Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 14
Wajah yang selama ini hanya ia lihat dari lembaran undagan,media, dan gosip yang menyebar luas baik itu di dunia maya maupun di kehidupan nyata.
Gadis itu…
Tanpa berpikir panjang, Lusi dengan cepat berdiri dari duduknya. Berjalan cepat, nafasnya begitu membara. Dalam hitungan detik, ia semakin mendekat.
Tak jauh dari sana, Nara dan puput duduk berdampingan di sebuah bangku panjang di area taman dalam mall. Sepulang dari tempat kerja, mereka memutuskan untuk mampir sebentar sebelum pulang.
“Put…aku mau cerita,”kata Nara pelan sembari melirik pelan sahabatnya yang duduk berdampingan.
Puput tidak menjawab, ia hanya diam. Menunggu.
Nara menghembuskan nafasnya pelan, dengan suara yang bergetar, Nara akhirnya menceritakan semua apa yang menimpanya. Tentang malam itu, tentang Zean yang mabuk hingga salah sangka yang mengira dirinya mantan kekasih pria itu, hingga kesalahan itu menghancurkan hidupnya. Dan tentang pernikahan yang dipilih bukan atas dasar cinta melainkan rasa tanggung jawab atas Nara.
Puput hanya menunduk, tak bisa berkata apa-apa. Air matanya perlahan jatuh.
“Maafin gue Nar, gue kira lo nutupin ini semua ini dari gue karena lo udah gak anggap gue sebagai sahabat lo” ucap puput, parau. “Ternyata lo cuma nyimpen luka… lo sendiri.”puput terisak.
Nara menggenggam tangan sahabatnya. Tubuhnya terasa gemetar. “Maafin aku, Put…”
“Gue juga minta maaf, gak seharusnya gue bersikap gini sebelum gue denger penjelasan yang benar dari lo, Nar…”puput memeluk Nara erat. “Maafin gue Nar…tapi sekarang lo udah gak sendirian, gue disini!”
Namun sebelum pelukan itu selesai…satu tarikan kasar menjambak kuat rambut Nara dari belakang.
“Aakhhh!” Nara menjerit pelan, tubuhnya tertarik.
“HEI!!” Puput kaget, berdiri lalu mendorong kuat tubuh penyerangnya. Wanita itu melihat dengn sorot mata tajam yang menyala penuh amarah.
Lusi.
Puput mematung sesaat. Menatap wajah yang rasanya tak asing. Dengan cepat ia tersedar, ia pernah melihat wanita cantik ini di salah satu unggahan lama zean. Dan wanita ini adalah kekasih lamanya pria itu.
“Mau apa lo?!” Bentak Puput, tubuhnya kini berada di depan Nara, melindungi sahabatnya.
Lusi hanya menyeringgai, “gue gada urusan sama Lo, menyingkirlah.”
Orang-orang kini berkumpul, mulai memperhatikan kegaduhan yang dibuat oleh para wanita itu. Beberapa orang sudah mengangkat ponsel untuk merekam.
Lusi berjalan pelan, lebih mendekat lagi, menatap Nara yang ada dibalik tubuh Puput dengan tatapan sinisnya.
“Cantik, masih muda, Tapi…sayang sekali kau begitu gatal menggoda calon suami orang?”
Nara terdiam. menunduk, hatinya terasa tertusuk oleh perkataan Lusi. Matanya memanas, tapi tubuhnya bergetar, bukan karena takut, tapi karena harga dirinya yang diinjak di depan banyak orang.
“Ohh, apa jangan-jangan kau udah jual tubuh murahan itu? Lalu meminta pertanggung jawaban?”
PLAK!
Satu tamparan keras mendarat tepat di pipi mulus Lusi. Hingga membuat Lusi terpaku, tak percaya.
Ia menatap Nara yang kini berdiri tegak dihadapannya. Dengan air mata yang mengalir dipipinya menandakan jika gadis muda itu begitu marah. Sorotan matanya menatap langsung manik mata Lusi dengan Tegas, tak goyah.
Dengan suara yang parau namun terdengar jelas, Nara berkata. “Sebelum kau mengatai ku menjual diri, sebaiknya kau berkaca dulu. Aku yang jual diri atau kau? Tadi apa kau bilang? Calon suami mu?hah, kau hanya masalalunya. Jadi tidak ada istilah aku merebutnya dari mu! Justru dia yang datang padaku.”dengan suara lantang Nara memberanikan dirinya menatap Lusi dengan tatapan sinis.
Kumpulan orang-orang yang menonton itu kini beralih menatap arah Lusi. Lalu berbisik-bisik layaknya penghinaan untuk Lusi.
Lusi terdiam. Wajahnya menegang.
Ia melangkah pelan, lalu menatap tajam ke arah gadis yang ada di depannya.
“Ingat, kita belum selesai! Lihat saja kau akan mati di tanganku.”setelah sedikit berbisik pada Nara, dengan langkah cepat, Lusi pergi meninggalkan tempat itu.
Puput buru-buru meraih tangan Nara yang terpaku diam tak bergerak, menariknya menjauh dari kerumunan orang-orang dengan mata penasaran yang masih mengikuti mereka.
Dari lantai atas, seorang pria bersetelan gelap memandangi kejadian itu dari balik railing kaca. Ia menurunkan ponselnya, mengetik pelan, lalu melangkah pergi.