Vivian Shining seorang gadis dengan aura female lead yang sangat kuat: cantik, baik, pintar dan super positif. Dia tipe sunny girl yang mudah menyentuh hati semua orang yang melihatnya khusunya pria. Bahkan senyuman dan vibe positif nya mampu menyentuh hati sang bos, Nathanael Adrian CEO muda yang dingin dengan penampilan serta wajah yang melampaui aktor drama korea plus kaya raya. Tapi sayangnya Vivian gak sadar dengan perasaan Nathaniel karena Vivi lebih tertarik dengan Zeke Lewis seorang barista dan pemilik coffee shop yang tak jauh dari apartemen Vivi, mantan atlet rugbi dengan postur badan bak gladiator dan wajah yang menyamai dewa dewa yunani, juga suara dalam menggoda yang bisa bikin kaki Vivi lemas sekita saat memanggil namanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon whatdhupbaby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 30 Permintaan Maaf
Matahari mulai turun, mewarnai langit dengan jingga dan ungu. Ombak berdesir pelan, menciptakan soundtrack alami untuk mereka.
Mia memandang Vivian yang duduk termenung disampingnya entah menikmati senja indah itu atau memikirkan hal lain.
“Jadi,” Mia memecah keheningan, suaranya dipenuhi rasa penasaran.“Kamu benar-benar menyukai Zeke?”
Mendengar pertanyaan temannya Vivian terbangun dari lamunannya, dengan wajah merah dia mengangguk lemah.
" Maaf Vi, kalau saja aku tahu, aku gak akan menjodohkanmu dengan Nathanael dan menyebarkan gosip gosip itu. Aku merasa kalau aku yang membuat hidupmu sulit begini."
Mini-Vivi mengangkat tinjunya pada Mia. " IYA INI SEMUA SALAH MU MI!! KALAU SAJA WAKTU ITU KAMU GAK NYEBAR GOSIP DI KANTOR, VIVI GAK BAKAL STRESS DAN ZEKE GAK BAKAL PRINCESS CARY VIVI!!. EH, KALAU BEGITU BUKANNYA KITA HARUSNYA MALAH BERTERIMA KASIH SAMA MIA YA..."
" Sstt..." desis Vivi dengan wajah yang semakin merah. " Diam Mini."
" Ng...nggak Mi..." Ucap Vivi yang panik dengan ungkapan permintaan maaf Mia. " Ini bukan salahmu...Aku juga gak bisa tegas dengan perasaan ku..."
“ Kalau kamu suka Zeke kenapa kamu gak ungkapkan perasaanmu?.”
Vivian menarik napas dalam. “Aku takut ditolak, Mi,” bisiknya, suara nya lirih hampir tertelan debur ombak. “Aku tidak kuat melalui penolakan lagi.”
Mia menatapnya terbelalak. “Lalu bagaimana dengan Nathanael? Kamu tidak menolaknya karena apa?”
“Aku sudah berusaha menolaknya Mi...” gumam Vivian, yang kembali dipenuhi rasa bersalah. “Aku tidak bisa menolak dua kali seseorang yang sudah berjuang keras untukku. Ditolak oleh orang yang kamu sukai itu menyakitkan. Aku sudah membuat Nathanael merasakan itu dan tidak mau Nathanael merasakan nya untuk kedua kalinya.”
Entah bagaiman tanpa sadar air mata mulai menetes di pipinya, berkilau emas di cahaya senja.
Mia segera memeluknya erat. “Oh, Vi...”
Tiba-tiba, Mia terdiam, matanya terbuka lebar seolah tersambar petir.
“Tunggu sebentar!” serunya, melepaskan pelukan dan memegang bahu Vivian. “Aku tahu pola ini! Takut ditolak, takut menolak...Vi, ini perasaanmu sendiri kan? Perasaan saat Noah itu menolak mu?!"
Vivian mengangkat wajahnya, bingung. “Apa maksudmu?”
“Kamu takut mengungkapkan perasaanmu ke Zeke karena trauma ditolak Noah! Dan kamu tidak bisa menolak Nathanael karena tidak tega melihatnya sakit, untuk ke dua kalinya...persis seperti kamu dulu!”
Mia menggeleng-geleng, wajahnya geram. “Vi, si brengsek Noah itu membuatmu trauma sampai seperti ini! Aku bisa membunuhnya kalau dia berani muncul lagi!”
Vivian terdiam, tertampar oleh kenyataan yang diungkapkan Mia. Dia tidak pernah menyadari bahwa ketakutannya selama ini berakar dari luka masa lalu.
“Aku...” suaranya tercekat. “Aku tidak pernah berpikir sejauh itu.”
“Sekarang saatnya kamu berpikir,” kata Mia tegas. “Kamu tidak boleh membiarkan masa lalu mengendalikan masa depanmu. Zeke bukan Noah. Nathanael juga bukan kamu.”
Mini-Vivi muncul dengan kostum terapis, memegang papan tulis kecil. “TRAUMA: 1. FEAR OF REJECTION 2. FEAR OF HURTING OTHERS. SOLUTION: STOP LETTING THAT ASSHOLE LIVE RENT-FREE IN YOUR HEAD.”
Vivian memandang laut yang mulai gelap, merasa beban di hatinya perlahan terangkat.
“Aku harus berubah, ya?. Aku harus lebih tegas lagi dengan perasaan ku ”
“Ya,” jawab Mia, memeluknya lagi. “Mulai dengan jujur pada perasaanmu sendiri.”
______
Hari ke-4 liburan. Malam hari di 'La Trattoria', sebuah restoran Italia cozy dengan pencahayaan temaram dan hiasan tanaman merambat. Suasana intim dengan gemerincing sendok dan garpu serta obrolan rendah pengunjung lainnya.
Vivian menikmati sesuap terakhir spaghetti carbonaranya, matanya berbinar. "Aku serius, Mi. Ini spaghetti terenak yang pernah aku coba."
Mia mengangguk, sambil menyeruput white wine-nya. "Iya, tempat ini emang juara. Porsinya pas dan..." Tiba-tiba, pandangan Mia tertuju ke suatu arah, "Hey, jangan lihat sekarang. Tapi meja di sebelah pilar, ada seseorang yang sangat familiar."
Mini-Vivi yang duduk diatas meja seketika berdiri karena penasaran. " KALAU DIBILANG JANGAN, MALAH TAMBAH PENASARAN KAN."
Vivian, yang juga penasaran, melirik pelan. Namun apa yang dilihatnya membuat dadanya berdebar kencang. Di seberang ruangan, duduk bersama tiga orang lain yang tampak seperti kolega bisnis, adalah Noah!. Dia sedang tersenyum mendengar sesuatu yang dikatakan seorang wanita di sebelahnya.
"Noah," Vivian berbisik, segera menunduk seperti anak kecil yang ketahuan mengambil kue.
"Bingo," kata Mia, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Dunia memang kecil, Vi. Apa kita harus pergi?"
"Jangan, nanti malah kelihatan aneh." jawab Vivian cepat, mencoba tenang tapi jarinya sudah mulai memainkan serbet.
" Tapi mumpung dia gak liat kita." Desis Mia.
" TAPI PENCUCI MULUT INI TERLALU SAYANG KALAU DITINGGAL GITU AJA." Jelas Mini-Vivi yang ngiler melihat hidangan dessert yang ditata cantik diatas piring.
Pilihan yang sulit, antara makanan lezat atau kabur biar gak ketemu cowok yang bikin canggung.
Akhirnya mereka berusaha melanjutkan obrolan tentang rencana besok, seolah olah tak tak menyadari kehadiran Noah. Tapi beberapa menit kemudian, tanpa mereka duga, Noah beranjak dari kursinya dan berjalan mantap ke arah meja mereka.
Mia segera duduk lebih tegak, sikapnya berubah seperti singa betina yang mengawasi wilayahnya. Vivian menarik napas dalam-dalam.
"Vivian?" suara Noah yang hangat terdengar. "Aku pikir aku tidak salah melihat."
Vivian terpaksa menoleh, memaksakan senyum ramah. "Noah. Hi. Wah, kecil sekali dunia."
"Memang," ujar Noah dengan senyum yang sama charm-nya seperti dulu. Dia berdiri di samping meja mereka, tidak mencoba untuk duduk. Pandangannya berpindah ke Mia yang sedang mengamatinya dengan tajam. " Hai, Mia, kan? Salam kenal Mia." Sapanya dengan senyuman.
Mia hanya mengangguk singkat, sopan tapi dingin. "Noah."
Noah kembali memandang Vivian. " Jadi kalian lagi liburan?"
"Iya, lagi liburan sama Mia," jawab Vivian, berusaha menjaga percakapan tetap ringan dan biasa saja. "Kamu lagi meeting?"
"Eh, iya. sedikit urusan kerjaan dengan klien dari sini," jelas Noah, melirik sebentar ke arah meja koleganya. Suasana sedikit canggung, hanya diisi oleh suara musik instrumental lembut dari speaker restoran.
"Restorannya bagus, ya?" ucap Noah mencoba mencairkan keadaan namun hanya menambah kecanggungan diantara keduanya.
"Ya, makanannya enak," balas Vivian.
Tiba-tiba, salah seorang kolega Noah di meja sebelah memanggil, "Noah! Sorry to interrupt, but we need you for a second."
Noah mengangguk ke arah mereka. "Sebentar," katanya. Dia lalu menoleh kembali ke Vivian, wajahnya sedikit lebih serius. "Vivian, aku... mungkin ini tidak pada tempatnya. Tapi bolehkah aku minta nomormu? Untuk... kopi mungkin, lain waktu? Tidak harus sekarang, tapi jika kamu tidak keberatan."
Vivian menggigit bibirnya. Dia merasakan tatapan panas Mia di sampingnya. Dia terjebak antara rasa tidak enak menolak langsung di depan umum dan keengganan untuk membuka pintu komunikasi dengan Noah, pria yang dulu pernah menolaknya.
Pikirannya berputar cepat. Akhirnya, dengan kekalahan, dia mengambil handphonenya. "Oke. Silakan."
Mini-Vivi dan Mia seketika mendelik.
Noah segera mengeluarkan handphonenya dan memasukkan nomor yang Vivian sebutkan dengan cepat. Wajahnya langsung cerah seperti anak kecil yang mendapat mainan idaman. "Terima kasih, Vivian. Aku hargai ini. Selamat menikmati malam dan liburanmu," ucapnya dengan sopan sebelum akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke mejanya dengan langkah yang terasa lebih ringan.
Begitu Noah pergi, Mia langsung memandang Vivian dengan mata membelalak. "Vi? Seriously? Kamu kasih nomor kamu ke dia? Setelah setelah apa yang dia lakukan ke kamu?"
Mini-Vivi terduduk penuh drama. " VI RASANYA AKU DIKHIANATI SAMA KAMU VI. DENGAN MUDAHNYA KAMU NGASIH NOMOR HP KE COWOK ITU!!."
Vivian menghela napas panjang, menatap dessert tiramisu-nya yang belum disentuh. "Aku tahu, Mi. Aku tahu. Tapi dia meminta dengan sangat sopan, dan di depan koleganya... Aku nggak enak kalau menolak mentah-mentah. Rasanya terlalu kasar."
"Kamu terlalu baik, Vi. Itu weakness-mu," desis Mia, menggeleng-geleng kepala. "Aku harap kamu nggak menyesal."
Vivian menghela napas lagi, perasaan antara senang karena diperhatikan dan menyesal karena mungkin telah membuat keputusan yang salah. "Aku juga," bisiknya lemah, meraih gelas wine-nya dan menenggaknya hingga habis. Suasana makan malam yang tadinya sempurna, kini diselimuti oleh bayang-bayang masa lalu dan ketidakpastian masa depan.
_________