sesegera mungkin menuntaskan misi kita. Tapi, Natarin, beri lah aku waktu dan kesempatan.” Zofan bicara seolah dia sedang meyakinkanku yang sudah hilang kepercayaan terhadap dirinya.
“’misi’mu, bukan misi kita!”
“Baiklah, baiklah, apapun itu! Kumohon, Natarin. Aku buntu tanpamu.”
Kedengarannya menggelikan. Aku seperti menyaksikan seorang kekasih yang tengah membujuk rayu perempuannya. Padahal, yang kita bicarakan saat ini, kan, soal gulungan kertas itu.
Zofan, berhenti lah bersikap dramatis.
“Apa rencanamu? Kau mendekatiku sampai begitu mengganggu, lalu tiba-tiba menjauhiku seperti tak kenal, seperti manusia yang tak pernah mengemis bantuan dariku, dan sekarang kembali padaku sambil memohon, lagi?”
Kutampar habis harga dirinya dengan segala omonganku, terlihat dari wajahnya yang tampak terluka. Meski begitu, Zofan tak bisa membalas, dia tak mengelak. Mungkin sadar kalau semua perkataanku benar adanya.
“Aku tahu. Ya, aku tahu kalau itu keterlaluan. Aku bisa membaca keadaan, kok, Natarin. Aku tidak bodoh. Aku juga minta maaf untuk itu. Seperti yang kukatakan tadi, ada kejadian yang menghalangiku, salah satunya Sora.”
Zofan langsung mengatup mulutnya setelah kalimat terakhir. Dari gerak bahunya, dia tampak sempat menahan napas. Mataku mengerjap beberapa kali, “kenapa dengan … Sora? Apa yang terjadi padanya?”
Dadaku terasa menyempit saat melontarkan nama yang sudah lama tak keluar dari mulutku itu. Aku ikut menahan napasku sebentar sebelum kuembus kuat-kuat sampai rongga dadaku kembali terasa luas dan lapang. Sorot mata Zofan memberi isyarat seakan dia mengerti keadaan dan suasana hatiku.
“Aku akan jelaskan soal dia, nanti. Kalau waktunya sudah tepat. Untuk saat ini, kau cukup tahu saja kalau dia sedang … sakit. Uh, ya, sakit.”
“Apa maksudmu, sakit?” Jangan bilang dia berpikir bisa mengelabuiku dengan ucapan ambigunya. Gelombang suaranya yang tak stabil itu terdeteksi jelas olehku.
“Nanti sore, aku jelaskan sepulang sekolah.”
“Sekalian dengan—”
“Dengan urusan kertas-kertasmu?” potongku melengkapi kalimat Zofan yang belum sempat mencapai ujungnya. Dia menatapku ragu-ragu, kemudian mengangguk sepersekian detik. Aku tak akan menangkap anggukannya kalau saja mataku tak mendeteksi perubahan jarak dan percepatan gerak kepala Zofan.
“Hhh.” Aku mendesah kasar. “Lihat, lagi-lagi kau bawa nama Sora!”
“Kau tidak mau tahu apa yang terjadi pada Sora? Apa yang membuat Sora sakit?”
Tanganku mengepal diam-diam di belakang rok sekolahku, meremas jemari. Kutatap Zofan lekat-lekat. Dia … benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, ya? Benar-benar tak mau rugi.
“Kau – huh!” geramku tak jadi meluncurkan kata-kata. “Oke, pulang sekolah. Aku melakukannya hanya karena memegang ucapanku untuk membantu sampai kertas kedua. Mengerti?! Tapi kalau kau sampai tak ada kabar lagi sore ini, maka bantuan terakhir dariku itu hangus!”
Zofan mengangguk mantap dan yakin, kemudian kusikut lengannya agar memberiku jalan yamg sempat dia blokir, “sekarang minggir, aku harus ke perpustakaan. Dan jangan mengekor!”
...
Bersambung