Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Serangan pertama
Malam itu, Arunika duduk di ruang kerja besar peninggalan ayahnya. Di meja penuh dokumen, tangannya sibuk menandatangani berkas, sementara pikirannya berkelana. Sejak kepemilikan Arummuda resmi berpindah ke tangannya, Arunika tahu bahwa ancaman akan datang kapan saja. Namun ia tidak menyangka, malam itu juga serangan pertama dilancarkan.
Dari balkon lantai tiga rumah besar itu, suara kaca pecah mendadak terdengar. Seorang bayangan hitam melompat masuk, membawa senjata tajam. Arunika sontak berdiri, terkejut. Namun seketika dua orang bodyguard Rafael yang berjaga di koridor menerobos masuk, menahan sosok penyerang itu. Pertarungan singkat pecah di dalam ruangan. Kursi terbalik, kertas-kertas berterbangan, suara dentuman memenuhi udara.
Arunika menahan napas, jantungnya berdetak liar. Untuk sesaat ia hampir terjatuh, kalau saja Marco tidak segera datang bersama empat orang lain, menarik Arunika keluar dari ruangan itu dan mengawalnya turun ke ruang bawah tanah yang lebih aman.
Penyerang itu akhirnya berhasil ditaklukkan. Namun, sebelum pingsan, ia sempat berteriak lantang, “Ini baru awal … kalian tidak akan pernah aman!”
Arunika gemetar, tubuhnya bergetar di pelukan Marco. Saat Rafael datang dengan wajah dingin dan sorot mata berapi-api, ia langsung mendekap Arunika, memastikan istrinya baik-baik saja.
“Lihat sendiri, Aru,” bisiknya di telinga istrinya, nadanya tegas tapi lembut. “Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu. Tidak Roman, tidak Aurel, tidak siapapun. Mulai sekarang, penjagaan akan diperketat. Kau akan selalu bersama orang-orangku, bahkan untuk sekadar keluar dari kamar.”
Arunika menatap Rafael, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa besar perang yang tengah mereka hadapi, dan betapa jauh Rafael rela melangkah hanya untuk melindunginya.
Keesokan paginya, rumah kediaman Rafael dan Arunika sudah berubah menjadi seperti benteng.
Setiap sudut halaman dipenuhi penjaga, kamera tersembunyi dipasang ulang, dan semua akses keluar masuk hanya bisa dilewati setelah pemeriksaan berlapis. Marco memimpin briefing pagi di aula rumah, suara tegasnya bergema memenuhi ruangan.
“Mulai hari ini, Nyonya Arunika tidak boleh ditinggalkan seorang diri, bahkan untuk sekadar berjalan di taman. Tim 1 berjaga di lantai satu, tim 2 di lantai dua, dan tim 3 di sekitar perimeter luar. Setiap tamu yang masuk harus melewati dua tahap verifikasi. Tidak ada pengecualian.”
Arunika yang berdiri di samping Rafael menatap pemandangan itu dengan campuran lega dan canggung. Ia merasa benar-benar dikurung, tapi saat melihat betapa seriusnya wajah Rafael, ia tahu semua ini dilakukan demi keselamatannya dan juga demi bayi yang kini sedang tumbuh di rahimnya.
Sementara itu, Rafael duduk di ruang utama dengan sikap seorang pemimpin perang. Ia memandang semua bawahannya satu per satu, lalu berkata dengan nada yang dalam namun jelas.
“Kemarin malam adalah serangan pembuka. Mereka mengira bisa menakut-nakuti kita. Tapi mulai sekarang, aku pastikan satu hal tidak akan ada satupun musuh yang bisa menyentuh Arunika, bahkan bayangannya. Roman dan Aurel ingin perang? Baik. Tapi kita tidak akan bermain kotor, kita bermain cerdas. Aku tidak ingin darah mengotori rumah ini kecuali mereka yang memaksa.”
Ucapan itu disambut dengan sorak setuju para bawahan. Marco mengangguk bangga, sementara Arunika menunduk, menahan air mata haru.
Di sisi lain, jauh di sebuah vila tersembunyi, Roman menatap layar televisi yang menayangkan berita tentang penjagaan ketat di rumah Rafael. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Di kursi seberang, Aurel duduk dengan anggun sambil menyilangkan kaki, menatap Roman dengan senyum tipis penuh perhitungan.
“Serangan pertamamu gagal,” ucap Aurel pelan, seolah menyiram bensin ke api amarah Roman. “Aku sudah bilang, menghadapi Rafael tidak bisa hanya dengan otot. Dia anakku … dia berpikir tiga langkah lebih maju daripada kita. Kalau kau ingin Arunika jatuh, kita harus menyerang dari sisi lain. Dari hatinya. Dari kelemahannya.”
Roman menoleh, matanya berkilat dingin. “Maksudmu?”
Aurel tersenyum samar. “Aku tahu kelemahan Rafael. Dia bisa menahan peluru, tapi tidak bisa menahan luka yang datang dari orang yang dia cintai. Kita tidak perlu membunuh Arunika … cukup membuatnya ragu, cukup membuatnya menjauh.”
Roman termenung sejenak, lalu perlahan senyumnya terbit, kejam dan penuh rencana.
Malam itu, rumah besar Rafael benar-benar sunyi, hanya terdengar langkah para penjaga yang bergantian berpatroli. Penjagaan ketat membuat semua orang merasa yakin Arunika aman. Namun di balik semua itu, ada satu orang yang diam-diam menyimpan niat busuk orang kepercayaan Rafael sendiri, yang selama ini dipercaya penuh hingga diberi akses ke bagian terdalam rumah.
Dia bergerak tenang, seperti biasa, tanpa menimbulkan kecurigaan. Ketika salah satu penjaga lain lewat, dia hanya mengangguk singkat, seolah sedang memastikan semua baik-baik saja. Namun langkahnya berbelok menuju kamar Arunika.
Arunika, yang kala itu sedang beristirahat, tak menyadari bahaya. Begitu pintu dibuka, seseorang menyusup masuk dengan cepat, menyuntikkan cairan bius ke lengannya sebelum ia sempat menjerit. Tubuhnya melemah, matanya memberat, hingga akhirnya ia jatuh tak berdaya di atas ranjang.
Pria itu menunduk, menatap wajah Arunika yang kini pingsan, lalu mengangkat tubuhnya dengan hati-hati. Ia membawanya keluar melalui jalur servis yang jarang dipakai. Semua penjaga percaya padanya, tak ada yang memeriksa lebih jauh.
Di halaman belakang, sebuah truk kecil dengan logo perusahaan kebersihan kota sudah menunggu. Dari luar, tampak biasa, seolah hanya kendaraan pengangkut sampah. Namun di dalamnya, Aurel duduk dengan tenang, wajahnya tersenyum licik saat pintu truk dibuka.
“Kerja bagus,” ucapnya dingin kepada si pengkhianat. “Kau benar-benar tahu bagaimana mengelabui anakku.”
Dengan cekatan, pria itu meletakkan tubuh Arunika di kursi belakang. Pintu ditutup rapat. Tak seorang pun curiga karena semua penjaga yang melihat hanya mengira itu mobil pengangkut sampah yang memang dijadwalkan lewat malam itu.
Mesin truk meraung pelan, perlahan meninggalkan area rumah Rafael, membawa serta Arunika yang tak berdaya menuju sarang musuh.
walau awalx sulit menyakit kan..
jgn sampai ada apa2 ya
tegang bacanya
Dan Rafael tidak mengetahui nya